Kamis, 16 Agustus 2012

ZAKAT FITRI 3

Zakat Fitri 3



ZAKAT FITRI 3
oleh Abu Arsy Anargya As-Sundawy pada 14 Agustus 2012 pukul 22:16 ·

Bolehkah seseorang membayarkan zakat fitri untuk saudara atau orang tuanya?

Diperbolehkan bagi seseorang untuk membayarkan zakat fitri orang lain, siapa pun dia, karena pembayaran zakat fitri tidak dipersyaratkan harus dari harta pribadi, tidak sebagaimana zakat harta atau emas. Namun, perlu diingat, orang yang hendak membayarkan zakat untuk orang lain yang mampu membayar zakat sendiri harus memberitahukan terlebih dahulu kepada orang yang dia bayarkan zakatnya. Hal ini mengingat dua hal:

  1. Agar tidak terjadi pengulangan pembayaran zakat sehingga zakat fitrinya dua kali
  2. Semua amal hamba itu membutuhkan niat. Termasuk dalam hal ini adalah zakat. Oleh karena itu, orang yang dizakati perlu diberi tahu sehingga dia bisa berniat ketika dizakati.

Apakah pembantu wajib dibayarkan zakatnya?
Jika nafkah pembantu tersebut ditanggung oleh tuannya, misalnya: pembantu rumah tangga, maka tuan tersebut wajib membayarkan zakat fitri untuk pembantunya. Jika nafkah pembantu tidak ditanggung tuannya maka tidak ada kewajiban bagi tuannya untuk menunaikan zakat fitri pembantunya.

Imam Malik mengatakan, “Tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk membayarkan zakat fitri bagi budak milik budaknya, pembantunya, dan budak istrinya, kecuali orang yang membantu dirinya dan harus dia nafkahi maka status zakatnya wajib.” (Al-Muwaththa’, 2:334)


>

Dimanakah Zakat Fitrah (Fitri) Ditunaikan?
Disunahkan untuk menunaikan zakat fitrah (fitri) di daerah tempat orang tersebut berada ketika hari raya. Hanya saja, diperbolehkan menunaikan zakat fitri di luar tempat orang tersebut berdomisili.

Syahnun bertanya kepada Ibnul Qasim (murid Imam Malik), “Apa pendapat Imam Malik tentang orang Afrika yang tinggal di Mesir pada saat hari raya; di manakah zakat fitrinya ditunaikan?” 

Ibnul Qasim menjawab, “Imam Malik mengatakan, “Zakat fitri ditunaikan di tempat dia berada. Jika keluarganya di Afrika membayarkan zakat fitri untuknya, hukumnya boleh dan sah.” (Al-Mudawwanah, 2:367)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tempat yang disyariatkna untuk penunaikan zakat fitri.

Beliau menjawab, “Selayaknya, kita memahami kaidah bahwasanya zakat fitri itu mengikuti badan. Maksudnya, badan orang yang dizakati. Adapun zakat harta itu mengikuti (lokasi) harta tersebut berada. Berdasarkan hal ini, zakat fitri oleh orang yang berada di Mekkah itu ditunaikan di Mekkah, sedangkan untuk keluarganya yang tinggal di luar Mekkah maka zakat fitrinya ditunaikan di tempat mereka masing-masing.” (Majmu’ Fatawa Ibni Utsaimin)

>

Waktu Zakat

Sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian zakat fitri (zakat fitrah), bahwasanya zakat ini disebut “zakat fitri” karena hubungan sebab-akibat. Artinya, zakat fitri ini disyariatkan dengan sebab adanya “fitri”, yaitu waktu selesainya berpuasa (masuk hari raya). Rangkaian dua kata ini (zakat fitri) mengandung makna pengkhususan. Artinya, zakat ini khusus diwajibkan ketika ada waktu fitri. Siapa saja yang menjumpai waktu fitri ini maka orang tersebut wajib ditunaikan zakat fitrinya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak menjumpai waktu fitri maka tidak wajib baginya ditunaikan zakat fitri.

Kemudian, ulama berselisih pendapat tentang waktu wajib menunaikan fitri. Dalam hal ini, ada tiga pendapat:
  1. Waktu wajib adalah ketika terbitnya fajar tanggal 1 Syawal. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Malik.
  2. Waktu fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari di hari puasa yang terakhir. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, menurut riwayat yang sahih dari beliau.
  3. Waktu fitri adalah waktu sejak terbenamnya matahari di hari puasa terakhir sampai terbitnya fajar di tanggal 1 Syawal. Pendapat ketiga ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah.

Ringkasnya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa waktu wajibnya zakat fitri adalah waktu ketika matahari terbenam di hari puasa terakhir karena makna istilah “fitri” (berbuka) yang berlaku untuk setiap bulan adalah waktu ketika matahari telah terbenam. Dengan demikian, siapa saja yang menjumpai waktu ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan maka zakatnya wajib ditunaikan.

Sebagai contoh:
  1. Bayi yang dilahirkan beberapa saat sebelum matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan itu wajib dizakati, karena bayi ini menjumpai waktu fitri. Sebaliknya, jika lahirnya beberapa saat setelah terbenamnya matahari di hari tersebut maka dia tidak wajib dizakati, karena bayi ini lahir dalam keadaan tidak menjumpai waktu fitri.
  2. Orang yang meninggal beberapa saat setelah terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadan, wajib ditunaikan zakatnya karena orang ini menjumpai waktu fitri. Sebaliknya, jika meninggalnya beberapa saat sebelum matahari terbenam maka tidak wajib dizakati karena dia tidak berjumpa dengan waktu fitri. (lihat Syarh Shahih Muslim li An-Nawawi, 3:417)

Batas terakhir zakat fitri

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri …. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya hanya sedekah biasa.” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar menunaikan zakat fitri sebelum berangkatnya kaum muslimin menuju lapangan untuk shalat hari raya.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa zakat fitri wajib ditunaikan sebelum shalat hari raya. Bagaimana dengan orang yang telat membayar zakat sampai shalat hari raya dilaksanakan? Ada dua pendapat ulama tentangnya.

  • Pertama, kewajiban zakat fitrinya gugur. Pendapat ini yang dipilih oleh Daud Azh-Zhahiri dan Al-Hasan bin Ziyad. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnul Qayyim. Dalam kitab Zadul Ma’ad, beliau mengatakan, “Dua hadis ini (hadis Ibnu Abbas dan Ibnu Umarradhiallahu ‘anhuma di atas) menunjukkan tidak bolehnya menunda pembayaran zakat fitri sampai shalat hari raya. Kesempatan zakat fitri ini telah tiada dengan selesainya shalat hari raya. Inilah pendapat yang benar, karena tidak ada dalil yang berlawanan dengan dua hadis ini, tidak ada yang menghapusnya, dan tidak ada ijma’ ulama yang menolak maknanya. Guru kami (Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah) berpendapat demikian dan menguatkan pendapat ini.” (Zadul Ma’ad, 2:20)
  • Kedua, kewajiban zakatnya tidak gugur sampai dibayarkan, karena dalam zakat fitri ada hak untuk manusia (fakir miskin) dan ada hak untuk Allah. Hak untuk manusia (fakir miskin) tidak bisa gugur sampai zakat ini diberikan kepada mereka. Adapun kewajiban orang yang menunda pembayaran zakat fitri kepada Allah adalah bertobat dan menyesali berbuatannya. Dengan melakukan dua hal ini (membayar zakat dan bertobat) berarti dia telah memenuhi hak Allah dan hak manusia. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Pendapat ini yang dipilih oleh mayoritas ulama, di antaranya: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Al-Laits, dan Imam Ahmad.

Apakah statusnya masih “zakat fitri”?
Dalam hadis di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya hanya sedekah biasa.”

Hadis ini menunjukkan bahwa status bahan makanan yang dibayarkan setelah shalat tidak lagi disebut zakat fitri, namun hanya sedekah biasa yang wajib ditunaikan.

Bersambung .....Top of FormBottom of Form






https://www.facebook.com/notes/abu-arsy-anargya-as-sundawy/zakat-fitri-7/10151023030130003
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar