Siapakah Yang Layak Diberi Amanah ???
oleh Abu Warda pada 10 Oktober 2011 jam 18:39

oleh Abu Warda pada 10 Oktober 2011 jam 18:39
Kategori Akhlak, Tazkiyatunnufus
Senin, 26 April 2010 15:10:02 WIB
SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH ???
Oleh Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id
بسم الله الرحمن الرحيم
Betapa menyedihkan, tatkala sifat amanah ini telah hilang
dari sebagian kaum Muslimin, apalagi yang sudah “mengaji”.
Ketahuilah, wahai para pembaca budiman,
Sebagai seorang yang benar-benar mengaku beriman kepada
Allah dan mengaku mengikuti manhaj Salaf yang sempurna dan mulia ini, maka,
perhatikanlah baik-baik!
Karena tidak jarang kita mendapatkan khabar tentang si
Fulan yang tidak menepati janjinya … berpura-pura lupa … Si Fulan sangat
menggampangkan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya … Bahkan … Si Fulan telah
menipu rekan bisnisnya … Si Fulan berbohong dan tidak amanah kepada atasannya …
Si Fulan menipu ustadznya yang berbisnis dengannya … Sungguh mengherankan,
sekaligus memalukan! Wallahul Musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illa
billah.
Maka dengan tulisan ini, semoga menjadi penggugah, agar
kita menetapi amanah yang telah dipercayakan. Baik berkaitan dengan harta
benda, sehingga menjaganya sepenuh hati. Atau masalah tanggung jawab pekerjaan,
sehingga menunaikan tugas dengan baik dan meningkatkan etos kerja. Atau sekedar
sebuah janji yang diberikan, sehingga harus dipenuhi. Dengan menetapi amanah,
kita dapat membangun keindahan dalam bermuamalah. (Redaksi).
Amanah adalah sifat mulia. Sehingga amat disayangkan jika
kaum Muslimin kehilangan sifat mulia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim
untuk menunaikan amanah, menjelaskan akibat buruk mengabaikan dan melalaikan
amanah. Penyebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ini adalah
karena kejahilan (kebodohan).[1]
Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah
amanah, telah membuatnya meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
sangat agung ini, sekaligus telah bermaksiat. Dan bahkan dapat menjadi dosa
besar, jika seseorang yang telah mengetahui hukumnya, tetapi justru
menyia-nyiakan amanah.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita senantiasa
berusaha keras dan sungguh-sungguh membebaskan diri dari kejahilan, yakni
dengan menuntut ilmu syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara
khusus, lalu mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah
Subhanahun wa Ta'ala agar kita senantisa diberi taufiq, hidayah, dan segala
kemudahan dalam menuntut ilmu syar’i, memahaminya, serta merealisasikan syariat
Islam yang sempurna dan mulia ini dalam keseharian.
MAKNA AMANAH
Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa
bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan [2].
Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan
dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al
Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan
tabi'in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan,
kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]
Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah
berkata,"(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk
menunaikannya” [4]. Adapun menurut asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
-hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan orang berupa barang-barang titipan,
dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan
dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan
dosa. [5]
Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali
-hafizhahullah- menjelaskan, amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan
mencakup segala hal berkaitan dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang
terbebani untuk menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini
mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya
yang wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan
(yang harus ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga,
sudah semestinya seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan
sebaik-baiknya dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh
menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang
syar’i.[6]
Asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh
-hafizhahullah- juga menjelaskan : “Para ulama telah berkata, hal-hal yang
termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala
sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik
berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan kehormatan harga
diri". [7]
DI ANTARA DALIL-DALIL AL QUR`AN YANG MENJELASKAN TENTANG
AMANAH
1. Surat an Nisaa/4 ayat 58 :
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya…"
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al
Qur’an al ‘Azhim (2/338-339) berkata : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
mengabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan
amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ
خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau
dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang
telah mengkhianatimu". [Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus
Sunan].[8]
Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan
oleh seseorang yang dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah
atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan
lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba
Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang
titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan
yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memerintahkannya untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya,
akan diambil darinya pada hari Kiamat kelak.[9]
2. Surat al Anfal/8 ayat 27 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ
وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"… Dan
khianat, mencakup seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar,
baik (dosanya) terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. 'Ali bin
Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya) وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ , amanah adalah
seluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya (agar mereka
menunaikannya, Pen), yaitu (berupa) kewajiban-kewajiban. Dan maksud
"janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah, janganlah kamu
menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat, ‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud
firmanNya: لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ , (janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah Nabi dan
melakukan maksiat kepada Nabi" [10]
3. Surat al Ahzab/33 ayat 72 :
$"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh".
Al Hafizh Ibnu Katsir t , setelah membawakan beberapa
perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata:
“Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya
bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan
perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini,
jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia
menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima
amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang
diberi taufiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[11]
4. Surat al Mu’minun/23 ayat 8, atau surat al Ma’arij/70
ayat 32:
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya".
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al Qur’an
al ‘Azhim (8/227) berkata: "Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam
suatu urusan), mereka tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan
perjanjian, mereka tidak menyelisihinya. Demikianlah sifat orang-orang yang
beriman. Dan kebalikan dari ini, adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana
diterangkan dalam hadits shahih, tanda orang munafiq ada tiga: apabila berbicara
ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi
amanah (kepercayaan) ia berkhianat. Dalam sebuah riwayat, apabila berbicara ia
berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila bertengkar ia
berbuat curang.[12]
5. Surat al Baqarah/2 ayat 283:
"…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
DI ANTARA DALIL-DALIL AS SUNNAH YANG BERKAITAN DENGAN
AMANAH DAN KETERANGAN WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK
MENYIA-NYIAKAN DAN MELALAIKANNYA
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang
menjelaskan wajibnya menunaikan amanah kepada pemiliknya, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ
الأَمَانَـةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَـخُنْ مَنْ خَانَكَ
.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah
kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [13]
Berkaitan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam hadits ini, asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata :
"Perintah (di dalam hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut” [14].
Yakni, seseorang wajib menunaikan amanah. Sehingga Imam adz Dzahabi
rahimahullah telah mengkategorikan perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan
dosa besar. Beliau berkata,"Khianat sangat buruk dalam segala hal,
sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lainnya. Tidaklah orang yang
mengkhianatimu dengan sedikit uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada
keluargamu, hartamu, dan ia pun melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[15]
2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang
menjelaskan salah satu tanda hari Kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan,
ia berkata:
بَيْنَمَا النَّـبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ
يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ
القَوْمِ: سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ
يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْـثَهُ، قَالَ: أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُ
عَنِ السَّاعَةِ؟ ، قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: فَإِذَا
ضُـيِّعَتِ الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟
قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ
.
"Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada
dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah
kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah
hari kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap melanjutkan
pembicaraannya, maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ) mendengar ucapannya, namun ia tidak
menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata: “Bahkan beliau tidak
mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai dari pembicaraannya, dan
beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?” Orang itu
berkata,"Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,"Apabila
amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali
bertanya,"Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?" Rasulullah
bersabda,"Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!" [16]
3. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anha , yang
menerangkan khianat adalah salah satu tanda-tanda orang munafik, ia berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: آيـَةُ
المُـنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ؛ وَإِذَا وَعَدَ أَخْـلَفَ؛ وَإِذَا
اؤْتُـمِنَ خَانَ .
"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta,
apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah
(kepercayaan) ia berkhianat” [17].
4. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, yang
menjelaskan amanah dan menepati janji merupakan salah satu sifat orang beriman,
ia berkata:
مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ
قَالَ: لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ
عَهْدَ لَـهُ .
"Tidaklah Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tidak ada iman bagi orang
yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak
menepati janjinya”. [18]
Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan
Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau (لاَ إِيْـمَانَ), dikatakan oleh as Sindi, ada yang
mengatakan bahwa maksud dari kedua penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah
nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama). Ada yang mengatakan pula,
maksudnya adalah, sama sekali tidak beriman orang yang menganggap halal
meninggalkan amanah, dan sama sekali tidak beragama seseorang yang menganggap
halal melanggar janjinya. Dan maksud dari sabda beliau (لاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ) adalah, barangsiapa
yang mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang
melanggar dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i,
maka agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti
seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang
kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini
boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[19]
5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu
'anhuma , yang menerangkan salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah
zaman, yang pada saat itu, orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan
pengkhianat dianggap orang yang amanah (jujur). Dia mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ
وَيُؤْتَـمَنَ الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ
الأَرْحَامِ وَسُوْءُ الجِوَارِ... .
"Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan
kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi
hari kiamat sampai orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang
pengkhianat dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan
hubungan silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…".[20]
SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?
Judul di atas memberikan pemahaman, tidak semua orang
bisa diberi amanah kepercayan. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat
tertentu, yang dengannya ia sebagai orang yang paling tepat dan paling berhak
untuk dibebani amanah atau kepercayaan.
Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr
-hafizhahullah- menjelaskan permasalahan ini dan berkata:
Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah
ia seorang yang kuat dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia
mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan
menempatkan pada tempatnya semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya. Dengan
kekuatannya pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani
atasnya.
Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua
anak perempuan seorang penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi
Musa Alaihissallam mengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita
tersebut:
"… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". [al
Qashash/28 : 26].
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkhabarkan
tentang ‘Ifrit dari golongan jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada
Nabi Sulaiman Alaihissallam untuk membawa singgasana Balqis:
"…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku
benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". [an Naml/27 :
39].
Maknanya, ia memiliki kemampuan untuk membawa dan
mendatangkannya, sekaligus menjaga apa yang terdapat di dalamnya.
Allah juga mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf Alaihissallam
, tatkala ia berkata kepada sang raja:
"… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan".
[Yusuf/12 : 55].
Kemudian, lawan dari sifat kuat dan amanah adalah lemah
dan khianat. Sehingga, inipun menjadi dasar atas diri seseorang untuk tidak
dipilih dan dibebani kepercayaan atau pekerjaan. Bahkan, mengharuskan untuk
menjauhkannya dari kepercayaan atau pekerjaan.
Tatkala Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu
menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu sebagai gubernur di Kufah,
dan kemudian orang-orang dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk
padanya, maka Umar Radhiyallahu 'anhu melihat adanya kemaslahatan untuk
menghentikan (Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu) dari jabatan tersebut
untuk menghindari fitnah. Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani
berbuat macam-macam padanya. Kendatipun demikian, Umar Radhiyallahu 'anhu,
menjelang wafatnya memilih enam orang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam agar salah satu dari mereka dijadikan sebagai khalifah sepeninggalnya.
Salah satu dari mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu. Hal
ini, karena Umar Radhiyallahu 'anhu khawatir timbul prasangka, bahwa
penghentiannya atas Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu -dari jabatan Gubernur-
disebabkan ketidakmampuannya dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar
Radhiyallahu 'anhu ingin menghilangkan anggapan itu dengan berkata:
فَإِنْ أَصَابَتْ الإِمْـرَةُ سَعْداً فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ
فَلْـيَسْـتَعِنْ بِهِ أَيُّـكُمْ مَا أُمِّـرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْـزِلْهُ عَنْ
عَجْـزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ
"Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu
memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta
bantuannya, kerena sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab
kelemahan dan pengkhianatan". [Diriwayatkan al Bukhari, 3700].
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar
z , ia berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تَسْـتَـعْمِلُنِي؟ قَالَ:
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِيْ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّـكَ
ضَـعِيْفٌ، وَإِنَّـهَا أَمَانَـةٌ، وَإِنَّـهَا يَوْمَ القِـيَامَةِ خِزْيٌ
وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَـقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَـيْهِ
فِيْهَا .
"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku
(seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan
bersabda,"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal
ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat,
kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan
sebaik-baiknya)".
Terdapat pula di dalam Shahih Muslim, 1826, dari Abu
Dzar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَـعِـيْفاً، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ
مَا أُحِبُّ لِـنَـفْسِيْ، لاَ تَـأَمَّـرَنَّ عَلَى اثْـنَـيْنِ، وَلاَ
تَوَلَّـيَنَّ مَالَ يَـتِـيْمٍ .
"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya aku memandangmu orang
yang lemah, sedangkan aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku.
Janganlah kamu menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja), dan
janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim".[21]
Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjadikan kita sebagai
orang-orang yang jujur, amanah, dan menjauhkan kita semua dari kelemahan,
kedustaan, dan khianat. Hanya Allah sajalah Maha Pemberi taufiq. Wallahu a’lam
bish shawab.
Maraji’ & Mashadir :
1. Al Qur`an dan Terjemahnya, Cetakan Mujamma’ Malik
Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar
Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar
Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,
Daar al Fikr.
5. Jami’ at Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk,
Daar Ihya at Turats, Beirut.
6. Musnad al Imam Ahmad, Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar karya Ibnu
al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah,
Beirut-Libanon, Cet. I, Th 1422 H/ 2001 M.
8. Al Kaba-ir, karya adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu
‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat
Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.
9. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, karya
Ibnul (691-751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi,
Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
10. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al
Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi
al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.
11. Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al
Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon,
cet III, th 1423 H/2002 M.
12. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim), karya
Ibnu Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath
Thayibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/ 2002 M.
13. Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan
min Jawami’ al Kalim, karya Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Syu’aib
Al Arna-uth dan Ibrahim Bajis, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet.
VII, Th. 1422 H/ 2001 M.
14. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi, karya al
Mubarakfuri (1283-1353 H), Daar al Kutub al Ilmiah, Beirut.
15. Shahih Sunan Abi Daud, karya al Albani (1332-1420 H),
Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
16. Shahih Sunan at Tirmidzi, karya al Albani (1332-1420
H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
17. Shahih al Jami’ ash Shaghir, karya al Albani
(1332-1420 H), Al Maktab al Islami.
18. As Silsilah as Shahihah, karya al Albani (1332-1420
H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
19. Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manar as Sabil,
karya al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405
H/ 1985 M.
20. Shahih at Targhib wa at Tarhib, karya al Albani
(1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.
21. Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, Abdul Muhsin
bin Hamd al ‘Abbad al Badr, ad Daar al Haditsah, Mesir, Cet. I. Th. 1425 H/
2004 M.
22. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin, Salim
bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1422 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun
X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fawa-id al Fawa-id, hlm. 193-195, dan 215-231.
[2]. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/80).
[3]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/488-489).
[4]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[5]. Lihat ta’liq (komentar) beliau dalam kitab al
Kabair, hlm. 282.
[6]. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin
(1/288).
[7]. Dari khuthbah Jum’at yang beliau sampaikan di Masjid
Nabawi, al Madinah an Nabawiyah, KSA, pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1426 H,
yang bertema ‘Izhamu Qadril Amanah (Agungnya Kedudukan Amanah).
[8]. Berkaitan dengan hadits yang dibawakan oleh al
Hafizh Ibnu Katsir t di dalam kitab tafsirnya (2/339) ini, pentahqiq Sami bin
Muhammad as Salamah berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits ini diriwayatkan
dari jalan Samurah Radhiyallahu 'anhu, akan tetapi hadits ini diriwayatkan
oleh:
1. Imam Ahmad di dalam Musnadnya (3/414), dari seseorang,
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
2. At Tirmidzi di dalam Sunannya nomor (1264), dan Abu
Dawud di dalam Sunannya nomor (3535), dari jalan Thalq bin Ghannam, dari Syarik
dan Qais, dari Abu Hushain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dan at
Tirmidzi berkata,"Hadits hasan Gharib”. Dan Abu Hatim berkata,"Hadits
munkar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini melainkan Thalq saja”. (Lihat al
‘Ilal (1/375). Lebih lanjut lihat catatan kaki pentahqiq kitab tafsir Ibnu
Katsir tersebut.
[9]. Lihat pula risalah Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al
Amanah, hlm. 4-5.
[10]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (4/41).
[11]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/489).
[12]. Muttafaq ‘alaih, lihat takhrij ringkasnya pada
footnote nomor 17.
[13]. HR Abu Dawud (3/290 no. 3535), at Tirmidzi (3/564
no. 1264), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani
-rahimahullah- di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan at Tirmidzi,
Shahih al Jami’ (240), as Silsilah ash Shahihah (1/783 no. 423-424), dan
Irwa-ul Ghalil (5/381 no. 1544).
[14]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[15]. al Kabair, hlm. 282.
[16]. HR al Bukhari (1/33 no. 59) dan (5/2382 no. 6131),
Ahmad (2/361 no. 8714), dan lain-lain.
[17]. HR al Bukhari (1/21 no. 33, 2/952 no. 2536, 3/1010
no. 2598, 5/2262 no. 5744), Muslim (1/78 no. 59), dan lain-lain.
[18]. HR Ahmad (3/135, 154, 210, 251), dan lain-lain.
Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih al Jami’
(7179), Shahih at Targhib wa at Tarhib (3/156 no. 3004), dan lain-lain. Lihat
pula takhrij asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- terhadap
hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 280-282.
[19]. Lihat ta’liq (komentar) beliau terhadap hadits ini
dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[20]. HR Ahmad (2/199 no. 6872), dan lain-lain. Hadits
ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam as Silsilah ash Shahihah
(5/360).
[21]. Lihat risalah beliau yang berjudul Kaifa yu-addi al
Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 13-15.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar