Syarah Hadits Nuzul [Turunnya Allah Ke Langit Dunia] 1
SYARAH HADITS NUZUL [TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA]
Sumber :
Bersambung ke --- > :
SYARAH HADITS NUZUL [TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA] 2 :
http://abdullahissgafa.blogspot.com/2012/06/syarah-hadits-nuzul-turunnya-allah-ke_21.html

SYARAH HADITS NUZUL [TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA]
oleh Mochamad Azhar Zulfikar pada
27 Februari 2012 pukul 16:28 ·
Setiap muslim wajib mengimani tiga pilar tauhid, yaitu
tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wash shifat. Seluruh kaum
muslimin telah bersepakat bahwa semua pemahaman yang menyimpang terkait dengan
tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah adalah perbuatan kufur. Namun, masih
banyak syubhat-syubhat seputar tauhid asma’ wash shifat yang ‘bersliweran’ di
tengah-tengah kaum muslimin demi mengkaburkan kemurnian tauhid seorang muslim.
Diantara syubhat yang kencang berhembus di tengah majelis
kaum muslimin adalah masalah turunnya Allah ke langit dunia (sifat an-nuzul).
Terdapat banyak dalil yang berbicara tentang hal ini, namun, sebagian kaum
muslimin pada masa sekarang, merasa kebingungan dalam menerima khabar ini,
sehingga diantara mereka ada yang melakukan takwil dengan hawa
nafsu dan ra’yu (akal) mereka. Tapi, benarkah takwil mereka
itu? Ataukah ada cara tersendiri untuk mencapai kebenaran tentangkhabar ini?
TAKHRIJ HADITS AN-NUZUL
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا
تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى
ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ
يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada
setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, (kemudian) Dia berfirman,
‘Barang siapa berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa meminta
kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan, dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku,
niscaya akan Aku ampuni.’”
Hadits ini dinukil dengan sanad yang shahih dari generasi ke
generasi dan mencapai derajat mutawatir, karena hadits ini diriwayatkan dari
sejumlah sahabat Nabi, diantaranya:
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu,
2. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,
3. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
4. Jubair bin Muth’im radhiyallahu’anhu,
5. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu,
6. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
7. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu,
8. Amru bin ‘Abasah radhiyallahu’anhu,
9. Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani radhiyallahu’anhu,
10. Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu,
11. Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya radhiyallahu’anhum,
12. Abu Darda’ radhiyallahu’anhu,
13. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
14. Abu Tsa’labah Al-Khusyni radhiyallahu’anhu,
15. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha,
16. Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu,
17. Ummu Salamah radhiyallahu’anha,
18. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
19. Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu,
20. Laqith bin Amir Al-‘Uqaili radhiyallahu’anhu,
21. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
22. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma
23. Ubadah bin Shamith radhiyallahu’anhu,
24. Asma’ binti Yazid radhiyallahu’anha,
25. Abu Al-Khaththab radhiyallahu’anhu,
26. ‘Auf bin Malik radhiyallahu’anhu,
27. Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu’anhu,
28. Tsauban radhiyallahu’anhu,
29. Abu Haritsah radhiyallahu’anhu,
30. Khaulah binti Hakim radhiyallahu’anha, dan
31. ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu.
[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (I/275-285) dan Mukhtashar Shawa’iq Mursalah(III/1125)]
Hadits ini dikeluarkan oleh sekelompok ulama ahli hadits,
diantaranya:
1. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab At-Tahajud,
bab Ad-Du’a fish Shalah min Akhiril Lail, no. 1145; kitab Ad-Da’awat,
bab Ad-Du’a Nishfu Al-Lail, no. 6321; dan kitab At-Tauhid,
bab Qaul Allahu Ta’ala: Yuriduna An Yubaddilu Kalam Allah, no.
7494.
2. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Shalatul
Musafirin wa Qasriha, bab At-Targhib fid Du’a wal Dzikri fil
Akhiril Lail wal Ijabati Fihi, no. 758.
3. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah,
bab Ma Ja’a Fi Nuzulir Rabbi Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i
Ad-Dunya Kulla Lailah, no. 446; kitab Ad-Da’awat ‘An
Rasulillah, bab Ma Ja’a Fi ‘Aqdit Tasbih Bil Yad, no.
3498.
4. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah,
bab Ayyu Lail Afdhal?, no. 1315; dan kitab As-Sunnah,
bab Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah, no. 4733.
5. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamah
Ash-Shalah was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fi Ayyi Sa’at Al-Lailah
Afdhal, no. 1366 .
6. Imam Malik dalam Muwaththa’, kitab Ash-Shalah,
bab Ma Ja’a Fid Du’a, no. 470.
7. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah,
bab Dzikru Nuzul Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Lailah
An-Nishfu Min Sya’ban wa Mathla’ihi Ila Khalqihi, no. 492.
8. Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhid, I/280.
Dan sejumlah ulama ahli hadits selainnya.
SYARAH HADITS AN-NUZUL
Turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit
dunia merupakan salah satu dari sekian banyak sifat-sifatfi’liyah yang
dimiliki-Nya. Sifat fi’liyah adalah sifat-sifat Allah yang
berkaitan dengan kehendak AllahSubhanahu wa Ta’ala, seperti turun,
istiwa, tertawa, murka, ridha, dan selainnya. Sifat-sifat tersebut telah ada
sejak dahulu (qadim) jika dilihat dari segi jenisnya. Artinya sejak dulu
Allah mampu untuk turun, tertawa, murka, ridha, berbicara dst.
Sementara jika dilihat dari kasus terjadinya maka semua
sifat di atas adalah satu hal yang baru, yang bisa muncul jika Allah
berkehendak untuk melakukannya.Ketika Allah berkehendak maka Dia akan melakukan
hal tersebut, namun ketika Allah tidak berkehendak maka Dia tidak melakukannya.
[LihatMukhtashar Al-Ajwibah Al-Ushuliyyah (hal. 30) dan Syarh
Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 78-79)]
Hadits di atas menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Rabb
kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap
sepertiga malam terakhir untuk mengijabahi do’a hamba-Nya. Akan tetapi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan
kepada kita tentang bagaimana cara turunnya Allah ke langit dunia. Allah pun
tidak mewahyukan bagaimana caranya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. [Lihat Syarh ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Khalil
Harras (hal. 165)]
Untuk itu, selaku hamba sekaligus ummat yang taat, sudah
sepatutnya kita menerima khabar ini tanpa menanyakan kaifiyat (cara)
turunnya Allah, karena perkara tersebut berada diluar jangkauan nalar kita.
Kalaupun kita hendak bersikap takalluf (memberat-beratkan
diri) dengan mengkhayalkan bagaimana turunnya Allah, maka hakekatnya kita telah
melakukan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhlukNya). Padahal
Allah telah berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌۚ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah,
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syura: 11)
Selain itu, kita juga tidak patut untuk mengubah hakikat
sifat turunnya Allah dengan permisalan-permisalan yang tidak ada asal-usulnya.
Contohnya mengatakan bahwa yang turun bukanlah Dzat Allah, tetapi yang turun
adalah rahmat Allah. Orang yang memiliki keyakinan ini, berarti telah terjebak
dalam tahrif (mengubah makna). Padahal sejatinya, kebiasaan
seperti itu adalah kebiasaan buruk orang-orang Mu’tazilah dan Asy’airah
yang zhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi, sebagaimana difirmankan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا يَحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهِ
…
Artinya: “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah
perkataan dari tempat-tempatnya…” (Qs. An-Nisa’: 46)
Mengingat pentingnya masalah ini, banyak diantara para ulama
yang menulis risalah khusus tentang hal ini. Dan berikut ini adalah komentar
mereka:
1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Aqidah yang aku yakini dan diyakini oleh orang-orang yang pernah aku temui
seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah
dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu
mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan
sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.”
[Lihat Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah (hal. 94 dan 122), Mukhtashar
Al-‘Uluw (hal. 176), Majmu’ Fatawa(IV/181), dan ‘Aunul
Ma’bud (XIII/41 dan 47)]
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata,
“Sesungguhnya pendapat tentang turunnya Allah setiap malam, telah tersebar luas
melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya
dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammaka perkataan itu adalah
haq dan benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta
makna-maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak
memahami makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah
Kalam Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-sunnah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak mengistimewakan seseorang
atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para
Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan
meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum pula, yang selanjutnya
dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun
umum, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim,Muwaththa’
Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan
At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang semisalnya.”
[Lihat Majmu’ Fatawa (V/322-323) dan Syarah Hadits
Nuzul(hal. 69)]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits
tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap hari telah mencapai derajat
mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka wajib bagi kita untuk mengimaninya,
pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif(menanyakan
caranya) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) sertatakwil (menyelewengkan
artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya Allah.” [Lihat Al-Iqtishad
fil I’tiqad(hal. 100)]
4. Imam Al-Ajurri rahimahullahberkata,
“Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk
bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang mengingkari hal ini,
kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan, “Mengimaninya
adalah wajib tanpa takyif(menanyakan caranya), sebab telah datang
hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam.
Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang
meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa,
haji dan jihad. Maka seperti halnya para ulama dalam menerima semua itu, mereka
(ahlul haq) juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan, ‘Barang
siapa yang menolaknya maka dia sesat dan keji.’” Mereka (ahlul haq) bersikap
waspada darinya (para penolak kebenaran itu) dan memperingatkan ummat dari
penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus Salaf
Ash-habil Hadits (hal. 81)]
5. Imam Ash-Shabuni rahimahullah berkata,
“Para ulama ahli hadits menetapkan turunnya Rabb ‘Azza wa Jalla ke
langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan
turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa
menanyakan bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya
sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa ada komentar
lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya,
serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.” [Lihat ‘Aqidatus Salaf Ash-habil
Hadits (hal. 75)]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat mengenai wajibnya
mengimani turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia
pada setiap malam, karena khabar tentang hal ini telah shahih
datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penerima wahyu dan pembawa risalah. Dengan demikian, cukuplah bagi kita untuk
mengimani bahwa Allah memang benar turun ke langit dunia pada setiap sepertiga
malam, yang merupakan waktu paling baik untuk diijabahnya do’a-do’a,
tanpa mempertanyakan kaifiyatnya (takyif), tanpa merubah
maknanya (tahrif), tanpa menyerupakan cara turunnya Allah dengan cara
turun makhluk (tasybih), tanpa membuat permisalan-permisalan yang tidak
ada asal-usulnya (tamtsil), dan juga tanpa pengingkaran dalam bentuk apa
pun (ta’thil). Itulah penjelasan dan pemahaman paling baik serta paling
selamat –insya Allah– untuk permasalahan ini, karena demikianlah yang
difahami oleh orang-orang dari generasi terbaik, dan mereka itulah orang-orang
yang paling mengerti dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz rahimahullah, “Pendapat yang benar adalah pendapat Salafush
Shalih, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana
datangnya, tanpa takyif (mempertanyakan caranya) dan
tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang
paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah
keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari
keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya.” [Lihat Ta’liq Fathul Bari (III/30)]
bersambung insyaallah
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Bersambung ke --- > :
SYARAH HADITS NUZUL [TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA] 2 :
http://abdullahissgafa.blogspot.com/2012/06/syarah-hadits-nuzul-turunnya-allah-ke_21.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar