Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr Dan Mentabdi’

OKTOBER 13, 2006
أقوال و فتاوى العلماء في التحذير من جماعة الهجر و التبديع
Tahdzir Ulama Kibar Terhadap
Jama’ah
Yang Gemar Menghajr Dan Mentabdi’
Oleh : Majmu’ Thullabatil Ilmi
Alih Bahasa : Abu Salma al-Atsari
Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz
Al-Allamah, al-Mufti al-Alim, Samahatus
Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz – rahimahullahu- berkata,
sebagaimana termuat dalam harian al-Jazirah, ar-Riyadh, asy-Syirqul Awsath,
Sabtu 22/6/1412 H, sebagai berikut :
“Telah merebak di zaman ini tentang banyaknya orang-orang
yang menisbatkan diri kepada ilmu (tholibul ‘ilm, pent.) dan terhadap dakwah
kepada kebajikan (da’i, pent.) yang mencela kehormatan kebanyakan
saudara-saudara mereka para du’at yang masyhur dan memperbincangkan kehormatan
(menjelekkan, pent.) para thullabul ‘ilm (penuntut ilmu), para du’at dan khatib
(penceramah). Mereka melakukannya secara sirriyah (sembunyi-sembunyi) di dalam
majelis-majlis mereka, dan bisa jadi ada yang merekamnya di kaset-kaset kemudian
disebarkan kepada manusia. Terkadang pula mereka melakukannya secara
terang-terangan di dalam muhadharah ‘am (ceramah umum) di masjid-masjid. Cara
ini menyelisihi dengan apa-apa yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya, dengan
beberapa alasan :
Pertama.
Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Kedua.
Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari ahlis sunnah wal jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid’ah serta kesesatan.
Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari ahlis sunnah wal jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid’ah serta kesesatan.
Ketiga.
Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para du’at.
Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para du’at.
Keempat.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mukminin.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mukminin.
Kelima.
Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman.
Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu
kebanyakan dari purbasangka, karena sesungguhnya sebagaian purbasangka itu
adalah dosa.” [Al-Hujurat : 11-12]
Selayaknyalah bagi seorang muslim membawa ucapan saudaranya
seislam pada sebaik-baik tempat (kepada makna yang paling baik). Sebagian Salaf
berkata, “Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap perkataan yang
dilontarkan saudaramu sedangkan engkau dapat membawa perkataan tersebut pada
makna yang baik.”
Keenam,
Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mukminin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??1‘”
Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mukminin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??1‘”
Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Abani
Berkata Syaikh kami yang mulia, al-Muhaddits al-Ashr
al-Mujaddid al-Faqih Muhammad Nashirudin al-Albani -Rahimahullah- di
dalam kaset Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shouthiyah no 784 side A, sebagai
berikut :
“Syuf (perhatikan) wahai saudaraku! Aku
menasehatkanmu dan para pemuda lainnya yang berada di jalan munharif
(menyeleweng) sebagaimana tampak pada kami, wallahu a’lam, untuk tidak
membuang-buang waktumu untuk mencela satu dengan lainnya dan sibuk dengan
mengatakan fulan begini dan fulan berkata begitu. Dikarenakan, pertama, hal ini
tidaklah termasuk ilmu sama sekali, dan yang kedua, uslub (cara) ini akan
merasuk ke dada dan menyebabkan kedengkian serta kebencian di dalam hati. Wajib
atasmu menuntut ilmu!!! Karena ilmulah yang akan menyingkapkan apakah perkataan
ini yang mencela Zaid atau fulan dari manusia dikarenakan dirinya memiliki
banyak kesalahan, apakah berhak bagi kita untuk menyebutkan shohibul bid’ah
atau mubtadi’ ataukah tidak?? Apa yang harus kita lakukan dengan mendalami
perkara ini?? Aku tidak menasehatkanmu untuk mendalami seluruh perkara ini
dengan benar-benar, karena hakikatnya kita sekalian sedang mengeluhkan
perpecahan ini yang terjadi di tengah-tengah orang-orang yang berintisab
(menisbatkan diri) pada dakwah al-Kitab dan as-Sunnah, atau sebagaimana kita
menyebutnya, Dakwah Salafiyah.!!!
Perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah
dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`)
dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku. karena
telah sering aku ditanya, ‘apa pendapatmu tentang fulan?’, dan aku langsung
faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. dan terkadang orang
yang ditanyakan adalah diantara saudara-saudara kita terdahulu yang dikatakan
dia menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan
terhadap fulan dan fulan??
Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah
ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana
yang shalih, mana yang bathil dan mana yang haq.!!! Kemudian janganlah engkau
ini mendengki terhadap saudara seislam dikarenakan ia jatuh kepada beberapa
kesalahan. Kami tidak mengatakan salah, namun kami katakan ia menyimpang dalam
satu, dua atau tiga perkara, dan perkara lainnya ia tidak menyimpang.
Kita dapati para Imam Ahli Hadits yang menerima haditsnya
(orang yang menyimpang) dan disebutkan di dalam riwayatnya ia khariji atau
murji`i atau lainnya. Ini semua adalah aib dan kesesatan, namun diperoleh pada
timbangan tersebut yang mereka berpegang teguh padanya. Kita tidak menimbang
beratnya keburukannya dari kebaikan-kebaikannya atau dua atau tiga keburukannya
terhadap banyaknya kebaikannya, dan yang terbesar adalah syahadat Laa ilaaha
illa Allah wa Muhammad Rasulullah.”
Syaikh juga berkata tentang definisi siapakah mubtadi’ itu di dalam kaset Silsilah Huda wa Nur ash-Shouthiyah no 785 side B, sebagai berikut :
“Atsar Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bermanfaat untuk
menunjukkan contoh dari terjatuhnya seorang alim kepada bid’ah tidaklah serta
merta menjadikannya mubtadi’ dan jatuhnya seseorang kepada perbuatan haram,
dengan pernyataan memperbolehkan apa-apa yang diharamkan secara ijtihad, tidak
serta merta menjadikannya sebagai pelaku keharaman. Saya katakan, atsar Abu
Hurairah Radhiallahu ‘anhu ini menunjukkan bahwasanya ia dulu berdiri
menasehati manusia pada hari Jum’at sebelum sholat, berfaidah untuk menunjukkan
contoh yang shahih, bahwa bid’ah yang terkadang terjatuh kepada seorang alim,
tidaklah dengan demikian ia menjadi seorang mubtadi’.
Sebelum masuk ke jawaban yang lengkap, aku katakan,
al-Mubtadi’ adalah berawal dari kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam
agama, dan tidaklah orang yang mengada-adakan bid’ah, walaupun ia mengamalkannya
bukan karena ijtihadnya, namun dari hawa nafsunya, tidak serta merta dikatakan
dia mubtadi’!! contoh terjelas yang paling dekat dengan perkara ini adalah,
seorang hakim yang dhalim yang terkadang berlaku adil pada sebagian
hukum-hukumnya, tidaklah bisa disebut hakim adil, sebagaimana pula seorang
hakim yang adil yang terkadang melakukan kedhaliman di sebagian hukum-hukumnya,
tidaklah dinamakan dirinya hakim dhalim. Hal ini berkaitan erat dengan kaidah
fiqh islami yang menyatakan bahwasanya seorang manusia dilihat dari banyaknya
kebaikan atau keburukannya. Jika kita telah mengetahui hakikat ini, maka kita
dapat mengetahui siapakah mubtadi’ itu. maka, dengan demikian disyaratkan bagi
mubtadi’ dua hal, yaitu pertama, dia bukanlah seorang mujtahid namun hanyalah
pengikut hawa nafsu dan kedua, dia menjadikan bid’ahnya sebagai kebiasaan dan
agamanya.”
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh al-Imam Faqihuz Zaman, al-Allamah Muhammad bin Sholih
al-Utsaimin -rahimahullahu- berkata saat Liqo`ul Babil Maftuh (Pertemuan
terbuka) no 1322, sebagai berikut :
“Salafiyyah adalah ittiba’ terhadap manhaj Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita
yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah.
Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan
menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas
kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!
Kaum salaf seluruhnya menyeru kepada Islam dan bersatu di
atas Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka tidak menyesatkan
orang-orang yang menyelisihinya karena perkara takwil/penafsiran yang berbeda,
Allahumma, kecuali dalam perkara aqidah, dikarenakan mereka berpandangan bahwa
siapa-siapa yang menyelisihinya dalam perkara aqidah, maka telah sesat.
Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada
zaman ini, menjadikan manhajnya dengan menyesatkan setiap orang yang
menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan
hal ini sebagai manhaj hizbiyah sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang
memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh
ditetapkan. Dikatakan, ‘lihatlah kepada madzhab salafus shalih, apa yang mereka
perbuat di dalam jalan mereka dan kelapangan dada mereka pada perkara khilaf
yang memang diperbolehkan ijtihad di dalamnya, sampai pada taraf mereka
berselisih di dalam perkara aqidah dan ilmu. engkau dapati mereka, misalnya,
mengingkari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat Rabbnya dan sebagian
lagi menetapkannya, ada lagi yang berpendapat yang ditimbang pada hari kiamat
nanti adalah anak dan sebagiannya berpendapat lembaran-lembaran amal-lah yang
ditimbang õEngkau dapati pula mereka berselisih di dalam masalah fiqhiyah, baik
dalam masalah nikah, faraidh, iddah, jual beli dan lain-lain. Walaupun
demikian, mereka tidak saling menyesatkan satu dengan lainnya.
Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus,
yang mana di dalamnya mereka membeda-bedakan dan menyesatkan selain mereka,
maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah yang
ittiba’ terhadap manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan,
perselisihan, persatuan, cinta kasih dan kasih sayang sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘permisalan kaum mukminin satu dengan lainnya
dalam hal kasih sayang, tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang
satu, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa
demam atau ikut sakit.’ [Hadits Riwayat Muslim], maka inilah salafiyah yang
hakiki!!!”
Syaikh Al-Allamah Bakr Abu Zaed
Asy-Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaed -hafidhahullahu- berkata dalam bukunya Tashnifun Naasi bain adh-Dhanni wal Yaqin hal 40-41, Cet. I, Darul ‘Aashimah, 1414 H.
“Dan upaya pemecahbelahan ini di tengah-tengah barisan Ahlus
Sunnah, untuk kesekian kalinya sesuai dengan apa yang kita ketahui, ditemukan
terjadi pada orang-orang yang berintisab (menyandarkan diri) sebagai Ahlus
Sunnah sebagai orang-orang yang menentangnya, mereka menjadikan diri mereka
menetapi ahlus sunnah dan menyandarkan bagian dari tujuannya untuk memadamkan
‘bara api’ ahlus sunnah. Mereka pun berdiri di jalan dakwah sembari melepaskan
kendali lisan-lisan mereka dengan mengadakan kedustaan terhadap kehormatan para
du’at, dan mereka temukan di jalan ahlus sunnah ini aral rintangan berupa
fanatisme yang serampangan. Sekiranya anda melihat mereka! Orang-orang miskin
yang memprihatinkan keadaan dan kerusakan yang ada pada mereka.
Mereka gemar ‘melompat’ dan ‘meloncat’, dan Allahlah yang
lebih tahu tentang apa yang mereka upayakan. Anda akan benar-benar mendapatkan
pada diri mereka sikap yang ceroboh dan sembrono dalam lamunan mereka yang
melayang.
Mereka ‘mengibarkan’ perkara ini tanpa kaidah, seandainya
anda berbantah-bantahan dengan salah seorang dari mereka, tatkala itu anda akan
melihat modal semangatnya yang menggelegak tanpa bashirah. Yang mencapai
akal-akal orang yang sederhana ini adalah semangat untuk menolong sunnah dan
mempersatukan ummat, namun merekalah orang yang pertama kali akan menghancurkan
sunnah dan mengoyak-ngoyak persatuan ummat…”
Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad
Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad -hafidhahullahu-
ditanya saat pelajaran (durus ) Sunan Abu Dawud, malam hari, 26 Shafar 1423 H.,
sebagai berikut :
Pertanyaan : Jika seandainya ada seorang syaikh berbicara
mengenai seseorang dan menganggapnya mubtadi’, apakah harus seorang pelajar
(tholib) mengambil tabdi’ ini? Ataukah harus mengetahui sebab-sebab tabdi’
terlebih dahulu, dikarenakan terkadang tabdi’ ini dimutlakkan atas seseorang
walaupun ia multazim dengan sunnah?
Jawaban : Tidak setiap orang diterima perkataannya dalam
perkara ini. Jika datang perkataan dari orang yang semisal Syaikh Ibnu Bazz
atau Syaikh Ibnu Utsaimin, iya, mungkin untuk mempercayai ucapannya
(mengambilnya, pent.). Adapun dari orang-orang yang ‘merangkak dan merayap’
(gemar menyebarkan desas-desus dan sembrono, pent.), maka tidak diambil perkatannya.
Pertanyaan : Masalah lain, tentang menerima khobar (berita)
tsiqoh (orang yang terpercaya), apakah diterima perkataannya secara mutlak
tanpa tatsabut? Misalnya dikatakan, fulan tersebut mencela dan memaki shahabat,
sebagai contoh, apakah wajib bagiku menerima perkataan ini (langsung) dan
menghukuminya (sebagai pencela sahabat, pent.) ataukah aku harus tatsabut?
Jawaban : (Anda) harus tatsabut!!!
Pertanyaan : Walaupun yang berkata demikian adalah salah
seorang masyaikh?
Jawaban : Harus tatasabut!!! Orang yang berkata jika ia
menisbatkan kepada kitabnya dan kitabnya eksis (maujud), sehingga memungkinkan
ummat untuk merujuk kepada kitab ini. Adapun perkataan belaka yang kosong dari
pokok (asas) yang disebutkan tentangnya terutama jika orang-orang tersebut
masih hidup. Adapun jika ia termasuk dari para pendahulu kita dan dia memang
dikenal dengan kebid’ahannya atau termasuk penghulu bid’ah, maka hal ini semua
orang telah mengetahuinya, yaitu seperti Jahm bin Shofwan, dan demikianlah
tiap-tiap orang yang berkata ia mubtadi’, maka sesungguhnya perkataannya benar,
yaitu mengatakannya mubtadi’. Adapun terhadap orang-orang yang melakukan
kesalahan sedangkan dia memiliki kesungguhan yang luar biasa dalam berkhidmat
terhadap agama, kemudian dia tergelincir, maka seharusnya ummat ini menghukumi
terhadapnya pada kesalahannya saja.
Pertanyaan : Jika didapatkan pada seorang alim perkataan
yang mujmal (global) di dalam suatu perkara, dan terkadang perkataan mujmal
tersebut secara dhohirnya menunjukkan kepada suatu perkara yang salah, dan
didapatkan lagi padanya perkataan yang lain yang mufashshol(terperinci
) pada perkara yang sama tentang manhaj salaf, apakah dibawa perkataan seorang
alim yang mujmal tersebut kepada perkara yang mufashshol?
Jawaban : Iya, dibawa kepada mufashshol, selama perkara
tersebut adalah sesuatu yang masih samar, dan perkara yang jelas dan teranglah
yang dianggap.
Syaikh Al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan
Asy-Syaikh al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan -hafidhahullahu- berkata saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/69) sebagai berikut :
“Diantara kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian ini
adalah mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, disebabkan
disibukkannya mereka satu dengan lainnya dengan mentajrih (mencela) dengan
gelar-gelar yang buruk. Tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan diri mereka
dari yang lainnya dan merekapun menyibukkan kaum muslimin dengan perihal
mereka. Yang mana hal ini menjadi melebihi mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Sesungguhnya banyak dan banyak dari para penuntut ilmu yang bertanya sampai
kepada kami bahwa semangat dan kesibukan mereka hanyalah memperbincangkan
manusia dan kehormatan mereka, baik di majelis-majelis maupun perkumpulan
mereka, sembari menyalahkan ini dan membenarkan itu, memuji ini dan menyatakan
itu sesat… Tidaklah mereka ini disibukkan melainkan hanya memperbincangkan
manusia..”
Syaikh al-Allamah ditanya saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah
(III/57) sebagai berikut :
Pertanyaan : “Apa pendapat yang mulia tentang merebaknya
celaan-celaan baik yang tertulis maupun yang didengar yang merebak di kalangan
para ulama?? Tidakkah Anda memandang bahwa duduknya mereka untuk diskusi adalah
lebih mulia?? Karena betapa banyak aturan-aturan islam yang rusak karena hal
ini!!”
Jawaban : “Para ulama yang mu’tabar (dikenal keilmuannya)
tidak ada pada diri mereka sedikitpun dari apa yang disebutkan dalam
pertanyaan. Mungkin hal ini terjadi diantara para penuntut ilmu dan pemuda yang
bersemangat, kami memohon hidayah dan taufiq Allah untuk mereka. Kami menyeru
mereka untuk meninggalkan perbuatan tercela ini dan supaya mereka saling
bersaudara di atas kebajikan dan ketakwaan, serta mengembalikan kepada para ulama
terhadap perkara-perkara yang mereka sulit menentukan kebenarannya, dan agar
mereka -para ulama- menjelaskan kepada mereka mana yang benar, dan supaya
mereka tidak memberikan pengaruh pada fikiran dengan syubuhat sehingga mereka
berpaling dari manhaj yang benar. Namun, janganlah difahami dari hal ini,
meninggalkan bantahan terhadap kesalahan dan penyimpangan yang terdapat di
sebagian buku-buku termasuk bagian nasehat bagi ummat.”
Syaikh ditanya pula saat pengajian Aqidah dan Dakwah
(III/332) sebagai berikut :
Pertanyaan : “Syaikh yang mulia, apakah nasehatmu bagi para
pemuda yang meninggalkan menuntut ilmu syar’i dan berdakwah kepada Allah dengan
menceburkan dirinya ke dalam masalah perselisihan diantara pada ulama tanpa
ilmu dan bashirah??
Jawaban: “Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku
dan khususnya para pemuda penuntut ilmu agar mereka menyibukkan diri dengan
menuntut ilmu yang benar, baik di Masjid, sekolah, ma’had maupun di
perkuliahan. Agar mereka sibuk dengan pelajaran-pelajaran mereka dan apa-apa
yang bermashlahat bagi mereka. Dan supaya mereka meninggalkan menceburkan diri
kepada perkara ini -perselisihan ulama-, dikarenakan tidak ada kebaikannya dan
tidak bermanfaat masuk ke dalamnya… hanya membuang-buang waktu saja dan
merisaukan fikiran…
Hal ini termasuk penghalang amal shalih, termasuk mencela
kehormatan dan menghasut kaum muslimin. Wajib bagi kaum muslimin umumnya dan
para penuntut ilmu khususnya, supaya meninggalkan perkara ini dan agar mereka
mengupayakan perdamaian (ishlah) semampu yang mereka bisa. Allah Ta’ala
berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka
damaikanlah kedua golongan saudara kalian tersebut, bertakwalah kepada Allah
semoga engkau dirahmati.” (al-Hujurat : 10). Terhadap orang-orang yang anda
lihat melakukan kesalahan, maka wajib bagi anda menasehatinya dan menjelaskan
kesalahnnya secara empat mata, dan memohon kepadanya agar ia mau rujuk
(kembali) kepada kebenaran. Inilah yang dibutuhkan nasehat.
Syaikh Hafidhahullahu berkata saat pengajian Dhahiratut
Tabdi’ wat Tafsiq wat takfir wa Dhawabithuha, sebagai berikut :
“Oleh karena itu, wajib bagi para pemuda Islam dan penuntut
ilmu untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dari sumbernya dan dari ahlinya
yang dikenal akan keilmuannya. Kemudian setelah itu, mereka akan tahu bagaimana
berbicara dan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena Ahlus Sunnah
dulu maupun sekarang mampu menjaga lisannya dan mereka tidaklah berucap
melainkan dengan ilmu..”
Fadhilatus Syaikh Nashir Abdul Karim al-Aql
Asy-Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql -hafidhahullahu-
berkata saat pengajian Syarh Mujmal I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai
berikut :
“Orang-orang beriman seluruhnya adalah wali Allah dan bagi
seluruh mukmin diberikan wala’ (loyalitas) sebatas tingkat keimanannya,
demikian pula sebaliknya (diberikan baro’ah (kebencian/berlepas diri) sebatas
tingkat kemaksiatannya, pent.).
Orang-orang kafir, seluruhnya adalah wali Syaithan dan tidak
ada wala’ sedikitpun bagi orang kafir. Akan tetapi, mukmin yang bermaksiat,
diberikan baro’ah kepadanya menurut kadar kemaksiatannya, demikian pula para
pelaku bid’ah dari kaum muslimin, diberikan baro’ah menurut tingkat
kebid’ahannya, dan bagi mereka wala’ sebatas keimanannya. Oleh karena itu,
sesungguhnya orang kafir tidak terkumpul padanya wala’ dan baro’ sekaligus.
Seorang mukmin yang kholish (murni) yang berjalan di atas
as-Sunnah, baginya wala dan kecintaan yang sempurna. Jika ditemukan padanya
kemaksiatan atau kebid’ahan maka terkumpul padanya dua perkara: yaitu kita
berwala’ terhadap kebaikan dan iman yang dimilikinya dan kita membenci terhadap
kemaksiatan dan kebid’ahannya. Dengan demikian, mayoritas kaum mukminin pelaku
kemaksiatan dan kebid’ahan yang tidak sampai mengeluarkan dari agama… mayoritas
mereka… bahkan seluruhnya dari para pelaku kemaksiatan dan bid’ah yang kecil,
bagi mereka kecintaan dan wala’ sebatas keimanan dan amal shalih yang ada pada
mereka serta baro’ dan kebencian sebatas kemaksiatan dan kebid’ahan mereka.
Kaidah ini jarang dipegang oleh kebanyakan orang-orang yang
lemah ilmunya dan dangkal pemahaman agamanya serta bodoh dengan manhaj salaf,
sampai-sampai sebagian orang yang mengaku sebagai salafiy juga jatuh kepada hal
ini, yaitu mereka memusuhi bid’ah dengan permusuhan yang kamil (sempurna),
walaupun terkadang bid’ahnya tidak sampai tingkatan mengeluarkan pelakunya dari
agama, dan terkadang pula kebid’ahan tersebut hanya sebagian kecil saja tidak
menyeluruh pada seseorang. Sebagaimana pula mereka memusuhi kemaksiatan dengan
permusuhan sempurna, atau memusuhi suatu penyelewengan dan kesalahan dengan
permusuhan yang sempurna.
Sekarang kita perhatikan dampak dari penerapan perilaku ini,
yang marak terjadi di tengah-tengah ahlus sunnah, yang menimbulkan keprihatinan
dan percekcokan di dalam permasalahan agama, perkara Ijtihadiyah dan seputar
dakwah kepada Allah. Kita dapatkan mereka saling berselisih tentang hal ini dan
menerapkan kepada musuh dan lawan mereka sesama ahlus sunnah, baro’ah yang
sempurna, sampai mereka membenci mereka, memperbolehkan menjelekkan mereka,
menyebarkan aib mereka, mereka berniat karena Allah mendakwahi lawan mereka
namun mereka menyebarkan aib mereka dan mentahdzir mereka.
Hal ini menyelisihi ushul (pokok) syariat. Iya memang, jika
mereka melakukan kesalahan diperingatkan kesalahan-kesalahannya, namun tetap
dengan mengakui keutamaan dan kemampuan yang mereka miliki. Ini adalah perkara
dharuri (yang wajib dilakukan) atau jika tidak. akan timbul fitnah di
tengah-tengah kaum muslimin. Demikian pula seorang yang menyimpang, wajib
diberitahukan padanya, bahwa dirimu selaras dengan kebenaran dalam perkara yang
memang benar dan dirimu menyelisihi kebenaran dalam perkara yang memang menyelisihi
kebenaran. Dan janganlah mengobarkan kebencian di dada-dada kaum muslimin satu
dengan lainnya sebagaimana cara yang dilakukan oleh orang-orang bodoh tadi.
Bahkan saya katakan, tidak terlarang, di sini aku contohkan sedikit… termasuk
tabiat dan adab islami jika anda berselisih dengan salah seorang saudara anda
dan anda memandang ia melakukan kesalahan atau kebid’ahan yang cukup besar,
anda memberikannya udzur setelah anda tidak mampu lagi memuaskan dirinya
(dengan dalil), dan senantiasa berwala’ seraya mengatakan ‘aku mencintaimu
karena Allah terhadap kebaikan dan kelurusan yang anda miliki’… (hal ini) tidak
terlarang!!!
Saudara-saudaraku yang kucintai karena Allah, hingga
sampai-sampai jika ditemukan padanya kesalahan… (maka tidak apa-apa melakukan
sebagaimana contoh di di atas, pent.)… yang dengan cara ini akan mendamaikan
hati dan menghilangkan kebencian dan kedengkian yang dimiliki kaum mukminin
satu dengan lainnya.
Sampai-sampai orang-orang bodoh tadi melupakan baro’ kepada
orang kafir dan pelaku bid’ah yang berat, dimana mereka palingkan nash-nash
tentang baro’ kepada saudara-saudara mereka. Aku takut mereka akan ditimpa
-jika mereka tidak mau taubat dan kembali kepada kebenaran dan manhaj yang
lurus- sebagaimana yang disifatkan nabi kepada salah satu kelompok ahlul
bid’ah, ‘yang mereka ini memerangi ahlul islam dan membiarkan ahlul awtsan
(penyembah berhala)’ yang datang dari hadits shahih ketika mensifatkan sebagian
kelompok ahlul bid’ah.
Tentu saja, baro’ yang kamil (sempurna) merupakan jalan
kepada peperangan. Seorang manusia yang baro’ kepada saudaranya muslim dengan
baro’ yang sempurna berimplikasi terhadap penghalalan darahnya. Walaupun tidak
terjadi saat ini saat ini, namun wajib bagi kita untuk berhati-hati dari sikap
yang dapat mengeruhkan keadaan ini. Kita perlu tahu bahwa ahlus sunnah
terkadang berselisih diantara mereka, terkadang ditemukan pada sebagian ahlus
sunnah kesalahan pada manhajnya, akan tetapi tanpa maksud/kesengajaan
-dikarenakan ijtihad-, terkadang pula ditemukan pada mereka ketergelinciran
yang besar, akan tetapi tanpa kesengajaan yang tidak menyebabkan mereka
berpecah belah, dan terkadang pula didapatkan pada sebagian ahlus sunnah suatu
kebid’ahan, namun tidak banyak dan tidak termasuk bid’ah yang kategori berat.
Namun, tetap wajib bagi kita menyalahkan terhadap kesalahan
yang ada pada mereka, namun kita tetap menganggap mereka, mencintai dan
berwala’ terhadap mereka dari perkara-perkara yang benar jika mereka termasuk
ahlus sunnah.
Wallahu a’lam. Semoga Sholawat senantiasa tercurahkan kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.”
1 Isyarat
terhadap hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika
berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika menyampaikan
sesuatu tentang seseorang beliau tidak berkata, ‘mengapa fulan berkata
demikian’, namun beliau berkata, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikian dan
demikian?’.’ Hadits Shahih diriwayatkan Abu Dawud dalam bab al-Idznu wal
Isti’dzan (izin dan meminta izin), lihat Silsilah ash-Shahihah no 2064.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar