Takfir : Bahaya Takfir
Sumber :

Bahaya Takfir
OKTOBER 30, 2006
PENJELASAN LEMBAGA ULAMA SENIOR ARAB SAUDI
TENTANG TERCELANYA SIKAP EKSTRIM DI DALAM PENGKAFIRAN
DAN DAMPAK NEGATIFNYA
TENTANG TERCELANYA SIKAP EKSTRIM DI DALAM PENGKAFIRAN
DAN DAMPAK NEGATIFNYA
Oleh :
Al-Allamah al-Imam asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz
Al-Allamah al-Imam asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz
Penyusun dan Komentar :
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid al-Halaby al-Atsary
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid al-Halaby al-Atsary
Kata Pengantar
(Syaikh Ali Hasan al-Halaby)
(Syaikh Ali Hasan al-Halaby)
Segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta.
Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan yang paling
mulia, keluarga beliau dan seluruh sahabatnya. Dan tidaklah ada permusuhan
melainkan terhadap orang-orang yang zhalim.
Amma Ba’du : Inilah penjelasan ilmiah yang mendalam, yang di
dalamnya berisi penelitian dan pembahasan yang cermat, yang menetapkan suatu
permasalahan yang paling urgen, yang akan memberikan faidah bagi seluruh umat
dan menangkis fitnah yang membutakan.
Saya (Syaikh Ali, red.) memandang harus menyebarkan penjelasan
ini dan memandang sangat urgen sekali menyebarkannya, sebagai nasehat dan
amanat, dengan dua alasan :
Pertama, Mayoritas manusia tidak mengetahui dan memahami hal
ini. Bahkan orang yang tahu pun tidak mau menyebarkannya [1] dan tidak mau
menunjukkannya, kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh.
Kedua, Bahwasanya di dalam penjelasan ini, terdapat
penyingkapan keadaan sebagian manusia yang ghuluw (ekstrim) dan
berlebih-lebihan. Yang mana mereka berbuat kejelekan dikarenakan kebodohannya
terhadap agama dan mereka membinasakan mayoritas kaum muslimin dengan
penyimpangan-penyimpangan mereka.
Adapun Islam itu -walhamdulillah- adalah tinggi dan mulia.
Islam lebih dapat memberikan dan mengarahkan kepada kebenaran. Hanya kepada
Allohlah saya meminta agar penjelasan ini [2] dapat memberikan manfaat kepada
khayalak umum (umat) dan khusus (ahli ilmi), dan Dia-lah Alloh SWT yang
berfirman :
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya” (Al-Anfal : 25)
Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik
Alloh pemelihara alam semesta.
Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Senior) [3]
Segala puji hanyalah milik Alloh, Sholawat dan Salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga beliau sahabat beliau dan
siapa saja yang berpetunjuk dengan petunjuk beliau.
Amma Ba’du : Majelis Ha`iah Kibaril Ulama telah mempelajari
di dalam daurohnya yang ke-49 yang bertempat di Tha’if, yang dimulai dari
tanggal 2/4/1419 [4], mengenai apa yang telah terjadi di banyak negara-negara
Islam dan selainnya, dari aktivitas takfir (pengkafiran) dan tafjir (perusakan)
serta apa yang berkembang darinya seperti tertumpahnya darah dan hancurnya
gedung-gedung.
Melihat bahayanya perkara ini dan dampak yang
ditimbulkannya, seperti lenyapnya nyawa orang-orang yang tidak bersalah,
hilangnya harta-harta yang terjaga, ketakutan manusia dan terguncangnya stabilitas
keamanan, maka majelis memandang perlunya mengeluarkan penjelasan yang
menerangkan hukum dari aktivitas-aktivitas ini, dalam rangka menegakkan nasehat
bagi Alloh dan hamba-hamba-Nya, memelihara kehormatan dan mengeliminir
kerancuan pemahaman orang-orang yang tersamar atasnya hukum perkara ini.
Maka, kami katakan –dengan (mengharap) taufiq dari Alloh- :
Pertama, Takfir merupakan hukum syar’i yang tempat
kembalinya adalah Alloh dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlil (penghalalan), tahrim
(pengharaman) dan iijab (pewajiban), kembalinya adalah kepada Alloh dan
Rasul-Nya, maka demikian pula dengan takfir.
Tidaklah setiap ucapan dan amalan yang disifatkan dengan
kekufuran, maka dengan serta merta menjadikan kufur akbar yang mengeluarkan
dari agama. [5] Oleh karena tempat kembalinya hukum takfir adalah kepada Alloh
dan Rasul-Nya, maka tidaklah boleh kita mengkafirkan kecuali dengan apa yang
ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah akan kekufurannya dengan penunjukkan
yang jelas. Tidaklah cukup di dalam menvonis kafir hanya dengan syubhat
(kesamar-samaran) dan dugaan semata, yang nantinya akan berkonsekuensi pada
hukum-hukum yang riskan.
Apabila hudud saja ditolak karena syubhat, yang mana dampak
dari hal ini lebih minim jika dibandingkan dengan dampak dari takfir, maka
tentunya takfir lebih utama untuk ditolak karena syubhat. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alahi wa Salam memperingatkan dari menvonis seseorang sebagai
kafir yang pada kenyataannya tidak kafir, beliau bersabda :
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya : wahai kafir,
maka akan kembali (vonis) ini pada salah satu dari keduanya. Apabila ia memang
kafir, maka apa yang dikatakannya benar, namun apabila tidak kafir, maka vonis
itu akan kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar).
Terkadang terdapat ayat di dalam al-Qur’an atau Sunnah yang
difahami darinya bahwa suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan adalah kufur,
namun tidaklah dikafirkan orang yang disifatkan dengannya karena adanya
penghalang yang menghalangi dari kekafiran.
Dan hukum ini, sebagaimana hukum-hukum lainnya, tidak bisa
sempurna melainkan dengan adanya sebab-sebab dan syarat-syaratnya [6] serta
hilangnya penghalang-penghalangnya. Sebagaimana hukum warisan, sebabnya adalah
hubungan kekerabatan. Namun terkadang pewarisan itu tidak ada walau memiliki
sebab hubungan kekerabatan, dikarenakan adanya penghalang seperti perbedaan
agama misalnya. Demikian pula dengan kekufuran, dimana seorang mukmin yang
terpaksa tidaklah dikafirkan.
Kadang-kadang, seorang muslim mengucapkan sebuah ucapan
kufur dikarenakan terlalu bergembira, marah, atau yang semisalnya. Maka ia
tidaklah kafir dikarenakan ketiadaan maksud padanya. Sebagaimana di dalam kisah
ada seorang yang berkata :
“Ya Alloh, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”.
Ia keliru karena terlalu bergembira [7] (HR Muslim dari Anas bin Malik).
Gegabah di dalam masalah takfir akan membawa dampak kepada
perkara yang krusial, seperti halalnya darah dan harta, terhalangnya pewarisan,
batalnya pernikahan dan hukum lainnya yang sama dengan hukum murtad.
Lantas, bagaimana bisa hal ini dibenarkan bagi seorang
mukmin untuk berani berbuat ini karena serendah-serendahnya syubhat?!
Apabila perkaranya ditujukan kepada pemerintah [8], maka ini
lebih berbahaya lagi. Yang mana dapat menyebabkan mereka semakin
sewenang-wenang terhadap umat, terhunusnya pedang, tersebarnya kekacauan,
tertumpahnya darah dan rusaknya ummat dan negeri.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam melarang
menentang mereka. Beliau bersabda :
“kecuali sampai kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki burhan (keterangan yang nyata) dari Alloh.” (Muttafaq ‘alaih dari ‘Ubadah).
“kecuali sampai kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki burhan (keterangan yang nyata) dari Alloh.” (Muttafaq ‘alaih dari ‘Ubadah).
v v Sabda beliau : “kecuali
sampai kalian melihat…”, berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berdasarkan
dugaan dan desas-desus belaka.
v v Sabda beliau :
“kekufuran”, berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya kefasikan walaupun besar,
seperti berbuat aniaya, minum khomr, bermain judi dan lebih condong kepada
perkara yang haram.
v v Sabda beliau : “nyata”,
berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berupa kekufuran yang tidak nyata, yaitu
yang tidak terang dan tampak.
v v Sabda beliau : “dan
kalian memiliki burhan dari Alloh”, berfaidah bahwasanya haruslah dari dalil
yang terang, baik dari segi tsubut (periwayatannya) yang shohih dan
penunjukannya yang shorih (terang). Tidaklah cukup dalil yang dha’if sanadnya
dan samar penunjukannya.
v v Sabda beliau : “dari
Alloh”, berfaidah bahwasanya tidak ada gunanya ucapan salah seorang ulama walau
setinggi apapun kedudukannya di dalam ilmu dan amanah, apabila ucapannya tidak
ditopang dengan dalil yang shorih lagi shohih dari kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alahi Wa Salam.
Dan syarat-syarat ini menunjukkan atas riskannya perkara
ini.
Intinya adalah, tergesa-gesa/gegabah di dalam takfir memiliki bahaya yang sangat riskan, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
Intinya adalah, tergesa-gesa/gegabah di dalam takfir memiliki bahaya yang sangat riskan, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raaf :
33).
Kedua : Apa yang berangkat dari keyakinan yang salah ini,
berupa penghalalan darah, pelanggaran kehormatan, perampasan harta baik
individu maupun masyarakat, perusakan pemukiman dan sarana transportasi serta
penghancuran gedung-gedung bangunan.
Aktivitas-aktivitas ini dan semisalnya, adalah diharamkan
secara syariat dengan kensensus kaum muslimin. Karena di dalamnya terdapat
pelanggaran terhadap kehormatan jiwa manusia yang terpelihara, pelanggaran
terhadap harta, terguncangnya stabilitas keamanan dan kehidupan ummat yang aman
tenteram di dalam rumah-rumah dan kantor-kantor mereka, pada pagi maupun sore
hari, serta pelanggaran terhadap kemaslahatan umum yang menyebabkan manusia
tidak tenang dengan kehidupannya.
Islam telah menjaga harta, kehormatan dan raga kaum
muslimin. Maka haram melanggarnya dan bersikap keras/ekstrim padanya. Dan
termasuk apa yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam pada akhir
ucapannya kepada umatnya di saat haji wada’ adalah :
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah
haram atas kalian sebagaimana haramnya hari, bulan dan negeri kalian ini.”
Kemudian Nabi melanjutkan :
”Sungguh, tidakkah telah kusampaikan?! Ya Alloh
persaksikanlah!!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abi Bakrah).
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya, haram darah, harta
dan kehormatannya.” (HR Muslim dari Abi Hurairoh).
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Waspadalah kalian dari kezhaliman, karena sesungguhnya
kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR Muslim dari Jabir).
Alloh telah menjanjikan sanksi bagi orang yang membunuh jiwa
yang terlarang dengan sanksi yang pedih. Alloh SWT berfirman tentang hak
seorang muslim :
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisa’ :
93).
Alloh berfirman tentang hak seorang kafir yang dilindungi
(Ahlu Dzimmah) tentang hukum bagi orang yang membunuhnya tanpa sengaja :
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang beriman.” (An-Nisa’ : 92).
Apabila orang kafir yang mendapatkan keamanan jika dibunuh
secara tidak sengaja saja memiliki diyat (denda) dan kaffarat, lantas bagaimana
dengan yang membunuhnya dengan sengaja?! Sesungguhnya kejahatannya semakin
dahsyat dan dosanya semakin besar. Telah shohih dari Rasulullah Shallallahu
‘Alahi Wa Salam bahwasanya beliau bersabda :
“Barangsiapa yang membunuh Mu’ahid (kafir yang memiliki
perjanjian dengan kaum muslimin), tidak akan mencium aroma surga.” (Muttafaq
‘alaihi dari Abdillah bin ‘Amr).
Ketiga : Sesungguhnya majelis, ketika menerangkan hukum
takfir kepada manusia tanpa didasari burhan dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, dan bahaya mengimplementasikannya secara
mutlak, yang membawa dampak buruk dan dosa, maka majelis mengumumkan kepada
seluruh dunia : bahwasanya Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini,
dan bahwasanya apa yang terjadi di sebagian negeri berupa tertumpahnya darah
orang yang tidak bersalah, hancurnya rumah-rumah, kendaraan-kendaraan dan
fasilitas umum maupun khusus, serta hancurnya gedung-gedung bangunan, maka ini
semua termasuk tindakan kriminalitas dan Islam berlepas diri darinya.
Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan
hari akhir berlepas diri darinya. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini
merupakan perbuatan dari orang-orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan
aqidah yang sesat, dan dia menanggung dosa dari kejahatannya sendiri. Maka
tidak boleh dianggap aktivitasnya kepada Islam dan tidak pula kepada kaum
muslimin yang berpetunjuk dengan petunjuk Islam, yang berpegang kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, serta berpegang
teguh dengan tali Alloh yang kokoh. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini murni
merupakan tindakan kriminalitas dan kejahatan yang dibenci oleh syariat dan
fithrah. Oleh karena itu datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan
memperingatkan dari berkumpul dengan pelakunya.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada
Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat
tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS Al-Baqoroh : 204-206)
Wajib atas seluruh kaum muslimin di manapun berada untuk
saling berwasiat di dalam kebenaran, saling menasehati dan tolong menolong di
dalam kebajikan dan ketakwaan, beramar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang
hikmah dan nasehat yang baik, serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik.
Sebagaimana firman Alloh SWT :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(Al-Maidah : 2)
Dan firman-Nya Subhanahu :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (At-Taubah : 71).
Firman-Nya Azza wa Jalla :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (Al-Ashr)
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Agama itu nasehat (3x)”,
seorang sahabat bertanya : “kepada siapa wahai Rasulullah?”,
Rasulullah menjawab :
“Kepada Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin
dan masyarakatnya.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari, dan Bukhari memu’allaqkannya
tanpa menyebutkan sahabat.)
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Perumpaan kaum muslimin dalam kasih sayang, cinta dan lemah
lembut bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengeluh maka akan
memanggil seluruh tubuhnya hingga turut terjaga dan merasakan demam.” (Muttafaq
‘alaihi dari an-Nu’man bin Basyir).
Ayat-ayat dan hadits yang semakna dengan hal ini banyak
sekali.
Kami memohon kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala dengan nama-nama-Nya yang
indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar menghilangkan bencana bagi seluruh
kaum muslimin dan agar memberikan taufiq kepada seluruh penguasa kaum muslimin
terhadap kebaikan ummat dan negeri, memangkas kerusakan para perusak dan
menolong agama-Nya dengan eksistensi mereka, serta meninggikan kalimat-Nya dan
memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya di manapun mereka berada. Semoga
Alloh menolong mereka di dalam kebenaran. Sesungguhnya Alloh adalah pelindung
dan Is mampu untuk melaksanakannya. Semoga sholawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, keluarga beliau dan
sahabat beliau.
(Sumber : Bayaanu Ha`iati Kibaaril Ulama’ fi Dzammil
Ghuluwwi wat Takfiiri wa maa yansya`u ‘anhu min atsarin khathirin, oleh Markaz
Imam Albani, Yordania)
Catatan Kaki :
[1] Karena perkaranya menurut kebanyakan dari mereka
adalah dapat dipilah-pilah. Apabila selaras dengan hawa nafsunya maka
disebarkan dan apabila menyelisihi hawa nafsunya maka disembunyikan dan
dihilangkan!! Maka sesungguhnya fatwa para ulama inimenyelisihi hawa nafsu
mereka, yang mana para ulama dengan fatwa ini -menurut mereka- adalah bodoh
terhadap fiqhul waqi’ (realita zaman) dan rancu dengan irja’.
maka demi Alloh, sesungguhnya hal ini adalah musibah besar dan bencana yang
dahsyat.
[2] Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa ilmiah
terakhir dari Samahatis Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu kurang
dari 9 bulan sebelum beliau wafat, yang disebarkan oleh Majalah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah no. 56, bulan Shofar 1420, langsung pasca wafatnya
syaikh.
[3] Saya telah memberi komentar (ta’liq) dan
keterangan (syarah) pada penjelasan ini dengan menyandarkan kepada Fatwa
al-Lajnah ad-Da’imah fi Dzammi Murji’ah wal Irja’ (Fatwa Komite Tetap
tentang Tercelanya Kelompok Murji’ah dan Faham Irja’) di dalam sebuah risalah
kecil yang sedang dicetak, yang kuberi judul dengan Kalimatun Sawa`un
fin Nushroti wats Tsana`i ‘ala Bayani Ha`iah Kibaril Ulama’ wa Fatawa al-Lajnah
ad-Da`imah lil Ifta’ fi Naqdli Ghuluwi Takfir wa Dzammi Dholalatil Irja’ (Kalimat
yang Sepadan di Dalam Menyokong dan Menyanjung Penjelasan Lembaga Ulama Senior
dan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Fatwa Yang Mengkritik Sikap Ghuluw di Dalam
Takfir dan Mencela Kesesatan Irja’) –yang sedang dicetak, alhamdulillah-. (Buku
ini telah terbit, pent.)
[4] Adalah wafatnya Samahatu Ustadzuna asy-Syaikh
al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pada tanggal 27/1/1420 H.
[5] Sesungguhnya kufur itu ada dua macam : Kufur asghar yang
tidak mengeluarkan dari agama dan kufur akbar yang
mengeluarkan dari agama. Kufur akbar itu bermacam-macam,
seperti istihlal (penghalalan), imtina’, juhud (pengingkaran),takdzib (pendustaan), nifaq,
dan syak (ragu-ragu) dan ia memiliki sebab-sebab yang dapat
menghantarkan kepada kekufuran, yaitu ucapan, perbuatan dan keyakinan.
[6] Pada ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu dalam
Majmu’ al-Fatawa (14/118), terdapat penjelasan tentang syarat-syarat ini. Beliau
berkata tentang hokum orang yang berbicara dengan ucapan kufur :“Dan apabila ia
: (1) mengetahui apa yang diucapkannya, dan dirinya (2)
memiliki pilihan serta (3) bermaksud dengan apa yang
ia ucapkan, maka yang demikian ini ucapannya dianggap kufur”.Saya (Syaikh Ali
Hasan, pent.) katakan : kebalikan/lawan dari syarat-syarat di
atas merupakan penghalang-penghalang kekafiran.
[7] Terlalu gembira merupakan sebab adanya penghalang
yang menghalangi pengkafiran terhadap dirinya, yaitu karena ketidaksengajaan
(ketiadaan maksud). Ketiadaan maksud untuk melaksanakan tidaklah mengkafirkan.
Maka perhatikanlah!!! Kecuali orang yang bermaksud sedangkan dia tidak dalam
keadaan terpaksa, maka dianggap sebagai kekufuran, baik itu ucapan maupun
amalan yang dapat menghilangkan keimanan dari segala sisi, seperti mencela
Alloh atau Rasul-Nya SAW, atau yang semisal dengannya. Hal ini termasuk
kekafiran yang mengeluarkan dari agama alias murtad.
[8] Yaitu : dari kalangan penguasa kaum muslimin, semoga Alloh memperbaiki
negeri dan umatnya dengan eksistensi mereka. Bukanlah termasuk pendapat yang
kuat mengenai dalil yang sering digunakan oleh para penyeleweng yang berdalil
dengannya untuk mengkafirkan seluruh penguasa muslim, yaitu firman Alloh : “Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh maka termasuk
orang-orang yang kafir.”Sungguh indah ucapan Imam Ahmad rahimahullahu :
“Kufur itu ada yang tidak mengeluarkan dari agama. Sebagaimana keimanan yang ba’dhuhu
duna ba’dhin (sebagiannya bukanah bagian lainnya). Demikian pula
dengan kufur (ada yang kufrun duna kufrin / kekufuran yang
tidak mengkafirkan, pent.), sampai datangnya perkara yang tidak
diperselisihkan padanya.” (Majmu’ al-Fatawa Syaikhul Islam VII/254).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar