Keyword

Abu Bakar Ash-Shidiq (2) Abu Daud (1) Abu Hurairah (2) Adab (2) Adam 'Alaihisalam (2) Adu Domba / Namimah (1) Adzab Allah (1) Agama (1) Ahli Bait (1) Ahlul Hadits (9) Ahlussunnah (2) Aib (1) Air Seni (1) Aisyah (1) Akhirat (1) Akhlak (37) Akhlaq (3) Al-Firqatun An-Najiyah (9) Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta (1) Al-Qur'an (11) alam (1) Alam Semesta (4) Ali bin Abi Tholib (1) Aliran Sesat (3) Alkohol (6) Amal (4) Amanah (1) Amirul Mu'minin (1) Anak (1) Anak Cucu dan Mantu Rasulullah (1) Anak Haram (1) Anak Yatim (1) Anak Yatim. Puasa Asyura (1) Aqidah (83) as (1) Asma' Allah (3) At-Tirmidzi (1) Aurat (2) Ayah Dan Ibu (Orang Tua) (2) Ayat Dan Hadits (4) Ayat Kursi (3) Azab Kubur (3) Bantahan (8) Bayi (1) Beda Agama (1) Bejana (1) Belajar Islam (3) Bencong (1) Berenang. Olah Raga (1) Berkah (1) Bersedekap (1) Bid'ah (28) Bid'ah Hasanah (1) Bid'ah Pembagiannya (1) Binatang (2) Biografi (11) Birul Walidain (3) Blogger (1) Bom (2) Buah (1) Buah Manggis (1) Buah Pepaya (1) Buah Pete (1) Buah Semangka (1) Buah Sirsak (5) Bukhary (1) Bulan Muharram (1) Bulan Syawal (1) Bulughul Maram (1) Bunuh (1) Bunuh Diri. (2) Cerai (1) Ceramah (2) Cinta (5) Cinta Nabi (3) Da'i (2) Dajjal (1) Dakwah (8) Dalam Kendaraan Dan Pesawat (1) Daun Salam (1) Debat (1) Dimana Allah (2) Din (1) Do'a (21) Do'a Zakat (2) Duduk Diantara Dua Sujud (1) Duduk Istirahat (1) Dukun (4) Dzikir (9) Dzikir Pagi Dan Petang (4) Etika (1) Faham (3) Fanatik (1) Fatwa (20) Fikih (34) Fikih Ciuman (1) Fiqih (13) Fiqih Shalat (9) Firqah (8) Fitnah (1) Futur (1) Gambar / Lukisan (3) Gereja (1) Ghuluw (7) Golongan (1) Habaib / Habib (2) Haddadiy (1) Hadits (41) Hadits Arba'in (12) Hadits Lemah (7) Hadits Palsu (7) Hajr (1) Halal Haram (3) Halal Haram Makanan Minuman (3) Hamil (10) Hamil Dan Menyusui (9) Hamil Diluar Nikah (1) Harakah (1) Haram (2) Hari Iedul Fitri (2) Hari Raya (7) Harut Dan Marut (3) Hasad (1) Hasmi (1) Hati (11) Hijab (2) Hijab Jilbab Cadar (1) Hipnotis (2) Hisab (2) Hizbiy (1) Hjab Jilbab Cadar (1) Hukum (8) Hutang (3) I'tidal (1) I'tikaf (7) Ibadah (16) Ibnul Jauzi (1) Ibnul Qayyim (1) Idris 'Alaihisalam (1) Ihsan (1) Ikhlas (7) Ilmu (2) Ilmu Agama (2) Ilmu Hadits (11) Ilmu Komputer (1) Ilmu Pengasih / Pelet (1) Ilmu Pengasih / Pelet / Tiwalah (1) Ilmu Pengetahuan (2) Imam (14) Imam Ad-Darimi (1) Imam Ahmad (1) Imam An-Nasa'i (1) Imam Ibnu Majah (1) Imam Malik (1) Imam Muslim (1) Imam Nawawi (12) Imam Syafi'i (20) Iman (4) Imsak (1) Info Dakwah (2) Insan Kamil (1) Islam (2) Isra' Mi'raj (1) Istri (2) Istri-istri Rasulullah (3) ITE (3) Jalalain (1) Jampi / Mantra (1) Jantung (1) Jibril (1) Jihad (5) Jima (1) Jimat / Tamimah (2) Jin (8) Jual Beli (1) Kafir (2) Karomah (1) Kata Aku Dan Kami Dalam Al-Qur'an (2) Kaum Padri (1) Keajaiban (1) Kehidupan (1) Keluarga (2) Keluarga Rasulullah (1) Keraguan / Was-was (1) Kesehatan (20) Khamer (3) Khawarij (2) Khitan (1) Khusyu' (2) Kiamat (10) Kisah Nyata (1) Kisah Teladan (13) Kitab (2) Kubur (6) Laknat (1) Lamar/Pinangan (1) Lemah Lembut (1) Luar Angkasa (1) Maaf (1) Mabuk (2) Mahram (1) Makam / Kuburan (5) Makanan Minuman (1) Maksiat (7) Malaikat (3) Malam Lailatul Qadar (3) Mandi (1) Manhaj Salaf (16) Marah (1) Mashalih Murshalah (1) Masjid (6) Mata 'Ain (1) Maulid Nabi (6) Membungkukkan Badan (2) Mencium Tangan (3) Menyusui (1) Mimpi (1) Minuman (1) Muawiyyah (1) Mubaligh (2) Mudik Lebaran (1) Muhammad Shalallahu'alaihi wa Salam (2) MUI (2) Musik (1) Muslimah (16) Nabi (10) Najd (1) Najis (1) Nasab (1) Nasehat (46) Neraka (4) Niat (7) Niat Puasa Ramadhan (2) Nikah (20) Nikmat Kubur (3) Nyanyian (2) Obat (3) Oral Seks (1) Pacaran (1) Pakaian (1) Paranormal (3) Parfum (1) Pecandu Internet (1) Pegunungan Dieng (1) Pendidikan (2) Pengobatan (2) Penuntut Ilmu (4) Penutup Aurat (1) Penyakit Hati (4) Perbedaan (1) Pernikahan (10) Perpecahan Ahlul Bid'ah (1) Persatuan Ahlussunnah (3) Perselisihan (2) Peta (1) Petasan Mercon Kembang Api (2) Photo (3) Piring (1) Pria (1) Puasa (21) Puasa 3 Hari Tiap Bulan (1) Puasa Arafah (1) Puasa Asyura (2) Puasa Daud (1) Puasa Muharram (1) Puasa Qadha Fidyah (10) Puasa Ramadhan (45) Puasa Senin Kamis (2) Puasa Sunnah (4) Puasa Sya'ban (1) Puasa Syawal (3) Pujian (2) Qadha (9) Qunut (1) Radio (2) Rahasia (1) Ramadhan (48) Ramalan (2) Rambut (1) Rasul (9) Rasulullah (4) Remaja (3) Riba (2) Riya' (3) Rizki (1) Rokok (5) Ruh (2) Ruku' (1) Rukun Iman (2) Rukun Islam (1) Rumah Tangga (2) Ruqyah (2) Sabar (6) Safar (1) Sahabat (12) Sakit (1) Salafiy (14) Salam (2) Sanad (1) Sejarah (1) Seks / Sex (1) Seledri (1) Semir (1) Shahabiyyah (5) Shalat (39) Shalat Dhuha (3) Shalat Ied (4) Shalat Jama'ah (1) Shalat Jum'at (2) Shalat Tarawih (2) Shalawat (3) Shirath Jembatan Diatas Neraka (1) Sifat-sifat Allah (18) Sihir (11) Simbol (1) Suami-Istri (4) Sujud (2) Sum'ah (1) Sunnah (6) Surat (2) Surat Al-'Ashr (1) Surat Al-Fatihah (1) Surat Ibrahim Ayat 27 (1) Surga (6) Sutra (1) Syafa'at (3) Syafi'i (1) Syaikh (1) Syaikh Abdul Aziz Bin Baz (3) Syaikh Abdurrozzaq Bin Abdul Muhsin Al-Abbad (2) Syaikh Ibnu Jibrin (1) Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd (1) Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin (12) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (2) Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi'i (1) Syaikh Shalih Fauzan Bin Abdillah Al-Fauzan (4) Syaikhul Islam (3) Syaikhul Islam Abu Ismail Ash-Shabuni (3) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (25) Syair (1) Syaithan / Setan (5) Syari'at (1) Syi'ah (5) Syiah (5) Syirik (18) Ta'addud / Poligami (1) Tabdi (1) Tafsir (7) Tahdzir (1) Tahun Baru (3) Tajwid (1) Takbiiratul Ihram (1) Takdir (2) Takfiri (2) Taklid (1) Talak (1) Tangis (1) Tarahum Mohon Rahmat (1) Tarikh (7) Tasyabuh (9) Tasyahud Akhir (1) TASYAHUD AWWAL (1) Taubat (3) Tauhid (73) Tauhid Asma Wa Sifat (2) Tauhid Rububiyyah (1) Tauhid Uluhiyyah (1) Tawasul (3) Tazkiyatun Nufus (25) Teman (1) Terjemahan Al-Qur'an (1) Tertawa (1) Thaifatul Manshurah (8) Timbangan (1) Tipu Muslihat Abu Salafy (1) Touring (1) Tsa'labah Bin Hathib (1) Turun Sujud (1) TV (2) Ucapan (3) Ujub (8) Ulama (8) Umar bin Khattab (2) Umum (1) Undang-undang (3) Usap Muka (1) Valentine's Day (2) Video (5) Wahabi (2) Wali (2) Wanita (12) Waria (1) Wudhu (3) Wudhu Wanita (1) Zakat (10) Zakat Fitri (9) Zinah (3)

Sabtu, 31 Desember 2011

SHALAT 1 NIAT

Shalat 1 Niat


SHALAT 1 NIAT
Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy

BERNIAT

Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].

Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.

Imam an-Nawawi menjelaskan tentang hal ini, “Makna niat adalah kehendak (hasrat) untuk melakukan sesuatu. Seseorang yang hendak mengerjakan shålat perlu menghadirkan niat DIDALAM HATINYA dan pikirannya berkenaan shålat yang hendak dia kerjakan dan tata caranya, seperti niat shålat zhuhur, atau shålat fardhu dan shålat-shålat lainnya. Seterusnya ia memulakan ibadah ini (shålat) dengan takbiratul ihram. (Lihat: Raudhatuth Tholibin, 1/224)

Maka niat adalah DIDALAM HATI, bukan untuk diucapkan dengan lisan. Bahkan hal ini dibantah dengan TEGAS oleh ulama-ulama yang bermadzhab syafi'iy seperti Imam As-Suyuthi ASY SYAFI'IY, dimana beliau berkata,

“Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir.”
Bahkan Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata,

“Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.”

(Lihat al Amr bi al Itbaa’ wa al Nahy ‘an al Ibtidaa’).

Adapun yang kedua, yaitu niyat al-ma’mul lahu [niat yang mengorientasikan tujuan dalam beramal] yaitu ketika kita beramal maka kita tidak boleh memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ الله

“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.”

(HR. an-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)

Rasululalh bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya."

(HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])

al-Imam an-Nawawiy berkata:

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek

(Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).

Ibnu Rajab berkata:

segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.”

(Jami’ al-’Ulum, hal. 13)

BERDIRI (bila mampu)

Berdiri (jika mampu), dengan menghadapkan kakinya ke arah kiblat. Tidak membentuk seperti ini "\ /" melainkan seperti ini "| |". Sehingga bagi yang shålat berjama'ah dapat benar-benar merapatkan shaffnya, dimana mata kaki dan tumit makmum yang satu dengan lainnya saling berdempetan.

Allah berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.

(Al-Baqara: 238)

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah sambil berdiri. Bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil duduk. Bila tidak sanggup juga, shalatlah sambil berbaring”

[HR. Al-Bukhari no. 1066, Abu Dawud no. 939, dan At-Tirmidzi no. 369].

Seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang sehat lagi mampu wajib melakukan shalat fardhu sambil berdiri, baik sendiri maupun menjadi imam. Adapun untuk shalat sunnah, maka hukumnya hanya sunnah.

Ibnu 'Umar berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnat di atas binatang kendaraan dengan menghadap ke arah ia menuju serta mengerjakan shalat witir di atasnya. Hanya saja, beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atasnya” [Muttafaq ‘Alaihi]

Para ulama menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh melaksanakan shalat wajib dalam keadaan duduk atau diatas kendaraan, jika masih memungkinkan baginya untuk mengakhirkan shalatnya (jamak tak-hir) atau menarik shalat (jamak taqdim) sehingga ia bisa melaksanakannya dengan berdiri diatas bumi.

Jika seseorang naik mobil, maka ketika waktu shalat wajib telah tiba, hendaknya ia turun dari kendaraannya, mencari kiblat semampunya dan menghadap kearahnya, kemudian shalat dengan berdiri diatas bumi.

Namun jika seseorang tidak bisa melaksanakan shalat berdiri diatas bumi, dan ia tidak pula dapat melaksanakan secara berdiri baik ia jamak taqdim maupun jamak qashar, kecuali diatas kendaraan (pesawat/kapal), maka baginya ada udzur, sehingga boleh baginya shalat wajib diatas kendaraan, jika memungkinkan berdiri, maka berdiri, jika tidak, maka duduk.

Kondisi-kondisi lain, yang menghalangi seseorang untuk berdiri yakni sakit dan ketika berada diatas kendaraan (seperti telah disebutkan diatas). Diperbolehkan seseorang berdiri sambil bersandar ketika shalat, bagi orang yang lemah, baik karena usia yang sudah lanjut atau karena badannya terlalu gemuk.

[HR. Abu Dawud, al-Hakim, dan al-Baihaqiy; lihat as-Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 319), dinukil dari: Kitab Sifat Shalat Nabiy karya al-Ustadz Yazid bin 'Abdil Qadir Jawwas]

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ

"Sesungguhnya shalat berdiri, maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang shalat dengan berdiri dan siapa yang shalat dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk".

(HR. Bukhariy)

Adapun orang yang karena kondisi terdesak mengharuskan ia shalat duduk, maka pahalanya adalah pahala sebagaimana kebiasaannya (diwaktu sehat dan mukim). Rasulullah bersabda:

إذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيحًا مُقِيمًا

“Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia dilakukannya ketika bermukim atau sehat”

[HR. Al-Bukhari no. 2834].

MENGHADAP KIBLAT

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka’bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya salah:

إِذَا قُمْتَ فَتَوَجَّهْتَ إِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَبِمَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَقْرَأَ

"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, dan wajahmu telah menghadap ke arah kiblat, maka bertakbirlah lalu bacalah Ummul Qur'an dan surat sesuka hatimu, dan sesuai kehendak Allah untuk kamu baca

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud (dan ini lafazhnya) dan Siraj).

Beberapa keadaan yang diperbolehkan untuk tidak menghadap kiblat [lihat Kitab Sifat Shalat Nabi karya al-Ustadz Yazid bin Abdil Qadir Jawwas Hafizhahullahu Ta'ala]

1. Ketika sedang berada diatas kendaraan

Dari Ibnu 'Umar radhiyallåhu 'anhumaa, ia berkata,

"Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah diatas hewan tunggangannya kemana saja hewan itu menghadap dan beliau melakukan shalat Witir diatasnya. Hanya saja beliau tidak melakukan shalat fardhu diatas hewan tunggangannya itu"

[Shahih, HR. Bukhari, Abu Dawud, Nasa-i dan selainnya]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,

"Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam (terkadang) apabila beliau hendak shalat sunnah diatas hewan tunggangannya, beliau terlebih dahulu menghadap kiblat dan bertakbir, kemudian beliau shalat menghadap ke arah mana saja tunggangannya berjalan"

[Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Baihaqiy; lihat Shahiih Sunan Abi Dawud]

Adapun shalat fardhu, maka beliau tidak mengerjakannya diatas hewan tunggangannya, tetapi beliau turun lalu shalat menghadap kiblat.

Dari Jabir bin 'Abdillaah,

"Nabi shallallåhu 'alayhi wa sallam [shalat sunnah] diatas hewan tunggangannya menghadap ke timur, maka ketika hendak melakukan shalat fardhu, beliau turun lalu menghadap kiblat"

[Shahih, HR. Bukhari, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah, ath-Thayalisi, dan al-Baihaqiy. tambahan dalam kurung adalah lafazh milik ath-Thayalisi]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,

"Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam (terkadang) apabila beliau hendak shalat sunnah diatas hewan tunggangannya, beliau terlebih dahulu menghadap kiblat dan bertakbir, kemudian beliau shalat menghadap ke arah mana saja tunggangannya berjalan"

[Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Baihaqiy; lihat Shahiih Sunan Abi Dawud]

MENCARI SUTRAH, MENDEKATINYA, DAN SHALAT MENGHADAPNYA

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

"Apabila salah seorang di antara kalian shalat dengan sutrah, hendaklah dia mendekat darinya hingga setan tidak dapat memutus shalatnya."

(Shahiih, HR Abu Dawud; lihat Shahiih Abi Dawud karya Syaikh al Albaaniy)

dari [Abu Sa'id al-Khudri] bahwa Rasulullah shallallahu'alaihiwasallambersabda,

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

"Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang lewat di hadapannya, dan hendaklah dia menghalanginya semampunya. Jika dia menolak maka hendaklah dia memeranginya, karena dia adalah setan."

(HR. Muslim)

Abu Ubaid berkata; Saya pernah melihat ['Atha' bin Zaid Al Laitsi] sedang berdiri shalat. Saya lewat di depannya, lalu beliau mencegahku.

Setelah selesai shalat dia berkata; Telah menceritakan kepadaku [Abu Sa'id Al-Khudri] bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَحُولَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ

"Barangsiapa di antara kalian yang sanggup supaya seseorang tidak dapat lewat antara dia dengan kiblatnya, maka kerjakanlah."

(Hasan Shahiih, HR. Abu Dawud; lihat Shahiih Abi Dawud karya Syaikh al Albaaniy)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ الشَّيْطَانُ

"Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat dengan bersutrahkan sesuatu, lalu ada seseorang yang hendak lewat di depannya, maka cegahlah (doronglah) dadanya, apabila dia enggan, maka lawanlah, karena sesungguhnya ia itu setan."

(HR. Bukhariy, Muslim, Abu Dawud; dll.)

--Benarkah ada hadits yang menyebutkan Rasulullah tidak bersutrah?--

1. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.

2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:

وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ

“Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”

Tidaklah menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah.

(Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)

Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan,

“Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).”

(Fathul Bari, 1/739)

Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.

Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersutrah dengan tombak.

(Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)

3. Sedangkan hadits:

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah.

Berkata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya hal.92,

“Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.”

(Adh-Dha’ifah no. 5814)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata,

“Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq).

Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma secara marfu’:

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ ...

“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”

Beliau rahimahullahu juga berkata,

“Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya.

Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan zhahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (4/8-15).”

(Tamamul Minnah, hal. 300)

--Cukupkah dengan garis?--

Disebutkan riwayat:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”

Al-Hafizh berkata:

“Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”

Dalam At-Tahdzib juga disebutkan,

“Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’

Asy-Syafi`i rahimahullahu berkata dalam Sunan Harmalah,

‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah,

‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’

Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.”

(Tamamul Minnah, hal. 300-301)

--Berapa tinggi sutrah?--

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:

مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.”

(HR. Muslim no. 1111)

Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta.

(Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)

Adapun satu hasta, yaitu seukuran siku sampai ujung jari tengah orang dewasa. maka diperkirakan 2/3 dari ukuran tersebut.

--berapa jarak seseorang yang shalat dengan sutrahnya?--

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu berkata:

“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.”

(HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)

 — 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar