Adzab Allah Di Pegunungan Dieng


ADZAB ALLAH DI PEGUNUNGAN DIENG
Posted By Fahruddin Abu Shafiyyah 03/02/2012
Posted By Fahruddin Abu Shafiyyah 03/02/2012
Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum
mengetahuinya. Kisah ini hendaknya menjadi ibroh, bahwa apabila suatu daerah
bermaksiat semua, bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا
هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit
bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba
bumi itu bergoncang?”
(QS Al Mulk 67: 16).
Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan
Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten
Banjarnegara.
Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani
yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan
pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen
tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih
dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan “istidraj” (disesatkan Allah
dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin
tenggelam dalam kesesatan).
Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan
bukan ahli bersyukur. Perjudian disana merajalela, begitu pula minum-minuman
keras (yang sangat cocok untuk daerah dingin). Tiap malam mereka mengadakan
pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang
sering berujung kepada perzinaan). Anak yang kimpoi sama ibunya dan beragam
kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh Legetang.
Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat dan
masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan
reda. Tiba-tiba terdengar suara “buum”, seperti suara benda yang teramat berat
berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran
dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah
terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh
Legetang.
Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan
tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh
penduduknya mati. Gegerlah kawasan dieng… Seandainya gunung Pengamun-amun
sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi
kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung
Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi
kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah?
Kini diatas bukit bekas dukuh Legetang dibuat tugu
peringatan. Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:
“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH
LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA
GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955″
|

Ini Plakat Peringatan Yang Ditempel di Tugu Legetang
Allahu Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar
Jika Anda dari daerah Dieng menuju ke arah (bekas) dukuh
Legatang maka akan melewati sebuah desa bernama Pakisan. Sepanjang jalan itu
Anda mungkin akan heran melihat wanita-wanitanya banyak yang memakai jilbab
panjang dan atau cadar.
Memangsejak dulu masyarakat Pakisan itu masyarakat yang
agamis, bertolak belakang dengan dukuh Legetang, tetangga desanya yang penuh
dengan kemaksiatan. Ketika kajian triwulan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal
Jamaah Kabupaten Banjarnegara bertempat di Pakisan, maka masyarakat Pakisan
berduyun-duyun ke masjid untuk mendengarkan kajian dari Ustadz Muhammad As
Sewed. Ya, hampir semua masyarakat Pakisan aktif mengikuti kajian dan da’wah.
Alhamdulillah.
Wallahu a’lam bisshawab.
Sebagian orang mengira itu hanyalah hoax. Kenyataannya, itu
adalah nyata. Perhatikan tulisan jurnalis trans TV yang hendak mengisahkan
kejadian ini di acaranya:
“Beautiful, Misty and Mysterous. Cantik, berkabut dan
misterius. Begitulah gambaran Pak Agus tentang alam Dieng. Contoh
kemisteriusannya adalah bencana yang menimpa Dukuh Legetang. Sebetulnya jarak
antara gunung dan desa itu jauh, sehingga sulit diterima akal bahwa tanah
longsor itu bisa menimpa desa. Jadi, tanah itu seolah-olah terbang dari gunung,
dan menimpa desa. Ada cerita, bahwa banyak penduduk desa itu yang berperilaku
tidak benar. Mirip kisah Soddom dan Gomorah, ujar Pak Agus waktu itu. Dari
jalan kita harus mendaki kesana sekitar hampir setengah jam ” “Maka, kami
berempat akhirnya mendaki bukit. Agar tidak membebani Komar, Dian dan Yossie
dalam pendakian ini, sengaja aku memanggul tripod. Jalan yang kami lalui
sebenarnya cukup lebar, tapi persoalannya terletak di kecuramannya itu. Kami
mendaki pelan-pelan sekitar seperempat jam, dengan beberapa kali berhenti.
Akhirnya, tugu itu pun tampak. Ternyata lama pendakian tidak sampai setengah
jam. Ada rasa lega,
bahwa pendakian ini ternyata tidak seberat yang dibayangkan. Ibu petani kentang itu tampaknya kurang pas memperkirakan waktu. Kami pun mengambil gambar untuk liputan, ditambah sedikit foto untuk kenangan. Untunglah, Yossie selalu membawa kamera digital. “
bahwa pendakian ini ternyata tidak seberat yang dibayangkan. Ibu petani kentang itu tampaknya kurang pas memperkirakan waktu. Kami pun mengambil gambar untuk liputan, ditambah sedikit foto untuk kenangan. Untunglah, Yossie selalu membawa kamera digital. “

Tugu yang menunjukkan disitu lokasi bekas dukuh Legetang
sudah keliatan, lihat tanda panah.
Ini yang lain lagi:
TRAGEDI LENYAPNYA DESA LEGETANG DI DIENG ; Longsoran Tanah
Bisa ’Terbang’
08/02/2010 08:31:40
08/02/2010 08:31:40
Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak
di tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur,
Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda tragedi dan
misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh penghuninya akibat
longsornya Pengamunamun pada 1958.

Ini tugu peringatan Legetang. Allahu Akbar !! Betapa Dahsyat
Kekuatan Allah, jika kita membayangkan ratusan orang tertimbun tanpa bisa
terselamatkan disana
Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa
Kepakisan, tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan,
jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas
beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi perhatian
dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga
Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah
terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam
itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga
pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut,
karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di
dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani
langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran,
karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus
bergerak.

Inilah Gunung Pengamun-amun yang terbelah itu
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan
misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang
kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan
pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa
ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh
tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari menjelaskan, gejala
lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para
pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di
samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat
itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan
obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu
setelah Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam
melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada
sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga
tak ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng
gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli
disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi,”
ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya
dipusatkan ke titik yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun)
Legetang bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi
tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi. Satu
istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang yang selamat,
karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.

Tugu Peringatan Musibah Legetang
Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap
warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur
tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang pun
berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum milik bekas
dusun tersebut.

Suasana jalan dari arah Dieng menuju ke bekas Dukuh Legetang

Jalan yang terlihat mengarah kepada Dukuh Legetang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar