Apakah Khamer Itu Najis ?

APAKAH KHAMER ITU NAJIS ?
Jumat, 25 Desember 2009 00:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum
Islam
Kita masih dalam pembahasan yang sama mengenai "Menjawab
Kerancuan Seputar Alkohol". Kami harap para pembaca bisa bersabar
dalam menanti tulisan ini karena masih ada seri-seri selanjutnya lagi. Juga
kami sangat berharap sekali, pembaca bisa melihat kembali artikel-artikel
sebelumnya tentang khomr, agar mendapatkan pemahaman yang utuh tentang tema
yang kami angkat.
Saat ini kita akan meninjau lagi apakah khomr
(semacam arak, bir dan wiski) itu najis ataukah tidak. Semoga Anda bisa
menemukan jawabannya dalam tulisan kali ini.
Mengenai khomr najis ataukah tidak, sejak masa silam para
ulama telah berselisih pendapat.
Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama : Khomr itu Najis
Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas)
ulama yaitu empat ulama madzab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama
kontemporer seperti Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi, Al Lajnah Ad Da-imah
lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, dan
Syaikh Sholih Al Fauzan.
Dalil pendapat pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Dari ayat ini, mayoritas ulama
berdalil bahwa khomr di samping haram, juga najis. Mereka memaknakan rijsun dalam
ayat tersebut dengan najis yang riil.
Pendapat Kedua: Khomr Memang Haram, Namun Khomr Tidak
Najis.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Robi’ah, Al Laits, Al
Maziniy, dan ulama salaf lainnya. Sedangkan ulama belakangan yang berpendapat
seperti ini adalah Asy Syaukani, Ash Shon’ani, Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad
bin Sholih Al Utsaimin dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh pendapat kedua ini.
Alasan pertama: Tidak ada dalil yang menyatakan najisnya
khomr.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa tinjauan.
[1] Perlu diketahui bahwa kata rijsun yang
disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 90 di atas adalah kata musytarok,
yaitu mengandung banyak makna. Di antara maknanya adalah: kotor, haram, jelek,
adzab, laknat, kufur, kejelekan, dan najis.
[2] Kami tidak menemui tafsiran dari para ulama salaf yakni
para sahabat yang memaknai rijsun dalam ayat tersebut dengan
najis. Bahkan yang ditemukan adalah seperti perkataan Ibnu ‘Abbas, beliau
mengatakan bahwa makna rijsun adalah as sakhthu (murka). Ibnu
Zaid memaknakan rijsun adalah asy syar (kejelekan).
[3] Kata rijsun ada dalam ayat lain selain
dari ayat ini. Tidak ada dari ayat-ayat tersebut yang menggunakan rijsun dengan
makna najis. Kita dapat menemukan hal ini dalam tiga ayat selain ayat di atas:
Ayat pertama,
كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Begitulah Allah menimpakan siksa (ar rijs) kepada
orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al An’am: 125). Lihatlah makna ar
rijs dalam ayat ini bukanlah najis, namun bermakna siksaan (adzab).
Ayat kedua,
إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
“Sesungguhnya mereka itu adalah kotor (rijsun) dan tempat
mereka jahannam.” (QS. At Taubah: 95)
Ayat yang menerangkan mengenai kondisi orang musyrik di
sini, kata rijs yang ada bukanlah bermakna najis namun bermaknaqobih (sesuatu
yang kotor).
Ayat ketiga,
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang rijs itu.”
(QS. Al Hajj: 30)
Kata rijs dalam ayat ini bukanlah menunjukkan bahwa berhala
itu najis secara riil. Namun makna rijs dalam ayat yang ketiga adalah sebab
datangnya adzab.
[4] Dalam surat Al Maidah ayat 90 di atas terdapat juga kata
lainnya yang dinamakan rijsun yaitu anshob (berhala) dan
mengundi nasib dengan anak panah. Padahal kedua hal ini tidaklah najis. Inilah
dalil yang memalingkan makna rijsun dari makna najis yang riil (konkret) dan
dialihkan ke makna najis yang sifatnya abstrak. Ringkasnya kata rijsun dalam
ayat tersebut bermakna najis yang abstrak dan bukanlah najis yang riil
(konkrit). Hal ini juga sebagaimana firman Allah yang menjelaskan mengenai
kondisi orang-orang musyrik.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At
Taubah: 28).
Padahal terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dzat orang
Musyrik tidaklah najis, namun yang dianggap najis (kotor) adalah aqidah dan
amalan mereka. Pahamilah hal ini!
[5] Yang perlu diperhatikan lagi bahwa diharamkannya khomr
tidaklah menunjukkan najisnya. Ingatlah kaedah yang biasa disebutkan oleh para
ulama: Sesuatu yang haram belum tentu najis. Namun sesuatu yang najis
pastilah haram. Semacam sutra adalah pakaian yang haram digunakan oleh
pria, namun sutra tidak dikatakan najis.
[6] Dalam surat Al Maidah ayat 90 dikatakan dalam penutup
ayat bahwa amalan-amalan tadi termasuk amalan syaithon. Maka ini menunjukkan
bahwa amalan tersebut adalah rijsun secara amal yang bermakna kotor,
haram atau dosa, dan bukanlah rijsun yang bermakan najis hakiki (najis
rill).
Alasan kedua: Terdapat dalil yang menyatakan bahwa khomr
itu suci (tidak najis).
Sebagaimana hal ini dapat kita lihat pada hadits dari Anas
bin Malik tentang kisah pengharaman khomr.
Pada saat itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyeru dengan berkata:
أَلاَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ
“Ketahuilah, khomr telah diharamkan.”[1]
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa ketika bejana-bejana
khomr pun dihancurkan dan penuhlah jalan-jalan kota Madinah dengan khomr.
Padahal ketika itu orang-orang pasti ingin melewati jalan tersebut. Jika khomr
najis, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyuruh membersihkannya
sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintakan untuk
membersihkan kencing orang Badui di masjid. Jika khomr najis tentu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan orang-orang membuangnya di jalan
begitu saja.
Alasan ketiga: hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Jika kita mau menilai sesuatu najis, termasuk pula khomr,
maka perlu adanya dalil shahih yang memalingkannya dari hukum asalnya yang
suci. Jika tidak ada dalil pemaling, maka kita tetap berpegang pada hukum asal
bahwa segala sesuatu itu suci.
Pendapat Lebih Kuat
Dari dua pendapat ini, pendapat kedua dinilai lebih kuat,
dengan tetap kami menghormati ulama yang beramal dengan pendapat jumhur
(mayoritas ulama).
Kesimpulan:
Khomr memang haram, namun tidaklah najis.[2]
Nantikan pembahasan selanjutnya, apakah khomr boleh
digunakan untuk berobat.
Semoga Allah mudahkan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1] HR.
Bukhari 2464 dan Muslim 1980, dari Anas.
[2] Pembahasan
ini kami olah dari Shohih Fiqih Sunnah, 1/75-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar