Cinta Sejati Kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi Wa Salam


*•.¸.•**•.¸.•**•.¸.•* Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam *•.¸.•**•.¸.•**•.¸.•*
oleh Meisyah
Hanan pada 31 Januari 2012 pukul 17:58
Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku
cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang
engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!”
(HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no:
6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menegaskan,
“Demi Allah, salah seorang dari kalian
tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua,
anaknya dan seluruh manusia.”
(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalamShahih-nya
[I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di
atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan
seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut.
Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi
dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas
kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan
kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang
yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau
jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang
sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian
yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan
bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu
‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan
oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh.
Abu Sufyan berkata, “Ya
Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal
lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta
Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad
sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di
rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak
pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para
sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
(Al-Bidayah wa an-Nihayah,
karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy
dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar
desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah.
Maka
keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di
tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan
saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki
sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan,
“Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan
anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut,
“Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab,
“Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai
Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama
engkau selamat!”
(Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’
az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh
ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak
mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan
pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa
cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara
dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari
kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu
menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang
banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang
(di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama
yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada
mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa
bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku
sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.”
(HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no:
6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di
surga kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara
yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam?,
bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya
kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Masalah ini perlu
kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke
agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan telah mengagungkannya.
Akan tetapi apakah setiap
orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya?
Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya?
Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami
makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
- Golongan
yang berlebih-lebihan.
- Golongan
yang meremehkan.
- Golongan
tengah.
GOLONGAN TENGAH
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam
memahami makna cinta kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan
ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush
shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi
terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan
Muslim,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian
generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para
tabi’it tabi’in).”
(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath
al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya
[IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah
Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman
bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi
yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi
sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya
adalah dusta, palsu dan batil.
(Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah
bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah
menegaskan,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS.
Al-Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu
berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena
berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu.”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan,
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak
sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.”
(HR. Muslim
dalamShahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah
subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang
disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al
Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal,
memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya.
Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai
dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan),
sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa
ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang
yang membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta
pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua
perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya.
Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus
ke dalam sikap ekstrem ini,
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam
memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa)
bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku):
hamba Allah dan rasul-Nya.”
(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya.
Mereka
antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa
bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan
lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah,
karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap
orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi
orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi
Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq
an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
GOLONGAN YANG MEREMEHKAN
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan
kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka
tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka
bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti
tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan
hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu,
sehingga perlu untuk dikritisi.
Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh
koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw
adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya
menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai
manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti
(qudwah hasanah).”
(Islam Liberal & Fundamental, Sebuah
Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala
zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang
digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak
mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal
dimensi hubungan agama-agama.”
(Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada
hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur
penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang
menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri
mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya
Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
GOLONGAN YANG BERLEBIH-LEBIHAN
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw,
yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka
mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka
adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut
merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan
dalam mengagung-agungkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga
menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu
wa ta’ala.
Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah
al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ
حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ
عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain
dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian
kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan
qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M.
Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah
kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa
ta’ala ketika tertimpa musibah??
(Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11).
Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan
kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil
akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu
qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu
wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana
untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul
semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya.
Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah
perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah
diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah
para sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it
Tabi’in pernah merayakannya?
Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk
diajukan?
Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan
menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang
paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa
acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para
ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:
- Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn
al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
- Al-Hafidz
Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf
ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi
al-’Ibad (I/439).
- Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
- Ibnul
Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
- Al-Imam
Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid
fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Al-Imam
Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin
ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
- Ibnu
al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
- Abu
Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya
al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’
al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
- Muhammad
Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at
al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
- Ali
Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Maulid Nabi
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan?
Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat
ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah
seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte
sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih
al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa
Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
- Al-Imam
al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz
wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
- Al-Imam
Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid
fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
- Ahmad
bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh
al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
- Hasan
As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi,
hal: 69.
- Muhammad
Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan
al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal:
59.
- Ismail
bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm
al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hal: 64.
- Ali
Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal:
126.
- Ali
Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
- Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini?
Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan
mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah,
maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka,
serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan
itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya.
Maka dalam
rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan
acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan
maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid
Husain dan maulid-maulid lainnya.
Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan
tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari
bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam.
Pada
awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan
seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu
mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid
buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu
adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan
sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!!
(Al-Ihtifal
bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim
bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah
orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini.
Dan itu bisa kita
ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah
keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama
dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin.
Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum
muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli
fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh
berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan
menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan
menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar
ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa
lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid
yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar
merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia
kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya ‘ala khairil
‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai
ramalan-ramalan mereka
(Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum
az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi
IV/75).
Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau
atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?
Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan
kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus
dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah,
shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini,
sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar,
rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan
tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya,
tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya
karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid,
entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia
masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan
kecintaan yang hakiki kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon
maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina
muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
***
Sumber-sumber :
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Note Meisyah Hanan :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar