Dialog Bersama Al-Maliki 1 (Pertama) : Bantahan Tuntas Terhadap Manipulasi dan Kesesatan Al-Maliki

DIALOG BERSAMA AL-MALIKI (Bantahan Tuntas Terhadap
Manipulasi dan Kesesatan Al-Maliki)
oleh : Syaikh Abdullah Bin Sulaiman Bin
Mani’ [bagian pertama]
Posted by Abu Namira
Hasna Al-Jauziyah on 30
Oktober 2010
KATA PENGANTAR
Oleh: Ketua Umum Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa
Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji bagi Allah ta’ala. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga, para
sahabat, dan siapa saja yang berpetunjuk dengan petunjuk beliau.
Amma ba’du.
Saya sudah membaca seabrek kemungkaran di buku-buku Muhammad Alawi Maliki,
terutama buku tercelanya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah. Di buku
tersebut, ia menisbatkan sejumlah sifat Allah Ta’ala kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya, ucapan Maliki bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memegang kunci-kunci langit dan bumi, berhak
membagi lahan di surga, tahu hal ghaib, ruh, dan lima hal yang hanya diketahui
Allah secara khusus, semua makhluk diciptakan karena beliau, dan malam
kelahiran beliau lebih mulia dari Lailatul Qadar. Menurutnya lagi, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tahu segala sesuatu. Sebagai contoh, ia mengutip
syair-syair berisi minta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dengan dalih beliau tempat berlindung saat kondisi kritis terjadi,
jika beliau tidak mengabulkan maka orang yang dilanda musibah berdoa kepada
siapa, dan hal-hal lain yang sebagiannya disebutkan di buku ini, karya Syaikh
Abdullah bin Sulaiman bin Mani’, Hakim Pengadilan Kasasi di wilayah barat dan
salah satu anggota Haiah Kibar Al-Ulama’. Buku ini berjudul Hiwar
ma’a Al-Maliki fi Raddi Munkaraatihi wa Dhalaalatihi. Saya bahagia bisa
memberi Kata Pengantarnya. Jujur saja, saya merasa amat terganggu dengan
beredarnya banyak sekali kemungkaran dan sebagiannya kekafiran nyata dari
Muhammad Alawi Maliki. Di bukunya, ia juga mempropagandakan kesesatan, syirik,
bid’ah, dan kemungkaran.
Banyak ulama, terutama Haiah Kibar Al-Ulama’, mengeluarkan
pernyataan nomer 86 tanggal 11/11/1401 H, berisi pengingkaran atas ajakan
Maliki kepada syirik kepada Allah, bid’ah, kemungkaran, kesesatan, dan jauh
dari manhaj generasi salaf, yaitu akidah bersih dan menyembah
Allah dengan benar dalam uluhiyah, rububiyah, kesempurnaan dzat dan
sifat-sifat-Nya.
Sebelumnya, saya tidak hanya berniat berpartisipasi dengan
teman-teman anggota Haiah Kibar Al-Ulama’ dalam mengeluarkan pernyataan yang
menentang keyakinan kacau Maliki. Tapi, juga bertekad memantau kerancuan dan
kemungkaran Maliki, serta menyanggahnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca buku karya Syaikh
Abdullah bin Mani’ ini, saya memuji Allah yang membimbingnya hingga dapat
menyanggah pembuat bid’ah dan orang sesat ini, Maliki. Saya pun tidak jadi
menyanggah Maliki, karena Syaikh Abdullah punya kesiapan lebih banyak dari
saya. Ia menghadapi hujjah dengan hujjah telak dan dalil dengan dalil kuat. Ia
jelaskan kepada manusia seluruh ketidakberesan Maliki, misalnya akidah tidak
benar, pola pikir tidak sehat, dan jauh dari kebenaran. Semoga Allah memberi
balasan kepada Syaikh Abdullah atas ghirahnya untuk Islam, penentangannya
terhadap kemungkaran, dan upayanya membongkar kerancuan orang-orang sesat
dengan bukti-bukti kuat dan hujjah-hujjah akurat dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Buku ini lengkap dan memadai bagi pencari kebenaran, karena
dalil-dalilnya jelas, metodenya bagus, dan obyektif terhadap Maliki berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah. Semoga Allah memberi balasan kepada Syaikh Abdullah,
menambah ilmu dan petunjuknya, menjadikan kita dan dia sebagai pembela-pembela
kebenaran dan dai kepadanya. Allah Maha Mendengar dan Maha-dekat. Kita juga
berdoa kepada Allah agar Dia memberi petunjuk kepada Muhammad Alawi Maliki
kepada kebenaran, mengembalikannya ke jalan lurus, dan memberinya kesempatan
bertaubat dengan taubat nasuhah, karena Dia Maha Dermawan dan Maha-mulia.
Ketua Umum Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa
Ad-Da’wah wa Al-Irsyad,
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
SEKAPUR SIRIH DAN PERMINTAAN MAAF
Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam
semesta, kemenangan milik kaum Mukminin, dan tidak ada permusuhan kecuali
terhadap orang-orang zhalim. Saya bersaksi tidak ada Ilah yang
hak kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi Muhammad itu
hamba Allah, Rasul-Nya, imam orang-orang bertakwa, pemimpin para rasul, dan
komandan orang-orang berwajah putih bersih. Semoga shalawat dan salam tercurah
kepada beliau dan para sahabat.
Amma ba’du.
Sungguh, sulit bagi kita menghaturkan penghargaan dan
penghormatan besar kepada sosok dambaan istiqamah, keshalihan, dan kebersihan
akidah ini, karena ia hidup di lingkungan yang sebagian besar penduduknya telah
terjauh dari kotoran bid’ah, fenomena kemungkaran, dan karena dia adalah orang
yang telah menikmati dunia belajar hingga tahap akhir, namun tragisnya, setelah
ia menjadi “tokoh” dan seharusnya pemikirannya beranjak matang, ia mulai nyleneh dan
itu terlihat di aspek pemikiran, ilmiah, akidah, dan orientasinya, hingga
sampai pada taraf tidak waras, akidahnya kacau, dan mengajak kepada paganisme.
Itu semua tampak jelas di segala ucapan, tulisan, penjelasan di majelis ta’limnya,
dan tulisan berisi dosa dan akidah amburadul, yang ia sebar pada
hari-hari ini. Keseharian orang ini menyimpulkan bahwa ia penyeru nomer wahid kepada
bid’ah, khurafat, syirik kepada Allah dalam uluhiyah dan rububiyah. Hal ini
kita ketahui dengan membaca cuplikan-cuplikan berikut ini, yang kami nukil dari
bukunya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah. Sang tokoh ini pernah kita
anggap punya banyak kemuliaan, kapasitas ilmiah tinggi, dan sekarang kita cukup
memanggilnya dengan sebutan Muhammad Alawi Maliki. Orang ini lebih mengutamakan
dari orang-orang yang ia tipu, sesatkan, dan butakan agar mencium tangannya,
tunduk kepadanya, mencari keberkahan dari apa yang pernah ia pakai, organ
tubuh, dan pakaiannya, ia utamakan itu semua daripada dakwah ke jalan Allah,
yaitu dakwah Islam yang putih bersih, berakidah bersih, dan meneladani tiga
generasi salaf yang istimewa; generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Racun orang sesat dan menyesatkan ini menyerang secara
bertubi-tubi akidah generasi salaf, melalui tulisannya yang paling mendatangkan
bencana, yaitu Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah. Juga buku terakhirnya,
sepengetahuan kami, dan kita berharap buku tersebut buku terakhirnya di medan
dakwah kepada bid’ah dan kesesatan, yaitu Haula Al-Ihtifal bi Al-Maulid
An-Nabawi Asy-Syarif. Buku tersebut berisi banyak sekali kerancuan dan
kekacauan. Hal ini menjadi jelas di pembahasan dan counternya.
Pada bulan Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Rajab, tahun
1402 H, saya menikmati masa liburan. Di salah satu kunjunganku kepada Syaikh
Abdullah bin Humaid, ia menghadiahkan buku Haula Al-Ihtifal bi
Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif kepadaku dan memintaku mengcounternya
selama liburan.
Syaikh Abdullah bin Humaid gamang, protes keras, dan berang,
kepada lelaki ini plus arogansi, kekacauan akidah, dan penyimpangannya dari
tali Islam, akibat syirik, kesesatan, dan kemungkarannya. Betapa tidak, lelaki
ini mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tahu seluk beluk
ruh, hal-hal ghaib, lima hal yang menjadi hak prerogatif Allah, mengkavling
tanah surga, Adam dan anak keturunannya diciptakan demi beliau, serta hal-hal
lain yang kami tahu berasal dari tokoh-tokoh tasawuf dan penyeru kesesatan.
Saya penuhi permintaan Syaikh Abdullah bin Humaid, bertekad kuat mengcounter
buku arogan lelaki ini, menjelaskan seluruh penyimpangan dan kerancuan yang
saya ketahui di dalamnya. Hanya saja, sebelum mengcounter buku tersebut,
terlebih dulu saya tegaskan bahwa saya tidak berarti ingin menghujat dan
menelanjangi lelaki ini di depan para pecinta ilmu.
Tidak, saya hanya ingin
mengcounter kepalsuan, kesesatan, dan kerancuannya dalam memasarkan bid’ah dan
hal-hal yang menjurus kepada syirik kepada Allah dalam uluhiyah dan
rububiyah-Nya. Kalau tindakan ini tidak segera diambil, orang-orang yang tidak
tahu lelaki ini bisa terkecoh dengannya dan seluruh perilakunya, misalnya
ambisi popularitas, jabatan, dan asyik menikmati kehinaan orang-orang yang
tertipu olehnya saat mereka berebutan mencium tangannya, menundukkan kepala,
dan tunduk di depan kesombongan, kedustaan dan kesesatannya.
Barangkali, pembaca yang budiman mengkritik saya, terkait
dengan perkataan saya tentang lelaki ini. Pada saat yang sama, saya yakin pembaca
memaafkan saya jika tahu motif saya dalam hal ini ialah karena ghirah kepada
Allah, dengan cara merealisir tauhid dan menyempurnakannya, danghirah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ingin umat tahu posisi beliau di
sisi AllahTa’ala. Beliau bersabda,
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا
أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan, seperti
halnya orang-orang Nasrani yang memuji Isa bin Maryam secara berlebihan. Aku
hanyalah seorang hamba. Karena itu, katakan (tentang aku), ‘Hamba Allah dan
Rasul-Nya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin
Khaththab)
Pembaca yang budiman juga memaafkan saya jika tahu tokoh
pembuat bid’ah ini menerbitkan buku berjudul Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah. Di buku ini, sang tokoh menyebutkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sejajar dengan Allah Ta’ala dalam hal memberi manfaat,
madharat, hak tidak memberi dan memberi, kekuasaan umum yang mencakup seluruh
kerajaan langit dan bumi, hak mengkavling lahan di surga, Adam dan seluruh anak
keturunannya diciptakan untuk beliau, dan hal-hal lain yang akan saya sebutkan
sembari menyebutkan halamannya di buku aslinya, untuk menjelaskan kebenaran
perkataan saya tentang orang sesat beserta seluruh kesesatan, kekacauan akidah,
ketidakwarasan akalnya, dan keburukan hatinya.
Dewan Hai’ah Kibar Al-Ulama’ mengeluarkan ketetapan nomer
86, tanggal 11/11/1401 H, yang berisi,
“Pada pertemuan keenam belas di Thaif, Syawal 1400 H, Dewan
Hai’ah Kibar Al-Ulama’ mengkaji presentasi Ketua Umum Idarah Al-Buhuts
Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Menurut laporannya, ia
mendengar informasi Alawi Maliki aktif menyebarkan bid’ah, khurafat, mengajak
kepada kesesatan dan paganisme, mengarang buku, berinteraksi dengan manusia,
dan melakukan sejumlah lawatan demi tujuan di atas.
Dewan juga membaca buku
Alawi Maliki berjudul Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, Ash-Shalawat
Al-Ma’tsurah, dan Ad’iyah wa Shalawat. Dewan juga mendengar surat dari Mesir
kepada Ketua Umum Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa
Al-Irsyad. Surat menyebutkan, akhir-akhir ini muncul aliran dalam bentuk sufi,
namun sejatinya aliran paling sesat dibandingkan aliran-aliran yang ada
sekarang, meskipun kekafiran itu satu (kendati bentuknya beragam).
Aliran tersebut bernama Al-‘Ishabah Al-Hasyimiyah wa
As-Sadanah Al-Alawiyah wa As-Sasah Al-Hasaniyah Al-Husainiyah, dipimpin orang
dari Mesir dan dipanggil Al-Imam Al-Arabi oleh pengikutnya.
Ia mengisolir dari
manusia dan menetap di padepokannya. Para pengikutnya berjalan menuju kepadanya
dengan berbaris, mengucapkan salam kepadanya, dan bicara dengannya. Lalu, ia
memberi keberkahan pada mereka dan membeberkan hal-hal ghaib kepada mereka;
setiap orang sesuai dengan jatahnya masing-masing. Seluruh proses ini dilakukan
di balik tabir. Mereka mendengar suaranya, namun tidak melihat fisiknya.
Kecuali orang-orang khusus, maka diperbolehkan masuk dan jumlah mereka sedikit
sekali. Ia tidak berkumpul bersama manusia dan tidak shalat di masjid yang
dibangun dekat padepokannya. Para peng-ikutnya yakin ia mengerjakan
shalat-shalat wajib di Ka’bah secara berjama’ah di belakang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para pengikutnya juga meyakini ia termasuk
sisa-sisa keturunan para imam yang maksum dan Al-Mahdi akan
keluar atas perintahnya.
Ia membuka sejumlah cabang alirannya di sebagian kota
Mesir. Jajaran tinggi aliran tersebut berkumpul di sana, di pesta makan, minum,
dan rokok. Mereka menyuruh murid-muridnya mencukur jenggot dan tidak shalat
berjama’ah di masjid. Ini sebagai pengantar dan tahap awal menghapus shalat.
Ada kekhawatiran mereka itu adalah perpanjangan tangan gerakan kebatinan,
karena ada kemiripan antara mereka dengan ciri khas aliran kebatinan.
Para
pengikut mereka dilarang keras menyiarkan seluruh rahasia mereka, menanyakan
apa saja yang mereka lihat dari guru-guru mereka, nama gerakan dan slogan
mereka, semisal Fathimah, Ali, Al-Hasan, dan Al-Husain.
Bukti yang memperkuat
dugaan ini ialah mereka menetap dekat pemakaman Agha Khan, pemimpin aliran
Al-Ismailiyah, di mana para pengikutnya tidak henti-henti menziarahi kuburannya
dan berkomunikasi dengan manusia di sana. Agha Khan dimakamkan di Mesir untuk
tujuan tersebut.
Menurut hemat kami, mereka semakin membahayakan, sebab punya
koneksi kuat dengan beberapa oknum di Arab Saudi yang memberi kesempatan kerja
di Saudi Arabia kepada para pengikut mereka. Kita tidak tahu nama oknum-oknum
tersebut, karena begitu kuatnya tingkat kerahasiaan yang menyelimuti gerakan
mereka.
Yang kami tahu secara pasti tanpa ragu bahwa Syaikh Muhammad
Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani membuka kontak langsung dengan
para pengikutnya, mengunjungi syaikhnya “yang bersembunyi”, masuk ke tempatnya,
dan bicara empat mata dengannya. Setelah ia keluar dari tempat syaikhnya, ia
melanglang buana bersama pengikutnya ke penjuru dunia, berbicara dengan mereka,
dan berceramah di depan mereka mewakili syaikh fiktif tersebut. Ia mengakhiri
kunjungannya dengan mengunjungi kuburan Abu Al-Hasan Asy-Syadzili, tokoh
terkenal sufi yang dikubur di Mesir, dengan ditemani sejumlah tokoh tasawuf
Mesir, dan ia sebarkan buku-bukunya kepada mereka. Saya sudah baca sebagian
buku-buku tersebut dan memberi konsentrasi khusus pada bukunya berjudul Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah.
Sekarang, saya punya jilid pertama buku tersebut, yang
terdiri dari 354 halaman, dalam format besar, dengan cetakan mewah, dan dicetak
Percetakan Hasan di Kairo. Buku tersebut tidak didistribusikan melalui agen
sebagaimana mestinya, namun didistribusi secara personal dan gratis.
Orang yang membaca buku tersebut mendapati penulisnya
-semoga Allah memberinya petunjuk- mengetengahkan keyakinan batil tentang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan cerdik dan lihai, agar tidak
divonis salah, gara-gara menyebarkan keyakinan kacau. Ia menukil dari beberapa
buku yang tidak etis terhadap Islam, akidah, dan syariatnya, serta menyinggung
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai pada taraf berlebih-lebihan.
Al-Qur’an dan Sunnah tidak berkata seperti itu. Justru, melarang keras
penyimpangan, pemalsuan, kesesatan. Penulis surat menyebutkan contoh-contoh
kesesatan Maliki dan mengakhiri suratnya dengan berkata, “Kami serius mencari
kesalahan-kesalahan seperti ini, karena ingin mengingatkan tingkat bahayanya,
menasihati kaum Muslimin, dan mewanti-wanti mereka tentang bahaya yang
kemungkinan menyerang akidah yang lurus dan iman yang benar. Kami menulis surat
kepada anda, agar anda memikirkan penangkalnya, yang membawa kebaikan dan
manfaat bagi kaum Muslimin. Sebagaimana Mesir menjadi sasaran tembak
musuh-musuh Islam, karena jumlah penduduknya besar, persenjataannya kuat, dan
kesepakatannya membela Sunnah.
Arab Saudi juga menjadi incaran musuh-musuh
Islam, karena punya kesan mendalam di hati kaum Muslimin, bersemangat membela
tauhid, mengarahkan manusia kepada Sunnah yang benar, dan punya kepedulian
menyebarkan akidah ke semua tempat. Kami ingin menjelaskan hal-hal yang
membahayakan, agar anda berusaha menangkalnya semaksimal mungkin. Kami yakin
masalah ini amat membahayakan, seperti yang anda baca di sebagian alinea buku.”
Dewan mengetahui kebenaran pernyataan pengirim surat bahwa
Muhammad Alawi Maliki penyeru kepada keburukan, menyebarkan kesesatan, bid’ah,
buku-bukunya sarat dengan khurafat, ajakan kepada syirik dan paganisme. Untuk
itu, dewan berusaha memperbaikinya, menyuruhnya bertaubat dari semua
perkataannya, menasihatinya, menjelaskan kebenaran kepadanya, dan
menganjurkannya menemui Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid; Ketua Majlis
Tinggi Pengadilan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Ketua Umum Idarah
Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, dan Syaikh Sulaiman
bin Ubaid; Ketua Syu’un Al-Haramaian Asy-Syarifain, terkait dengan
ucapan-ucapannya yang ada indikasi atheis dan sufi, mendengarkan kepadanya
surat dari Mesir, mengetahui responnya tentang surat tersebut dan buku-bukunya.
Pertemuan yang ditunggu-tunggu pun terealisir dan Muhammad Al-Maliki hadir di
Kantor Majlis Tinggi Pengadilan, hari Kamis 17/10/1400 H. Pertemuan tersebut
berisi jawaban balik Al-Maliki tentang isi bukunya dan pertanyaan-pertanyaan
para syaikh seputar isi buku.
Al-Maliki mengakui buku Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah dan Ash-Shalawat Al-Ma’tsurah memang benar
karangannya. Sedang buku Ad’iyah wa Shalawat bukan
karangannya. Tentang orang sufi Mesir, Al-Maliki menyatakan ia memang benar
mengunjunginya dan ratusan orang Mesir semisalnya, namun ia bukan pengikutnya.
Al-Maliki bersumpah bahwa dia bukan anggota alirannya, ia tidak menyampaikan
ceramah di Mesir, dan ia mengingkari orang sufi tersebut dan para pengikutnya.
Di depan para syaikh ia menyebutkan, bahwa ia punya pandangan berbeda dalam
beberapa masalah. Sedang hal-hal syirik, Al-Maliki berkata bahwa ia menukilnya
dari orang lain dan bahwa hal-hal itu adalah kesalahan yang tidak sempat
terkoreksi.
Ketika dewan mendengar penjelasannya, mendapatkan kepastian
kedua buku tersebut memang karangan Al-maliki, dan mengetahui pengakuannya
bahwa ia memang memuat hal-hal mungkar di buku tersebut, maka mereka berdiskusi
membahas masalah Al-Maliki dan sikap yang harus diambil.
Dewan berpendapat
sebaiknya dikumpulkan seluruh hal syirik dan bid’ah di bukunya, Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah, yang ia akui salah tanpa sempat terkoreksi, lalu ditulis
di memo rapat dan ditulis pula pernyataan rujuk dari hal-hal mungkar tersebut
yang ditulis secara resmi, dan ia diminta tanda tangan di atasnya. Setelah itu,
dipublikasikan di media massa, diperdengarkan dengan suaranya sendiri di radio
dan TV. Jika ia mau melaksanakannya, maka masalahnya dianggap selesai.
Jika
tidak, masalahnya dilimpahkan kepada pihak berwenang, agar ia dicekal dari
melakukan aktivitas di Masjidil Haram, radio, TV, dan media massa lainnya. Ia
juga dicekal bepergian ke luar negeri, agar tidak menyebarkan kebatilan di
dunia Islam dan menjadi biang terfitnahnya banyak kaum Muslimin. Komite riset
ilmiah dan fatwa secara intens membaca dua buku yang diakui Al-maliki sebagai
karangannya, mengumpulkan hal-hal syirik dan bid’ah di dalamnya, menyiapkan
ralat yang perlu diberikan kepada Al-Maliki, dan memintanya menyiarkan ralat di
radio dengan suaranya sendiri. Selain itu, surat Ketua Umum Idarah Al-Buhuts
Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad nomer 788/2, tanggal
12/11/1400 H dikirim kepadanya melalui Ketua Umum Syu’un Al-Haramain. Al-Maliki
menolak melaksanakan permintaan dewan. Sebagai gantinya, ia menulis surat
memuat pendapatnya. Surat tersebut sampai ke tangan Ketua Umum Idarah Al-Buhuts
Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, plus surat yang mulia Ketua
Umum Syu’un Al-Haramain Asy-Syarifain nomer 2053/29, tanggal 26/12/ 1400 H. Di
surat Ketua Umum Syu’un Al-Haramain Asy-Syarifain disebutkan, ia bertemu dua
kali dengan Al-Maliki, memperlihatkan kepadanya surat Syaikh Abdul Aziz, dan
tulisan para syaikh. Namun, Al-Maliki memperlihatkan ketidaksetujuannya atas
masukan para syaikh. Ketua Umum Syu’un Al-Haramaian Asy-Syarifain berupaya
memberi penjelasan yang lebih memuaskan, tapi Al-Maliki bersikukuh pada
pendapatnya. Ia tulis jawaban atas permintaan dewan kepadanya. Di jawabannya,
ia secara tegas menolak mempublikasikan statemen taubatnya. Pada rapat ketujuh
belas, bulan Rajab 14001 H, di Riyad, dewan mengkaji ulang masalah ini dan
mencari sikap resmi atas permintaan yang ditujukan kepadanya. Dewan berpendapat,
pihak berwenang perlu diberi informasi sepak terjang Al-Maliki dan
langkah-langkah yang akan diambil, guna meredam madharat dan gangguannya kepada
kaum Muslimin. Komite Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ menyiapkan statement
tentang masalah-masalah syirik dan bid’ah di buku Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah. Di antaranya ialah sebagai berikut:
- 1.
Di halaman 265 buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, Maliki
mencuplik bait-bait syair berikut,
“Ketika kulihat jaman memerangi manusia
Kujadikan sandal tuannya (Rasulullah) sebagai benteng diriku
Aku berlindung darinya dalam simbol keindahan
Dengan benteng kokoh
Dan, saya pun mendapatkan ketenangan di bawah naungannya.”
Kujadikan sandal tuannya (Rasulullah) sebagai benteng diriku
Aku berlindung darinya dalam simbol keindahan
Dengan benteng kokoh
Dan, saya pun mendapatkan ketenangan di bawah naungannya.”
- 2.
Di halaman 158-159, Maliki menukil syair Al-Bakri, yang berisi beragam
jenis syirik besar dan berpaling dari Allah Ta’ala. Di syair tersebut,
Al-Bakri berkata,
“Allah tidak pernah atau tidak sedang mengutus rahmat
yang naik atau turun
Di kerajaan langit atau kekuasaan-Nya yang bersifat khusus atau umum
Melainkan Muhammad hamba-Nya
Nabi-Nya dan rasul pilihan
Ia penengah dan asal usul rahmat
Ini diketahui siapa saja yang berakal
Berlindunglah kepadanya dari setiap yang mengganggumu
Ia pemberi syafa’at selamanya dan menerima permintaan
Berlindunglah kepadanya di semua harapan Anda
Karena ia tempat aman dan tempat berlindung
Tumpahkan seluruh beban impian di sisinya
Sebab, ia tempat rujukan dan tempat berlindung
Serulah bahwa krisis telah terjadi
Dan masa-masa sulit tengah melanda
Hai orang paling mulia di sisi Tuhannya
Dan orang paling baik dijadikan sarana berdoa
Aku menderita sakit
Engkau seringkali menghilangkan petaka
Dan sebagiannya hilang sendiri
Demi Dzat yang memberimu keistimewaan di antara manusia
Dengan kedudukan di mana ketinggian berasal darinya
Datanglah segera untuk menghilangkan penyakitku
Jika tidak, kepada siapa aku meminta?”
yang naik atau turun
Di kerajaan langit atau kekuasaan-Nya yang bersifat khusus atau umum
Melainkan Muhammad hamba-Nya
Nabi-Nya dan rasul pilihan
Ia penengah dan asal usul rahmat
Ini diketahui siapa saja yang berakal
Berlindunglah kepadanya dari setiap yang mengganggumu
Ia pemberi syafa’at selamanya dan menerima permintaan
Berlindunglah kepadanya di semua harapan Anda
Karena ia tempat aman dan tempat berlindung
Tumpahkan seluruh beban impian di sisinya
Sebab, ia tempat rujukan dan tempat berlindung
Serulah bahwa krisis telah terjadi
Dan masa-masa sulit tengah melanda
Hai orang paling mulia di sisi Tuhannya
Dan orang paling baik dijadikan sarana berdoa
Aku menderita sakit
Engkau seringkali menghilangkan petaka
Dan sebagiannya hilang sendiri
Demi Dzat yang memberimu keistimewaan di antara manusia
Dengan kedudukan di mana ketinggian berasal darinya
Datanglah segera untuk menghilangkan penyakitku
Jika tidak, kepada siapa aku meminta?”
- 3. Di halaman 25, Maliki menyebutkan malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia dari Lailatul Qadar. Ini salah kaprah. Siapa pun tahu Lailatul Qadar malam paling mulia.
- 4.
Di halaman 43, 44, dan 45, Maliki menukil syair Ibnu Hajar Al-Haitami.
Syair itu menegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup
seperti sediakala, mengerjakan shalat lima waktu, bersuci, melaksanakan
ibadah haji, berpuasa. Menurutnya, ini semua bukan mustahil. Selain itu,
amal perbuatan manusia diperlihatkan kepada beliau. Juga disebutkan bahwa
Al-Haitami berlindung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maliki melegalkan hal ini, padahal berlindung kepada selain Allah termasuk
syirik besar.
- 5.
Di halaman 52-55, Maliki menyebutkan,
“Barangsiapa larut dalam cinta kepada para nabi dan
orang-orang shalih, maka itu berarti izin untuk mencium kuburan mereka, minta
keberkahan pada kuburan mereka, dan menempelkan pipi padanya.” Maliki
mengklaim ini pendapat sebagian sahabat. Ia merestui hal ini dan tidak
membantahnya. Padahal, hal-hal tersebut bid’ah, sarana syirik besar, dan bahwa
klaim itu adalah pendapat sebagian sahabat sama sekali tidak benar.
- 6.
Di halaman 60, Maliki menyebutkan, mengunjungi kuburan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk kesempurnaan haji. Menurut
orang-orang sufi, mengunjungi kuburan beliau itu wajib dan hijrah ke
kuburan beliau sama dengan hijrah kepada beliau semasa beliau hidup.
Maliki melegalkan hal ini dan tidak membantahnya.
- 7.
Maliki menyebutkan sepuluh karomah orang yang berziarah
ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini semua ramalan dan
perkataan tentang Allah tanpa dasar.
- 8.
Maliki menyerukan berlindung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan minta syafaat kepada beliau, ketika mengunjungi kuburan
beliau. Lebih lengkapnya, Maliki berkata,
“Di tempat mulia ini ditekankan memperbarui taubat, minta
Allah menjadikan taubatnya taubat nasuhah, minta syafa’at kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam agar taubat diterima, memperbanyak istighfar, dan
tunduk merendah dengan membaca ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu, doa
ditutup dengan berkata, ‘Sungguh, aku banyak menzhalimi diriku. Aku datang
dengan membawa banyak sekali kebodohan dan kelengahanku. Aku datang kepadamu
dengan tujuan berkunjung kepadamu dan minta perlindunganmu’.” Seperti
diketahui bersama, minta syafaat dan perlindungan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sepeninggal beliau termasuk syirik besar.
- 9.
Di halaman 10, Maliki menyebutkan syair yang menurutnya perlu dibaca
sambil berdoa ketika menziarahi kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Di antara bait syair tersebut ialah sebagai berikut,
“Inilah tamumu yang tidak lagi merasakan nikmat
Kecuali berdekatan denganmu
Hai, tempatku minta dan harapanku.”
Kecuali berdekatan denganmu
Hai, tempatku minta dan harapanku.”
Bait syair lainnya ialah,
“Tamu lemah dan asing telah duduk di tempatmu
dan minta perlindunganmu, hai pemimpin orang-orang Arab
Hai orang yang memuliakan tamu, hai pemberi bantuan
Hai penolong orang miskin dan tempat berharap.”
dan minta perlindunganmu, hai pemimpin orang-orang Arab
Hai orang yang memuliakan tamu, hai pemberi bantuan
Hai penolong orang miskin dan tempat berharap.”
Di halaman 102, Maliki menukil syair berjudul Fadhail
Nabawiyah Qur’aniyah,
“Apakah engkau rela kami terlantar sedang engkau orang
yang berkedudukan
Pahadal kami dekat dengan ambang pintumu?
Anugerahkan karunia Nabawiyah kepada kami
Yang menyatukan perbedaan kaum Muslimin.”
Pahadal kami dekat dengan ambang pintumu?
Anugerahkan karunia Nabawiyah kepada kami
Yang menyatukan perbedaan kaum Muslimin.”
Bait-bait ini syirik kepada Allah Ta’ala dan kita berlindung
kepada Allah darinya.
- 10.
Di halaman 54, Maliki menukil syair dari Al-Hamziyah yang berbunyi,
“Ah, seandainya ia memberiku secara khusus kesempatan melihat
wajahnya
Niscaya kelelahan hilang dari siapa saja yang melihatnya.”
Niscaya kelelahan hilang dari siapa saja yang melihatnya.”
Ini kebohongan dan kebatilan nyata. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dilihat banyak orang semasa hidupnya. Tapi, kelelahan dan
kekafiran mereka tidak hilang.
- 11.
Di halaman 157, Maliki menyebutkan sikap berlebihan tentang sandal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Di atas alam raya ini ada sandal Muhammad yang tinggi
Seluruh makhluk ada di bawah naungan sandal tersebut.
Di Thur, Musa diseru, ‘Lepas sandalmu.’
Sedang Ahmad, ia pergi ke Arasy tanpa disuruh melepas sandalnya.”
Seluruh makhluk ada di bawah naungan sandal tersebut.
Di Thur, Musa diseru, ‘Lepas sandalmu.’
Sedang Ahmad, ia pergi ke Arasy tanpa disuruh melepas sandalnya.”
- 12.
Di halaman 166, Maliki menukil syair syirik Syaikh Umar Al-Baqi
Al-Khalwati. Di antara baitnya ialah,
“Hai tempat berlindung manusia dan orang terbaik
Serta tumpuan orang dekat dan jauh
Aku hadapkan wajahku kepadamu, wahai orang yang wajahnya amat putih
Wajah wali menghadap kepadanya.”
Serta tumpuan orang dekat dan jauh
Aku hadapkan wajahku kepadamu, wahai orang yang wajahnya amat putih
Wajah wali menghadap kepadanya.”
- 13.
Di halaman 284, Maliki menukil dari buku Ibnu Al-Qayyim, Jalaul
Afham. Cuplikan tersebut mengindikasikan jalan kepada Allah dan surga
itu hanya jalan pengikut ahlul bait, maksudnya keluarga Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Maliki merubah ucapan Ibnu Al-Qayyim dan tidak
menyebutkan seperti aslinya, karena Ibnu Al-Qayyim di bukunya bicara
tentang keluarga Nabi Ibrahim dan para nabi dari keluarga beliau. Ibnu Al-Qayyim
menyebutkan, Allah Ta’ala mengutus para nabi setelah Nabi Ibrahim dari
anak keturunan beliau dan semua jalan menuju kepadanya tertutup kecuali
lewat jalan mereka. Di antara para nabi ialah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
Maliki tidak menukil perkataan asli Ibnu Al-Qayyim dan
menulis sesuai versinya sendiri. Cuplikan tersebut ingin memberi kesimpulan
kepada para pembaca bahwa yang dimaksud dengan ahlul bait ialah keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak pelak, ini gaya aliran Rafidhah Itsna
Asyariyah. Mereka berpendapat, hadits-hadits dari selain jalur ahlul bait tidak
bisa dijadikan hujjah dan tidak dapat diamalkan. Kendati perawi hadits-hadits
itu sahabat sekaliber Abu Bakar, atau Umar bin Khaththab, atau Utsman bin
Affan, dan sahabat lain. Ini kemungkaran besar, kerusakan parah, dan pemalsuan
jahat yang dimaksudkan untuk tujuan buruk yang berbahaya. Contoh hal ini ialah
perkataan Maliki di halaman 14 dan 15 buku Ash-Shalawat Al-Ma’tsurah.
Di situ, Maliki menukil sejumlah doa. Di antaranya, “Angkatlah aku dari lumpur
tauhid dan tenggelamkan aku di laut wihdah (penyatuan dzat).” Dan doa, “Segala
sesuatu ia ketahui.” Maksudnya, diketahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Masalah ini pernah dibawa kepada yang mulia Wakil Perdana Menteri
beserta surat Ketua Umum Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah
wa Al-Irsyad nomer 1280 tanggal 28/ 7/1401 H.
Pada pertemuan kedelapan belas, bulan Syawal 1401 H, masalah
ini kembali mencuat, karena dewan mendapat informasi Maliki semakin agresif
menyebarkan bid’ah dan kesesatan di dalam maupun luar negeri. Dewan
menyimpulkan, dampak negatif akibat ulah Maliki sudah sedemikian besar. Sebab,
masalahnya bersinggungan dengan akidah tauhid, yang merupakan tema sentral di
balik pengutusan para rasul. Tindakan dan perkataan Maliki tidak hanya berkutat
pada masalah-masalah furu’ yang memungkinkan perbedaan pendapat di dalamnya.
Maliki berusaha mengembalikan paganisme, penyembahan kuburan dan para nabi di
Arab Saudi, serta bergantung kepada selain Allah. Ia melecehkan dakwah tauhid,
menyebarkan syirik, khurafat, dan sikap berlebih-lebihan terhadap kuburan.
Semua itu ia sebutkan di buku-bukunya, mengajak kepadanya di forum-forum
ilmiahnya, dan melakukan kunjungan ke luar negeri demi menyeru kepadanya. Dan,
hal-hal lain yang sudah menjadi keputusan dewan.
Sebagai tambahan penjelasan dewan, saya katakan mencuplik
apa yang dikatakan Maliki di bukunya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah,
seperti berikut:
- 1.
Di halaman 98, Maliki menukil dari Al-Jurdani dan Ibnu Al-Jauzi seperti
berikut,
“Termasuk bentuk bid’ah terbesar yang dilakukan dalam rangka
taqarrub adalah adat kebiasaan berupa peringatan Maulid dan senang dengannya,
untuk tujuan ibadah dan ketaatan. Dan seterusnya.”
Sampai ia mengatakan, “Barangsiapa menyelenggarakan
acara Maulid, ia aman tanpa gangguan pada tahun itu juga dan mendapat kabar
gembira tujuannya akan tercapai.”
Hingga ucapannya, “Termasuk bid’ah terbesar ialah kebiasaan
manusia berdiri saat MaulidRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
disebutkan. Hal ini hukumnya sunnah, karena termasuk mengkultuskan beliau dan
memperlihatkan kegembiraan dengan beliau. Sebagian pengikut madzhab Abu
Hanafiyah memvonis kafir orang yang tidak berdiri saat Maulid disebutkan,
padahal orang-orang lain berdiri.”
- 2.
Di halaman 99, 100, dan 102, Maliki menyebutkan redaksi salam kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku datang kepadamu,
untuk minta ampunan dari dosaku dan minta syafaat denganmu kepada Allah,
wahai Rasulullah.”
Setelah itu, Maliki menyebutkan sejumlah redaksi salam
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian redaksi berbentuk
prosa dan syair (puisi). Contoh salam dalam bentuk syair ialah,
“Tamumu ini tidak lagi menemukan tempat berlindung
Kecuali berada di dekatmu, wahai tempatku meminta dan dambaanku.”
Kecuali berada di dekatmu, wahai tempatku meminta dan dambaanku.”
- 3.
Di halaman 107, Maliki menyebutkan shalawat versi sufi,
“Barangsiapa rutin mengucapkan shalawat berikut ini, ‘Ya
Allah, beri shalawat kepada junjungan kami, Muhammad, hamba-Mu, nabi-Mu,
rasul-Mu, dan nabi yang ummi. Juga berikan kepada keluarga dan para sahabat
beliau,’ sebanyak lima ratus kali dalam sehari semalam, maka ia tidak
meninggal dunia hingga bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
keadaan terjaga.”
- 4.
Di halaman 110, Maliki menjabarkan shalawat Al-Fatih,
“Seluruh rizki ada di tangannya (maksudnya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam). Di hadits disebutkan, ‘Aku diberi kunci-kunci
kekayaan di langit dan bumi.’ Maksudnya, firman Allah Ta’ala, ‘Milik
Allah kunci-kunci langit dan bumi.’ Maksudnya, kunci-kunci itu
diberikan Allah kepada hamba yang dicintai-Nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Di hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Allah pemberi rizki, sedang aku adalah yang
membagikannya’.”( Barangkali yang dimaksud Maliki ialah perkataan Ibnu
Al-Jauzi di bukunya, Al-Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Ahadits Al-Wahiyah, bab Nabi
diberi kunci-kunci dunia. Ibnu Al-Jauzi menyebutkan sanad hadits tersebut dari
Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku
diberi kunci-kunci dunia di atas kuda belang-belang dan di atasnya terdapat
secarik kain dari sutra tipis.”
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Hadits di atas tidak shahih. Karena di sanadnya terdapat Ali bin Al-Husain. Tentang Ali bin Al-Husain, Abu Hatim berkata, “Ia perawi dhaif.” (baca buku Al-Ilal Al-Mutanahiyah, jilid I, hal. 174).)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Hadits di atas tidak shahih. Karena di sanadnya terdapat Ali bin Al-Husain. Tentang Ali bin Al-Husain, Abu Hatim berkata, “Ia perawi dhaif.” (baca buku Al-Ilal Al-Mutanahiyah, jilid I, hal. 174).)
- 5.
Di halaman 112, Maliki berkata,
“Ketahuilah, wahyu yang diberikan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian
pertama, wahyu yang beliau diperintahkan menyampaikannya, yaitu
Al-Qur’an. Bagian kedua, hukum-hukum yang terkait dengan
manusia secara umum. Wahyu jenis ini telah disampaikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Bagian ketiga, wahyu yang beliau
diperintahkan merahasiakannya. Wahyu jenis ini dirahasiakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak menyampaikannya, satu huruf pun.
Wahyu jenis ini ialah rahasia-rahasia yang tidak layak diketahui umat.”
Perkataan seperti ini tidak pernah dinukil dari siapa pun.
Tidak diragukan, perkataan seperti itu ingin mengeluarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dari dimensi kemanusiaan kepada dimensi ketuhanan.
Allah Mahatinggi dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim.
- 6.
Di halaman 116, Maliki berkata,
“Sedang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Barangsiapa
bermimpi melihatku, ia akan melihatku saat tidak tidur.’ Ulama berkata,
‘Itu terjadi di dunia, tanpa perdebatan, kendati di detik-detik akhir kematian,
bagi orang yang diperkenankan.”
Maliki melanjutkan, “Terkadang melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi di dunia dan itu terjadi pada orang-orang
sempurna dari kalangan kaum Mukminin dan orang-orang berhati bersih. Tentang
ciri, hati, dan ilmu mereka, Allah berfirman, ‘Seperti tempat lampu,
yang di dalamnya terdapat lampu’.”
Maliki melanjutkan, “Hati seperti itu layak melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat tidak tidur dan menyaksikan
hal-hal ghaib.”
Bisa jadi, ini semua prolog dan pengantar untuk memaksa
orang-orang awam menerima kesesatan dan kebohongan Maliki. Ia ingin menjadi
salah seorang yang berhati seperti itu. Ia klaim punya hati bersih dan iman
sempurna. Dan, itu membuatnya layak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam keadaan tidak tidur. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda dan berwasiat kepadanya, memberinya pesan khusus, dan hal-hal
lain yang terbayang di mata para pendusta.
Ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan cahaya pada
ayat di atas ialah cahaya Allah dan perumpamaan di dalamnya adalah perumpamaan
cahaya-Nya Yang Mahatinggi dan Mahasuci.
- 7.
Di halaman 183, Maliki menegaskan air Zamzam itu lebih baik dari air
telaga Al-Kautsar, karena Allah memilih air Zamzam pada malam Isra’ untuk
mencuci hati hamba yang dicintai-Nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
- 8.
Di halaman 201, Maliki menyatakan,
“Ketahuilah, apa saja yang mengarah kepada pengagungan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka siapa pun tidak boleh
mempermasalahkannya dan tidak boleh menuntut dalil khusus, karena itu kurang
ajar. Pujilah beliau sesukamu, tidak ada masalah.”
- 9.
Di halaman 202, Maliki berkata,
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diberi
keistimewaan khusus, yaitu nabi yang pertama kali diciptakan.”
Maliki melanjutkan, “Adam dan seluruh makhluk diciptakan
demi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Barangkali hadits yang
dimaksud Al-Maliki ialah hadits, “Seandainya tidak ada engkau, orbit-orbit
tidak diciptakan.” Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata di buku Silsilatu
Al-Ahadits Adh-Dhaifah wa Al-Maudhu’ah, “Hadits, ‘Seandainya tidak ada engkau,
orbit-orbit tidak diciptakan,’ itu palsu, seperti dikatakan
Ash-Shaghani di buku Al-Ahadits Adh-Dhaifah hal. 7. Sedang perkataan Syaikh
Al-Qari, hal. 67-68, ‘Tapi maknanya benar, karena ada hadits diriwayatkan
Ad-Dailami dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Jibril
datang kepadaku, lalu berkata, hai Muhammad, seandainya tidak ada engkau, dunia
tidak diciptakan. Seandainya tidak ada engkau, neraka tidak diciptakan.’ Di
riwayat Ibnu Asakir disebutkan, “Seandainya tidak ada engkau, dunia tidak
diciptakan.’ Saya katakan, memastikan kebenaran makna hadits ini tidak valid,
kecuali setelah ada kepastian kebenaran riwayat Ad-Dailami dan tidak ada
seorang pun yang membenarkannya. Kendati tidak tahu sanadnya, namun saya tidak
ragu untuk mengatakan hadits tersebut dhaif. Dalilnya, hadits tersebut hanya
diriwayatkan Ad-Dailami. Sedang riwayat Ibnu Asakir, maka juga diriwayatkan
Ibnu Al-Jauzi di hadits panjang dari Salman dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Hal ini ditegaskan As-Suyuthi di buku Al-La’ali’ (baca hal. 299-300).
Di buku Al-Fawaid Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, Asy-Syaukani berkata,
‘Hadits, Seandainya engkau tidak ada, orbit-orbit tidak dicipta-kan,’ itu palsu
menurut Ash-Shaghani’.”)
- 10.
Di halaman 205, Maliki berkata,
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kenabian
plus kekuasaan. Beliau juga diberi pengetahuan tentang segala hal, termasuk
tentang ruh dan lima hal yang disebutkan di ayat Al-Qur’an bahwa Allah di
sisi-Nya pengetahuan tentang kapan kiamat terjadi.”
- 11.
Di halaman 207, Maliki berkata,
“Nama-nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu bukan
buatan manusia, seperti nama-nama Allah.”
- 12.
Di halaman 222, Maliki berkata tentang keistimewaan-keistimewaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Beliau boleh memandang wanita bukan mahram, berduaan
dengannya, memboncengnya di kendaraan, nikah tanpa mahar, nikah tanpa wali dan
saksi, nikah saat sedang ihram, dan nikah tanpa restu si wanita. Jika beliau
ingin menikahi seorang wanita, orang lain haram melamar wanita tersebut,
kendati beliau baru sekedar menginginkannya. Jika beliau menginginkan wanita
bersuami, suami si wanita wajib mencerai istrinya tersebut untuk beliau
nikahi.”
- 13.
Di halaman 233, Maliki berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya otoritas
mengkavling lahan di surga.”
- 14.
Di halaman 226, Maliki berkata,
“Bayang-bayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
terletak di atas bumi. Bayang-bayangnya tidak ada di bawah sinar matahari atau
bulan, karena beliau adalah cahaya.”
- 15.
Di halaman 225, Maliki berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburan
beliau. Di dalamnya, beliau melakukan shalat seperti biasa dengan adzan dan
iqamat. Para nabi lain juga seperti itu. Membaca hadits-hadits beliau termasuk
ibadah yang menjanjikan pahala. Seseorang disunnahkan mandi dan memakai parfum
jika hendak membaca hadits-hadits.”
- 16.
Di halaman 228, Maliki berkata,
“Di antara keistimewaan putri beliau, Fathimah, ialah tidak
haid. Setelah melahirkan, ia langsung suci dari nifas sesaat setelah
persalinan, agar bisa shalat seperti biasa.”
Maliki melanjutkan, “Jika beliau tersenyum pada malam hari,
senyum beliau menerangi seluruh isi rumah.. Beliau boleh membaca Al-Qur’an
menurut maknanya saja.”
- 17.
Di halaman 248, Maliki berkata tentang raudhah di masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang-orang yang duduk-duduk
i’tikaf di sekitarnya.”
- 18.
Di halaman 249, Maliki berkata,
“Sebab pohon tempat diselenggarakannya Baiat Ar-Ridhwan
ditebang Umar bin Khaththab, karena manusia berbeda pendapat tentang lokasi dan
nama pohon tersebut. Umar bin Khaththab bertindak seperti itu agar Baiat
Ar-Ridhwan tidak dinisbatkan ke pohon tersebut.” Padahal sebenarnya bukan.
- 19.
Di halaman 259, Maliki berkata,
“Ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada di semua
tempat. Ruh beliau hadir di tempat-tempat kebaikan.”
Langkah Maliki ini tidak lain prolog untuk menegaskan
keyakinan kehadiran ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di acara Maulid.
Pembahasan lengkap masalah ini akan dimuat di counter atas kesesatan Maliki,
Insya Allah.
Inilah contoh isi buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah,
yang keluar dari kesepakatan ulama, ketakwaan, keshalihan, keyakinan yang benar
tentang Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa yang saya
nukil dari buku tersebut hanya sekedar bukti bahwa Maliki sesat, menyesatkan,
menyimpang dari jalan lurus Allah, mengikuti jejak orang sesat. Kesesatannya
tidak hanya itu saja. Jika kita ingin membongkar seluruh kemungkaran di
bukunya, kita temukan sebagian besar isi bukunya yang terdiri dari 354 itu
sarat dengan perkataan tidak etis, logikakampungan, keyakinan kacau, dan
ajakan kepada kesesatan. Saya memohon kepada Allah, agar Dia menyembuhkan
Maliki dari penyakit ujub dan sombong, serta kembali kepada lingkaran generasi
salafush shalih. Mereka dikaruniai keagungan, kesucian, kekuatan ibadah yang
luar biasa, dan kesempurnaan. Mereka memberi apa yang semestinya diberikan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu cinta, hormat, predikat
yang diridhai Allah dan diperintahkan beliau sendiri. Beliau bersabda, “Aku
hanyalah seorang hamba. Karena itu, katakan tentang aku, ‘Hamba Allah dan
Rasul-Nya’.”
Saya percaya Maliki punya otak cerdas, pemikirannya bagus,
dan sanggup mencari kiat meninggikan derajatnya di sisi Allah Ta’ala.
Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan kemarahan manusia, Allah meridhainya
dan ia diridhai manuia. Sebaliknya, barangsiapa mencari keridhaan manusia
dengan kemarahan Allah, maka Allah murka kepadanya dan manusia juga murka
kepadanya. Kita berdoa kepada Allah agar memberinya petunjuk, memperbaikinya,
menjauhkannya dari keburukan, membimbingnya untuk mengetahui hak murni Allah
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa berlebihan. Allah pemberi
petunjuk ke jalan lurus. Allah sudah cukup bagi kita dan Dia pelindung paling
baik.
PROLOG DAN AKAR MASALAH
Di Kata Pengantar telah dijelaskan bahwa kita menganggap
buku Maliki, Haula Al-Ihtifal bi Al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif,
tidak etis, sebab tidak dimulai dengan menyebut nama Allah Ta’ala dan shalawat
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maliki mengawali buku dengan
berkata, “Banyak perbincangan seputar peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.” Ia tidak mengawali bukunya dengan minta pertolongan kepada
Allah Ta’ala, tidak memuji-Nya, dan tidak bershalawat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam di Kata Pengantarnya, seperti lazimnya dilakukan
ulama shalih, bertakwa, dan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
benar, di permulaan buku-buku mereka. Sebab, hal ini perintah syar’i di setiap
urusan urgen. Jika urusan penting tidak dimulai dengan basmalah,
urusan tersebut hampa dari kebaikan. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Sudah
menjadi tradisi kuat di kalangan para imam, mengawali penulisan buku dengan
ucapan basmalah.”
Barangkali, Allah Ta’ala sengaja membuat Maliki seperti itu,
agar bukunya semakin kosong dari kebaikan. Kalimat keberkahan dan permintaan tolong
kepada Allah tidak layak dan terlalu mahal untuk dijadikan pembuka buku yang
menyerukan dihidupkannya bid’ah dan menyimpang dari jalan generasi salafush
shalih; generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Juga agar terbukti
buku tersebut tidak urgen di medan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta
penjelasan hukum Allah untuk hamba-hamba-Nya. Buku tersebut berisi seruan
menyuburkan bid’ah dalam agama, padahal Allah tidak mengizinkannya di Al-Qur’an
atau melalui lidah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maliki mengawali bukunya dengan berkata, “Banyak
perbincangan seputar perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan saya sama sekali tidak tertarik menulis tema ini. Sebab, yang saya dan kaum
Muslimin pikirkan lebih besar dari sekedar pembahasan perayaan Maulid.”
Kita ingin Maliki tidak menulis tema marginal seperti
ini, demi menjaga diri dan penanya, menurut pengakuannya sendiri, menghindarkan
kaum Muslimin dari terkecoh dengan kebatilan dan kerusakan, yang sudah
diketahui ulama. Lebih baik ia sibuk memikirkan problematika abad ini, yang
menjadi fokus perhatian kalangan ilmuwan kaum Muslimin.
Riba dengan beragam jenisnya merajalela. Trik makan harta
manusia secara ilegal (batil) memasyarakat. Sekte-sekte akidah
yang sesat dan menyesatkan serta jauh dari Allah Ta’ala merebak di mana-mana.
Gerakan Kristenisasi di negeri-negeri Islam semakin gencar. Kaum Muslimin
mendapat serangan pengkaburan makna Islam, prinsip, dan konsekwensinya, dari
musuh-musuh mereka. Dengan asumsi Maliki bergelar doktor, tentu ia sanggup
berkiprah dalam penanganan problem-problem ini, mengcounter tuduhan musuh-musuh
Islam, menulis hal-hal yang bermanfaat bagi seluruh kaum Muslimin. Jika itu ia
lakukan, kita menjadi saudara setianya, melindungi kapasitas ilmiah dan nama
besarnya, bangga dengannya, senang dengan upayanya menegakkan risalah Islam,
dan menempatkannya pada tempat ideal. Tragisnya, ia menyimpang dari jalan
lurus, sibuk dengan hal-hal yang membuatku harus mengcounter kebohongan dan
kesesatannya. Ia mengajak manusia kepada bid’ah, khurafat, membawa umat kepada
jahiliyah, melecehkan akal dan nurani yang diberikan Allah. Tidak ada daya dan
upaya kecuali dengan Allah. Tuhan kami, jangan sesatkan hati kami, setelah
Engkau memberi petunjuk kepada kami.
Di bukunya tanpa permulaan basmalah dan shalawat,
Maliki memaparkan tiga masalah yang ingin ia beri titik tekan, untuk
menjelaskan pendapatnya tentang perayaan Maulid, sebelum
mengetengahkan dalil-dalil yang membolehkannya. Saya ingin memberi catatan
untuknya di setiap masalah, sebelum mengcounter dalil-dalilnya, menjelaskan
kepalsuannya, dan seberapa jauh hubungannya dengan kebenaran.
Tentang masalah pertama, Maliki berkata, “Saya berpendapat
sah-sah (boleh) saja penyelenggaraan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan pujian tentang beliau, memberi
makanan, dan membahagiakan umat.”
Perkataan di atas menunjukkan Maliki berpendapat perayaan
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak disyariatkan. Sebab, jika
sesuatu disyariatkan, berarti sesuatu itu hukumnya wajib atau sunnah. Orang
yang mengerjakannya pun mendapat pahala, sedang orang yang tidak mengerjakannya
mendapat dosa. Jika kita mencermati lebih lanjut perkataan Maliki di bukunya
yang tanpa permulaan basmalah dan shalawat, atau di buku Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah, atau di buku-bukunya yang lain, lawatannya ke
tempat-tempat diselenggarakannya Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka
kita dapati Maliki berpendapat perayaan Maulid itu disyariatkan dan menguatkan
pendapat ini. Di masalah kedua, ada indikasi Maliki memandang perayaan Mauliditu
sunnah diselenggarakan bukan pada malam-malam tertentu. Di buku Adz-Dzakhair
Al-Muhammadiyah, ia berpendapat malam perayaan Maulid lebih baik daripada
Lailatul Qadar, saat turunnya Al-Qur’an dan malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Di halaman 25 buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, ia berkata,
“Jika kita katakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lahir pada suatu malam.
Mana yang lebih baik antara Lailatul Qadar dengan malam kelahiran beliau? Saya
jawab, malam kelahiran beliau lebih baik daripada Lailatul Qadar, karena tiga
alasan.
- Pertama,
malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu malam
kemunculan beliau. Sedang Lailatul Qadar malam anugerah kepada beliau.
- Kedua,
Lailatul Qadar istimewa karena turunnya para malaikat. Sedang malam
kelahiran beliau istimewa karena kemunculan beliau.
- Ketiga,
pihak yang mendapatkan kemuliaan pada Lailatul Qadar ialah umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedang pihak yang mendapatkan kemuliaan pada
malam kelahiran beliau adalah seluruh makhluk.”
Bisa saja Maliki berkata, yang saya maksud dengan kata boleh
ialah tidak dilarang, dan ini tidak berarti hanya sekedar dikonotasikan mubah.
Jika sesuatu tidak dilarang, maka bisa berarti diperintah, baik sifatnya wajib
atau sunnah. Dengan cara seperti itu, Maliki ingin menghilangkan kontroversi
dan membangun pendapatnya bahwa perayaan Maulid disyariatkan.
Jika ia berkata perayaan Maulid mubah, tidak wajib, dan tidak sunnah, kita
lihat ada kontroversi di ucapannya seperti sudah dijelaskan dan kita minta dia
menunjukkan dalilnya. Orang-orang yang merayakan perayaan Maulid dan Maliki
sendiri memandang perayaan Maulid yang mereka selenggarakan sebagai ibadah.
Padahal, ibadah harus berdasarkan dalil dan tidak ada ibadah tanpa syariat.
Jika ia mengatakan perayaan Maulid disyariatkan dan hukumnya sunnah atau wajib,
kita minta dia mengemukakan dalilnya dari Al-Qur’an, atau Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, baik sabda, atau perbuatan, atau ketetapan
beliau, atau perbuatan generasi sahabat yang sangat dekat dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, atau perbuatan orang-orang yang meriwayatkan
perbuatan para sahabat kepada kita. Jika Maliki mengklaim punya temuan-temuan
yang menegaskan legalitas perayaan Maulid dari dalil-dalil yang telah ia
sebutkan di bukunya, kita punya sikap jelas terhadapnya, bahkan lebih, di
setiap dalil yang ia sebutkan.
Tentang masalah kedua, Maliki berkata,
“Saya tidak mengatakan perayaan Maulid pada malam tertentu
itu sunnah. Barangsiapa meyakini hal ini, ia membuat bid’ah dalam agama. Karena
ingat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan cinta beliau wajib dilakukan setiap
saat dan beliau harus memenuhi jiwa raga setiap orang. Betul, bulan kelahiran
beliau membuat orang lebih termotivasi ingat beliau, karena manusia bisa
bertemu dengan antusias dan merasakan langsung keterikatan antara zaman. Mereka
ingat masa kini plus masa lalu dan orang yang hadir di perayaan Maulid
bercerita kepada orang yang tidak hadir.”
Masalah ini perlu kita koreksi dan beri beberapa catatan
Catatan Pertama:
Maliki tidak mengatakan perayaan Maulid pada malam tertentu
itu sunnah dan malah meyakininya bid’ah. Berarti, ia memvonis dirinya dan
pengikutnya pelaku bid’ah. Karena, mereka menyelenggarakan perayaan Maulid
selalu pada tanggal 12 Rabiul Awal di setiap tahunnya. Ini kekacauan lain
Maliki. Ia tahu pasti perayaan Maulid diselenggarakan pada malam kelahiran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seperti diketahui, kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak terjadi berkali-kali. Karena itu, perayaan Maulid
diselenggarakan pada malam tertentu. Beliau lahir malam Senin, tanggal 12
Rabiul Awal, menurut pendapat sebagian besar ulama. Jika perayaan Maulid tidak
diadakan pada malam tersebut, itu bukan perayaan Maulid. Maliki tahu betul hal
ini. Ia dan para pengikutnya secara rutin mengadakan perayaan Maulid pada malam
kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, 12 Rabiul Awal setiap tahun.
Ini kerancuan pola pikir sekaligus vonis terhadap Maliki sendiri dan para
pengikutnya bahwa mereka pelaku bid’ah, yaitu menyelenggarakan Maulid pada
malam tertentu.
Catatan Kedua:
Maliki menganggap sunnah penyelenggaraan Maulid tidak pada malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelumnya, kita minta dia mengetengahkan dalil-dalil yang menjelaskan kesunnahannya dari sumber-sumber valid dalam masalah ibadah yang esensinya tauqifiyah, bukan karena alasan baik dan bermanfaat. Kita juga berjanji mendiskusikan dalil-dalil yang ia kemukakan di bukunya, menyingkirkan kepalsuan dan kebatilannya.
Maliki menganggap sunnah penyelenggaraan Maulid tidak pada malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelumnya, kita minta dia mengetengahkan dalil-dalil yang menjelaskan kesunnahannya dari sumber-sumber valid dalam masalah ibadah yang esensinya tauqifiyah, bukan karena alasan baik dan bermanfaat. Kita juga berjanji mendiskusikan dalil-dalil yang ia kemukakan di bukunya, menyingkirkan kepalsuan dan kebatilannya.
Catatan Ketiga:
Maliki mengatakan ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam harus dilakukan setiap saat. Kita katakan kepadanya, Anda benar dalam
masalah ini. Betul, ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan
di semua kondisi, waktu, dan tempat. Kita ingat beliau ketika shalat, berdoa,
adzan, iqamat, awal dan akhir khutbah kita. Kita memperbanyak shalawat untuk
beliau tidak saja pada malam tertentu atau waktu tertentu. Kita ingat beliau,
bershalawat untuk beliau, memuji beliau sesuai dengan hak beliau dan kapasitas
beliau di sisi Allah, mencintai beliau melebihi cinta kita kepada diri kita
sendiri, harta, dan anak-anak kita. Kita lebih mencintai beliau dari apa saja
yang kita cintai.
Sedang cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika
yang dimaksud ialah mencintai seluruh perintah dan larangan beliau, serta tidak
beribadah kepada Allah kecuali seperti yang beliau syariatkan, maka itu wajib
dilakukan setiap Muslim. Jika yang dimaksud ialah cinta versi Maliki dan para
pengikutnya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya otiritas
memberi manfaat, madharat, tidak memberi dan memberi, serta hal-hal lain, yang
disebutkan di buku Al-Madaih An-Nabawiyah dan sebagiannya dijelaskan di
buku-buku Maliki, misalnya buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, dengan hati
enjoy, sikap berlebihan, dan menyetarakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan Allah dalam hal memegang kunci-kunci langit dan bumi, seperti
terlihat dengan jelas di buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, hal. 110, di
penjelasan shalawat Al-Fatih Al-Mughliq (pembuka dan penutup). Itu semua telah
saya sebutkan sebelumnya.
Jika itu semua adalah yang dimaksud dengan cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita anti mengamalkan hal-hal seperti
itu, bersaksi kepada Allah sekaligus meyakini orang yang cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti itu orang musyrik kepada Allah,
berakidah dengan selain konsekwensi kalimat laa ilaaha illallah,
syiriknya lebih besar dari syirik Abu Jahal, Abu Lahab, Ubai bin Khalaf, dan
pentolan-pentolan kaum musyrikin, yang menyembah tuhan lain bersama Allah.
Mereka saja tidak mengatakan tuhan mereka sejajar dengan Allah dalam hal
memegang kunci-kunci langit dan bumi, hak mengkavling lahan di surga, tahu
segala hal hingga ruh dan lima hal ghaib di ayat “Allah di sisi-Nya pengetahuan
tentang hari kiamat”, cahaya yang tidak punya bayangan di matahari dan bulan,
Adam dan seluruh makhluk diciptakan demi hal tersebut, seperti ditegaskan
Maliki di bukunya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadi-yah. Menurut Maliki, itu semua dan
hal-hal lain hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti disebutkan di
halaman sebelum ini. Untuk melegitimasi penyembahan selain Allah, orang-orang
musyrik berargumen, “Kami menyembah mereka dengan harapan mereka mendekatkan
kami kepada Allah.”
Maliki menyebutkan masalah ketiga, dengan berkata, “Masalah Ketiga, rangkaian pertemuan ini sarana terbesar dakwah ke jalan Allah dan kesempatan emas yang tidak boleh dibuang begitu saja. Dai harus mendorong umat ingat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak, etika, kondisi, sirah, muamalah, dan ibadah beliau.”
Maliki menyebutkan masalah ketiga, dengan berkata, “Masalah Ketiga, rangkaian pertemuan ini sarana terbesar dakwah ke jalan Allah dan kesempatan emas yang tidak boleh dibuang begitu saja. Dai harus mendorong umat ingat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak, etika, kondisi, sirah, muamalah, dan ibadah beliau.”
Maliki menambahkan, “Barangsiapa tidak mendapatkan hal itu,
ia gagal memperoleh kebaikan-kebaikan perayaan Maulid.”
Tanggapan kita terhadap perkataan di atas ialah dakwah ke
jalan Allah itu tidak dilakukan setahun sekali. Mendorong umat ingat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak, etika, kondisi, sirah, muama-lah, dan
ibadah beliau, juga tidak bersifat tahunan. Jika ingat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam hanya pada satu malam perayaan Maulid dalam setiap tahun, maka
itu kekacauan yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Jika Maliki dengan
lidahnya mengecam ke-mungkaran-kemungkaran di malam-malam perayaan Maulid, tapi
ia sendiri menghadirinya dan memberi dukungan dengan kehadiran-nya, maka kita
tegaskan, Maliki dengan lidahnya mengatakan sesuatu yang tidak dibenarkan
tindakannya dan tindakan para pengikutnya. Sungguh besar dosa di sisi Allah
mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan.
Jika Maliki jujur di perkataannya bahwa malam perayaan
Maulid momentum dakwah ke jalan Allah dan berakhlak dengan akhlak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mana hasilnya? Jika ia berkata perayaan
Maulid memandulkan potensi akal yang diberikan Allah kepada kita dan membuat
orang Mukmin tawanan ilusi. Andai ia memberi kita dalil kebenaran ucapannya,
dengan menyebutkan figur-figur penting dan terhormat dalam parameter sosial,
baik dari sisi wawasan umum, jabatan, kecerdasan intelektualitas, atau status
sosial. Figur-figur tersebut berpartisipasi dalam perayaan Maulid dan
mendanainya. Andai itu semua terjadi, kita katakan kepada Maliki, Anda benar.
Andai Maliki berkata, kaum laki-laki dan kaum perempuan
membaur menjadi satu di perayaan Maulid, syair dilantukan dengan diiringi
tabuhan rebana, dan berbagai minuman dihidangkan di dalamnya, terkadang
termasuk minuman haram, perayaan ini dihadiri semua lapisan orang, baik orang
baik-baik atau orang jahat, dan malam perayaan Maulid mirip acara ngrumpi di
tempat-tempat hiburan. Andai ia berkata seperti itu dan juga berkata Maulidnya
bersih dari sebagian yang ia sebutkan itu, kita katakan kepadanya bahwa hal itu
ada benarnya, karena di negeri kita ada masyarakat yang memang mewajibkan
hal-hal yang demikian.
Jika Maliki berkata, perayaan Maulid menjadi pemicu
perpecahan kaum Muslimin dan keyakinan mereka menjadi beragam menyikapi
kehadiran sosok penuh berkah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) di
pertemuan-pertemuan mereka, menurut versi mereka, lalu sosok tersebut menyuruh,
melarang, memvonis seseorang celaka atau bahagia. Hal ini punya andil besar
dalam rusaknya akal sebagian kaum Muslimin, terseretnya perasaan mereka kepada
kesesatan dan khurafat yang ditentang akal sehat dan perasaan bersih ulama
Islam. Juga punya saham besar dalam pecahnya kaum Muslimin menjadi banyak
kelompok, seperti disinyalir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat
Islam pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Semua kelompok masuk neraka,
kecuali satu kelompok, yang komitmen dengan manhaj Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan generasi sahabat. Banyaknya sekte, seperti Qadariyah,
Jahmiyah, Mu’tazilah, Syiah, dan tarikat-tarikat sufi, tidak lain refleksi
perpecahan kaum Muslimin dan hasil upaya penyesatan terhadap mereka oleh dakwah
seperti Maliki dan para pengikutnya. Dakwah Maliki memandulkan potensi wahyu,
akal, bahkan lebih suka membuat bid’ah.
Andai Maliki berkata seperti itu, kita katakan kepadanya,
Anda benar, sebab banyak sekali buktinya di dunia ini. Tidak ada daya dan
upaya, kecuali dengan Allah. Pendapat yang menyatakan sesuatu disyariatkan,
karena dianggap baik dan bermanfaat, itu perlu dikaji dengan cermat. Jika hal
itu hal-hal dunia dan manfaatnya lebih besar daripada madharatnya, maka legal
dan perlu diamalkan. Jika hal tersebut urusan akhirat dan ibadah, maka untuk
menyatakan disyariatkan harus berdasarkan wahyu. Jika kita punya dalilnya dari
Al-Qur’an, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau perbuatan
sahabat dan generasi tabi’in, yang merupakan generasi terbaik, maka kita
menerimanya, mengamalkannya, dan meyakininya sebagai hal yang disyariatkan,
baik dalam bentuk wajib atau sunnah. Sebaliknya, jika hal-hal yang diklaim
disyariatkan itu tidak punya landasan dalil dari Al-Qur’an, atau Sunnah, atau
perbuatan generasi sahabat yang ucapan dan tindakannya dapat dijadikan hujjah,
maka hal itu tertolak dan divonis bid’ah terma-suk pengamalannya, kendati
secara lahiriyah baik. Kalau betul itu baik, tentu sudah dikerjakan jauh-jauh
hari oleh generasi yang lebih cinta kebaikan daripada kita dan lebih jujur
cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kita. Yaitu
generasi salaf umat ini dan orang-orangnya yang shalih. Mereka generasi
sahabat, gene-rasi tabi’in, dan generasi tabi’ tabi’in. Sebelum kita
mendiskusikan klaim Maliki bahwa perayaan Maulid diperbolehkan, kita
memu-lainya terlebih dulu dengan menyebutkan keyakinan kita terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, kewajiban kita terhadap beliau, misalnya
mencintai dan menghormati beliau, dan apa yang perlu kita amalkan terkait
dengan beliau. Ini semua berdasarkan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada kita dan beliau mewanti-wanti kita untuk tidak bertindak
berlebihan, agar kita tidak seperti Ahlul Kitab. Mereka bersikap berlebihan
terhadap para nabi dan rasul mereka, hingga menjadikan para nabi dan rasul
sebagai Tuhan yang disembah bersama Allah. Allah Mahatinggi dari apa saja yang
diucapkan orang-orang zhalim.
Di Al-Qur’an, kita temukan banyak sekali ayat-ayat yang
menjelaskan jati diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala
berfirman, “Katakan, ‘Aku bukan rasul pertama di antara rasul-rasul dan
aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu.
Aku tidak lain hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain
hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan’.” (Al-Ahqaf: 9).
Allah Ta’ala berfirman, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya
yang menerangi.” (Al-Ahzab: 45-46).
Allah Ta’ala berfirman, “Mahasuci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid
Al-Aqsha.” (Al-Isra’: 1).
Allah Ta’ala berfirman, “Hai Rasul, sampaikan apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah:
67).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu hanyalah
pemberi peringatan dan bagi se-tiap kaum ada orang yang memberi
petunjuk.” (Ar-Ra’du: 7).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Sesungguhnya aku
ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa
sesungguhnya Tuhan kalian itu Tuhan Yang Esa’.” (Al-Kahfi: 110).
Allah Ta’ala berfirman,“Patutkah menjadi keheranan bagi
manusia bahwa Kami mew-ahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka,
‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa
mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka’.” (Yunus:
2).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku tidak
mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian
bahwa aku malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku’.”(Al-An’am:
50).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku tidak berkuasa
menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak madharat kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak ditimpa madharat. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang
beriman’.” (Al-A’raaf: 188).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Sesungguhnya aku tidak
kuasa mendatangkan sesuatu madharat kepada kalian dan tidak (pula) sesuatu
manfaat’.” (Al-Jin: 21).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu akan mati dan
sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Az-Zumar: 30).
Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (Ali
Imran: 144).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul
sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar.” (Al-Furqan: 20).
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.”
(An-Nisa’: 59).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus seseorang
rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa’: 64).
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mentaati Rasul,
sesungguhnya ia mentaati Allah.” (An-Nisa’: 80).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepada
kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan
kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Muk-min.” (At-Taubah: 128).
Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepada
kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkan.”
(Al-Hasyr: 7).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, ‘Kami
sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi
untuk kami. Atau kamu punya kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan
sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit
berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah
dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah
rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan
mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang
kami baca.’ Katakan, ‘Mahasuci Tuhanku, aku hanyalah manusia yang menjadi
rasul’.” (Al-Isra’: 90-93).
Ayat-ayat di atas, puluhan ayat lainnya, bahkan ratusan
lainnya menegaskan sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, model risalah
beliau, statusnya dengan Allah yaitu sebagai rasul-Nya, tugas beliau bukan
menguasai manusia, beliau tidak tahu seluk beluk hal ghaib, tidak punya
otoritas memberi manfaat atau madharat kecuali dikehendaki Allah, makan
makanan, berjalan di pasar, bukan rasul pertama, tidak tahu apa yang diperbuat
terhadap beliau sendiri dan kita selaku umat beliau, manusia seperti biasa yang
diutus Allah kepada kita sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi ancaman,
dai ke jalan-Nya atas ijin-Nya, lampu penerang, prihatin dengan kondisi kita,
peduli dengan kita, mengasihi orang-orang Mukmin, hamba dan Rasul Allah yang
punya watak-watak kemanusiaan seperti pada manusia umumnya.
Kendati Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku hanyalah
seorang manusia seperti kalian’.” (Fush-shilat: 6).
Tapi, beliau dijaga (maksum) dari hal-hal yang tidak
dicintai dan tidak diridhai Allah. Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi
beliau dalam mengenal Allah. Beliau punya kedudukan khusus di sisi Allah,
telaga, dan sejumlah keistimewaan dari-Nya. Kendati punya seabrek keistimewaan,
kapasitas beliau tidak sampai pada taraf rububiyah dan uluhiyah, misalnya hak
tidak memberi, memberi, memberi manfaat atau madharat, berkuasa penuh,
menciptakan, mengatur, memonopoli semua keagungan dan kesucian, serta
satu-satunya pihak yang disembah dengan segala bentuk, kondisi, jenis, dan
tingkatan ibadah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tahu
kapasitas beliau terhadap Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma bahwa seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.
“Apa yang dikehendaki Allah dan apa yang engkau
kehendaki.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا؟ بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ.
“Engkau menjadikanku pesaing Allah? Katakan, ‘Apa yang
dikehendaki Allah saja’.” (Diriwayatkan An-Nasai, dengan disha-hihkan Ibnu
Majah, Ibnu Mardawih, dan lain-lain).
Di Shahih Al-Bukhari, disebutkan hadits dari Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu, yang berkata,
شَجَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ،
وَكَسَرْتُ رُبَاعِيَّتَهُ، فَقَالَ: كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوْا
نَبِيَّهُمْ. فَنَزَلَتْ (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ).
“Pada Perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam terluka dan gigi tengah antara taring dengan gigi seri patah. Beliau
bersabda, ‘Apakah kaum yang melukai nabi mereka itu bisa bahagia?’ Lalu,
turunlah ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’.”(Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Di Shahih Al-Bukhari juga disebutkan hadits dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berkata,
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ
أُنْزِلَ عَلَيْهِ (وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ). فَقَالَ: يَا
مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا، اِشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ
أُغْنِيْ عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا. يَا عَبَّاسَ ابْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ
لاَ أُغْنِيْ عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةَ عَمَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ أُغْنِيْ عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا. وَيَا
فَاطِمَةَ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَلِيْنِيْ مِنْ مَالِيْ مَا شِئْتِ، لاَ أُغْنِيْ
عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا.
“Ketika turun ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara’: 214). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Hai orang-orang Quraisy, atau kalimat lain, belilah diri
kalian. Aku tidak sanggup membela kalian sedikit pun di sisi Allah. Hai Abbas
bin Abdul Muththalib, aku tidak dapat membelamu sedikit pun di sisi Allah. Hai
Shafiyah, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari jalur ayah, aku
tidak mampu membelamu sedikit pun di sisi Allah. Hai Fathimah binti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, mintalah kepadaku harta kekayaan sesukamu, aku
tidak bisa membelamu sedikit pun di sisi Allah’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits
dari Ibnu Al-Musayyib dari ayahnya yang berkata,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِيْ أُمَيَّةِ
وَأَبُوْ جَهْلٍ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ كَلِمَةٌ
أُحَاجُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
الْمُطَلِّبْ؟ فَأَعَادَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَعَادَ، فَكَانَ آخِرُ مَا قَالَ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ
وَأَبَى أَنْ يَقُوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ. فَأَنْزَلَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنَوُا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أُوْلِيْ قُرْبَى)، وَأَنْزَلَ
فِيْ أَبِيْ طَالِبٍ (إِنَّكَ لاَ تَهْدِيْ مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ
يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ).
“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, ia didatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, di samping Abu Thalib ada
Abdullah bin Abu Umaiyah dan Abu Jahal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepada Abu Thalib, ‘Paman, ucapkan laa ilaaha illallah (tidak ada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).’ Dengan kalimat ini, aku dapat
membelamu di sisi Allah.’ Abdullah bin Abu Umaiyah dan Abu Jahal berkata kepada
Abu Thalib, ‘Apakah engkau benci agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang kembali sabdanya kepada Abu Thalib dan
hal yang sama dilakukan Abdullah bin Abu Umaiyah bersama Abu Jahal. Ucapan
terakhir Abu Thalib ialah ia mengikuti agama Abdul Muththalib dan tidak mau
mengatakan laa ilaaha illallah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Aku pasti akan memintakan ampunan untukmu, selagi tidak dilarang.’
Lalu, Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‘Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya).’ (At-Taubah:
113). Tentang Abu Thalib, Allah menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.’ (Al-Qashash: 56).” (Diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim).
Di Sunan Abu Dawud, disebutkan dengan sanad yang baik
hadits dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir radhiallahu ‘anhu, yang berkata,
اِنْطَلَقْتُ فِيْ وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ: اَلسَّيِّدُ
اَللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. فَقُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا
طُوْلاً. فَقَالَ: قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ
يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersama delegasi Bani Amir. Kami katakan kepada beliau, ‘Engkau penguasa kami.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Penguasa itu Allah Yang
Mahamulia dan Maha-tinggi.’ Kami katakan kepada beliau, ‘Engkau orang paling
utama dan paling agung.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Ucapkan perkataan kalian, atau sebagian perkataan kalian. Setan jangan sampai
menjadikan kalian sebagai wakilnya’.” (Diriwayatkan Abu Dawud).
Di Sunan An-Nasai, disebutkan hadits dengan sanad yang
bagus dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang berkata,
أَنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ يَا خَيْرَنَا وَابْنَ
خَيْرِنَا وَسَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا. فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ. أَنَا مُحَمَّدٌ،
عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي
الِّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang terbaik
kami, anak orang terbaik kami, penguasa kami dan anak penguasa kami.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai manusia, berkatalah
secara wajar dan jangan sampai setan menjerumuskan kalian. Aku Muhammad. Aku
hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas
kedudukan yang diberikan Allah Ta’ala kepadaku’.” (Diriwayatkan An-Nasai).
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits yang sanadnya sampai
kepada Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu yang berkata,
كَانَ فِيْ زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِيْنَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: قُوْمُوْا بِنَا
نَسْتَغِيْثُ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا
الْمُنَافِقِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ لاَ
يُسْتَغَاثُ بِيْ وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
“Pada jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada seorang
munafik yang kerjanya selalu mengganggu kaum Mukminin. Sebagian kaum Mukminin
berkata, ‘Mari kita minta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dari ulah orang munafik ini.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Tidak boleh minta pertolongan kepadaku. Sesungguhnya minta
pertolongan itu kepada Allah Ta’ala’.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani).
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits
dari Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا
أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, seperti
halnya orang-orang Nashrani yang menyanjung Isa bin Maryam secara berlebihan.
Aku hanya seorang hamba. Karena itu, kata-kan tentang aku, ‘Hamba Allah dan
Rasul-Nya’. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ
الْغُلُوُّ.
“Tinggalkan sikap berlebihan, karena orang-orang sebelum
kalian hancur binasa karena sikap berlebihan.” (Diriwayatkan Muslim,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ.
“Orang-orang yang memuji berlebihan itu hancur binasa.”
(Diriwayatkan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda seperti
itu hingga tiga kali.
Di Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah menyebutkan hadits, yang
sanadnya sampai pada Abu Mas’ud yang berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَكَلَّمَهُ
فَجَعَلَ تَرْعَدُ فَرَائِصُهُ، فَقَالَ لَهُ: هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنِّيْ لَسْتُ
بِمَلِكٍ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ.
“Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu bicara dengan beliau, hingga ia gemetaran. Beliau bersabda,
‘Tenangkanlah dirimu. Aku bukan raja dan aku hanya anak dari seorang wanita
yang makan dendeng’.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).
Hadits-hadits shahih dan tegas ini semuanya menunjukkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serius menjaga tauhid dan minta umat
menempatkan beliau pada posisi yang diberikan Allah kepada beliau, tanpa
berlebihan dan kurang memenuhi hak. Ucapkan seluruh perkataan kalian atau
sebagiannya. Dengan syarat, setan jangan sampai menjadikan kalian sebagai
wakilnya. Mahabenar Allah. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
amat peduli dan menyayangi kita.
Sedang status Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di
hati kita selaku umat beliau, maka harus dibangun berdasarkan dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara
dalil-dalil tersebut ialah sebagai berikut.
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mentaati Rasul,
sesungguhnya ia mentaati Allah.” (An-Nisa’: 80).
Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul
kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka
tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Ali Imran: 31).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kalian
usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan rugi, dan rumah-rumah tempat tinggal
yang kalian sukai, itu lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’.” (At-Taubah:
24).
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits
dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
“Setiap orang dari kalian tidak beriman hingga aku
menjadi orang yang paling ia cintai daripada anak dan ayahnya, serta seluruh
manusia.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan
hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ،
أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ
فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقِيَ
فِيَ النَّارِ.
“Ada tiga hal dan barangsiapa ketiga hal tersebut ada
pada dirinya maka ia merasakan manisnya iman. Yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih
ia cintai daripada selain keduanya, ia mencintai orang lain hanya karena Allah,
dan ia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya,
seperti halnya ia tidak suka dijebloskan ke neraka.” (Diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا
جِئْتُ بِهِ.
“Setiap dari kalian tidak beriman, hingga hawa nafsunya
meng-ikuti apa yang aku bawa.”
Tentang hadits di atas, An-Nawawi berkata, “Hadits ini
shahih. Kami meriwayatkannya di Kitab Al-Hujjah, dengan sanad shahih.”
Bershalawat dan kirim salam kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam membuahkan pahala besar sekaligus mengamalkan firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkan salam
penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).
Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau bersabda,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.
“Orang pelit ialah orang yang namaku disebutkan di
sampingnya, namun ia tidak bershalawat untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا.
“Barangsiapa bershalawat untukku sekali saja, Allah
bershalawat untuknya sepuluh kali.”
Di hadits Jibril, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ،
قُلْ آمِيْنَ، فَقُلْتُ آمِيْنَ.
“Merugilah orang yang namamu diucapkan di sampingnya
namun ia tidak bershalawat untukmu, katakan, ‘Amiin,’ maka aku ber-kata,
‘Amiin’.”
Bershalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
termasuk rukun shalat. Barangsiapa tidak melakukannya dengan sengaja, shalatnya
batal. Barangsiapa tidak melakukannya karena lupa, shalatnya tidak sah, hingga
ia bershalawat. Shalawat juga termasuk rukun khutbah shalat Jum’at.
Mendoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau
memperoleh Al-Wasilah dan kedudukan tinggi yang tidak dijatahkan kepada selain
beliau, setelah adzan disunnahkan dan menjanjikan pahala besar.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunaikan risalah Allah, dengan sangat
sempurna dan optimal. Beliau meninggalkan umat beliau di atas jalan bersih di
mana malamnya seperti siangnya. Barangsiapa menyimpang darinya, ia hancur
binasa. Beliau menjalankan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan Allah
dengan jihad sebenarnya. Diriku, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, orang
Mukmin tidak sempurna imannya, hingga beliau menjadi figur yang paling ia
cintai dari-pada diri, harta, keluarga, dan seluruh manusia. Apa arti cinta di
sini?
Kita mencintai kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Kita berhasrat menemani beliau dan kerja sama dengan generasi sahabat
dalam mengikuti jejak-jejak beliau, mendengar hadits beliau, hadir di majelis
beliau, dan berinteraksi dengan beliau. Sungguh jauh keinginan itu tercapai.
Ada jarak cukup jauh antara kita dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Untuk membuktikan klaim kita mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kita harus berpegang teguh dengan Sunnah, baik dalam perkataan,
perbuatan, saat belajar dan mengajar, menyuruh orang komitmen dengannya, atau
melarang orang dari berpaling darinya. Juga meneladani akhlak dan etika beliau,
membela Sun-nah, serta mencampakkan apa saja yang tidak termasuk Sunnah,
misalnya bid’ah dan khurafat, kendati secara sekilas terlihat indah dan masuk
akal.
Kita menentang keras segala bentuk bid’ah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berharap umat mengikuti beliau dan
membuang jauh-jauh bid’ah.
Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Aisyah
radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa membuat hal-hal baru di urusan (agama) kami,
padahal tidak termasuk bagiannya, maka tertolak.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Di riwayat lain, disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami
perintah-kan, maka tertolak.”
Di Sunan An-Nasai dan Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits
dari Al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu yang berkata,
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً
وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kami
dengan nasihat yang membuat hati kami takut dan mata mencucurkan air mata. Kami
berkata, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir orang yang akan
pergi. Beri kami nasihat.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku
wasiatkan kalian, hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, mende-ngar, dan taat,
kendati kalian dipimpin budak. Siapa saja di antara kalian yang diberi umur
panjang, ia akan melihat banyak sekali pertentangan. Karena itu, hendaklah
kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang
mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat.
Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat’.”(Diriwayatkan
An-Nasai dan At-Tirmidzi).
Membuat bid’ah dalam agama secara otomatis menuduh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak serius menyampaikan risalah,
menasihati umat, dan menunaikan amanah, karena beliau tidak menyampai-kan
hal-hal yang dianggap baik ini kepada umat. Pada dekade belakangan, datanglah
gerombolan orang, seperti Rafidhah, Qaramithah, sufi, dan dajjal-dajjal lain.
Tentang bid’ah, mereka berkata, “Ini baik dan masuk akal. Ini dimaksudkan untuk
mencintai Allah dan Rasulullah.” Dan hal-hal yang sekilas terlihat manis di
mulut. Mereka mengklaim manusia paling jujur yang mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat yang sama, mereka menuduh-kan sesuatu
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau bersih dari
tuduhan mereka.
Seluruh kebaikan telah dijelaskan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada umat. Beliau mewanti-wanti umat dari keburukan. Andai
bid’ah ini betul-betul baik, tentu disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada umat dan lebih dulu dikerjakan generasi paling serius
meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, paling bertakwa kepada
Allah, paling suci hatinya, paling bersih nuraninya, dan paling dalam imannya.
Mereka sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in, dan
tabi’ tabi’in.
Kita concern menolak bid’ah, berpijak dari keimanan kita
kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagai nabi dan rasul. Juga merupakan buah kejujuran cinta kami
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cinta yang membersihkan beliau
dari tuduhan tidak serius menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan
menasihati umat. Cinta yang menuntut kami berpegang teguh pada manhaj
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj generasi sahabat. Cinta yang
mengharuskan kami menempatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
posisi ideal yang diberikan Allah kepada beliau. Cinta yang menghendaki kami
beribadah kepada Allah seperti yang disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ibadah dengan cara mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, pengagungan,
dan bersandar secara sempurna kepada-Nya, berdasarkan arahan yang diberikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami. Cinta yang mendorong kami
berpegang teguh pada Sunnah beliau, baik dalam perkataan, perbuatan, dan keputusan.
Cinta yang menuntut kami mencampakkan apa saja yang tidak termasuk Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu bid’ah dalam agama dan tidak
pernah beliau perintahkan. Cinta yang mengharuskan kami menjadikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok panutan dan teladan ideal dalam
semua perkataan, perbuatan, akhlak, etika, dan cara berinteraksi dengan Allah.
Cinta yang mewajibkan kami mengkategorikan bid’ah sebagai tindakan pelecehan
terhadap agama dan pertanda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
menjelaskan kebaikan kepada umat dengan serius. Beliau sama sekali tidak
seperti itu.
Karena didasari cinta ini pula, kami tidak segan-segan
“menusuk” siapa saja yang menuduh risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam cacat dan tidak sempurna. Mereka menciptakan hal-hal yang dipandang
baik dan diterima manusia.
Kami bahagia, gembira, dan hati kami berbunga-bunga, saat
mendengar informasi Muhammad Alawi Maliki berhasil meraih gelar doktoral. Kami
berharap ijazahnya menjadi pelita yang menyinarinya di jalan dakwah ke jalan
Allah, seperti harapan nenek moyangnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, jika penasaban dirinya kepada beliau itu benar. Kalau asumsi ini
benar, ia orang yang paling dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, paling layak membela Sunnah beliau dan mementahkan tuduhan yang mencoreng
beliau dalam pe-nyampaian risalah, penunaian amanah, dan nasihatnya terhadap
umat. Jika sang tokoh, Muhammad Alawi Maliki, mengklaim itu semua saat mengisi
kajian dan menulis buku, sungguh klaimnya tidak benar. Ia menyamakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Allah di rubu-biyah dan uluhiyah-Nya. Ia
menegaskan disyariatkannya bid’ah, yang tidak pernah ada pada jaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, jaman sahabat, dan jaman tabi’in. Ia mengakui
bid’ah itu baik, mulia, dan berpahala. Dengan sikap seperti itu, dia berada di
antara dua hal dan kedua hal ini buruk serta yang paling manis di antara
keduanya justru paling pahit.
Pertama, ia meyakini kebenaran
perkataannya. Ini berarti ia “mempermasalahkan” kesempurnaan risalah Islam dan
secara tegas menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalai ketika
menyampaikan risalah. Buktinya, beliau tidak menjelaskan kebaikan, pahala, dan
manfaat seluruh bid’ah ini, menurutnya, kepada umat.
Kedua, sang tokoh berkata tidak benar
tentang dirinya. Tujuannya tidak lebih dari ambisi jabatan, popularitas,
jabatan, klaim punya kekuasaan dan pengetahuan, untuk menyesatkan manusia, dan
mengacaukan mereka dengan kebatilan. Dengan kebatilan itu, ia keluar menemui
manusia dengan mengenakan baju kebesaran wali yang tahu seluruh rahasia alam
semesta beserta segala ciri khasnya. Imbalannya, mereka mencium tangannya,
membungkukkan badan kepadanya, minta keber-kahan di pakaian dan jejaknya. Ini
persis seperti yang kita lihat dan dengar secara riil pada orang ini. Tujuan
dan orientasi ini sungguh jahat. Kelak, Allah yang menghisabnya. Tidak ada daya
dan upaya, kecuali dengan Allah.
Setelah Kata Pengantar ini yang berisi penjelasan tentang
keyakinan kita terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan motif mengkritik
sepak terjang sang tokoh dalam mempropagandakan bid’ah dan membuka pintu-pintu
jahiliyah pada umat ini. Kami berbuat seperti ini karena kejujuran cinta kami
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti beliau dengan benar,
meneladani Sunnah beliau dengan niat bersih, konsekwensi keimanan kami akan
keesaan Allah dalam uluhiyah, rububiyah, kesempurnaan Dzat dan sifat-Nya. Ia
Maha-pertama dan Mahaakhir. Mahazhahir dan Mahabatin. Menahan pemberian dan
memberi. Memberi manfaat dan madharat. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah,
maka tidak ada menye-satkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada
yang mampu memberinya petunjuk. Hanya Dia yang sanggup menda-tangkan kebaikan.
Hanya Dia yang bisa menghilangkan kebu-rukan. Dia menyempurnakan agama dengan
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menganugerahkan nikmat kepada
kita, dan meridhai Islam sebagai agama kita.
Setelah Kata Pengantar ini, sekarang kita masuk bersama
Al-Maliki untuk mendiskusikan dalil-dalilnya yang menyatakan Maulid
diperbolehkan, mengcounter dalil-dalilnya, menjelaskan kepalsuan dan seberapa
jauhnya dari inti dalil. Allah tempat minta pertolongan.
insya Allah bersambung.
sumber : www.alsofwah.com
Maktabah Online Abu Namira : https://abunamira.wordpress.com
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
BalasHapus