10 Faedah Tentang Qowa'id Fiqhiyyah
BILA KAIDAH MELAWAN DALIL
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahulloh pernah mengatakan sebuah ucapan yang patut dicata dengan tinta emas :
Apabila kita membuat suatu kaidah lalu kita katakan : "Inilah patokannya" kemudian kita menolak sunnah Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam apabila bertentangan dengan kaidah yang kita buat tersebut. Sungguh jika kita menolak seribu kaidah yang tidak diajarkan Alloh azza wa jalla dan Rosul-Nya adalah lebih baik daripada menolak satu hadits!!." (I'lam Muwaqqi'in 4/172)
FIQIH KEMUDAHAN
Sesungguhnya syari'at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syafi'i rahimahulloh mengatakan :
"Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti." (al-Muwafaqot, 1/231)
Namun, perlu diperhatikan bahwa maksud kaidah ini bukan berarti kita menyepelekan sebagian syari'at Islam dan mencari-cari ketergelinciran atau pendapat lemah sebagian ulama agar sesuai dengan hawa nafsu kita! Zaman dahulu sebagian ulama mengatakan : "Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan." (Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/91-92). Wallohul musta'an.
KEMBALIKAN KEPADA 'URF (KEBIASAAN MANUSIA)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata : " Setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syari'at maka dikembalikan kepada 'urf."
Oleh karenya, jarak yang dianggap manusia bahwa hal itu adalah safar, maka itulah safar yang dimaksud syari'at. (Majmu' Fatawa 24/40-41)
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, seperti jarak safar, batas lamanya haid, ukuran gerakan terlarang dalam sholat dan lain sebagainya.
KAPAN RAGU-RAGU DIABAIKAN
Ragu-ragu diabaikan dalam tiga keadaan :
1. Apabila ragu hadir setelah melakukan ibadah
2. Apabila sering sekali ragu-ragu /was-was)
3. Apabila sekedar wahm (ragu-ragu kecil/sedikit)
Tiga keadaan ini telah dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahulloh dalam Mandhumah Ushul Fiqih-nya hal 153
Dan ragu-ragu usai ibadah tidak berpengaruh
Demikian juga apabila banyak ragu
Atau hanya sedikit ragu seperti was-was
Maka tinggalkan segala was-was setan
ANTARA MASLAHAT DAN MADHOROT
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata : " Apabila seseorang merasa kesulitan tentang hukum suatu hal, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada kerusakan dan hasil yang ditimbulkannya. Apabila sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari'at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh dan RasulNya, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya." (Madarijus Salikin 1/496)
BILA IBADAH MEMILIKI BEBERAPA SIFAT
Suatu ibadah apabila memiliki beberapa sifat (macam) seperti sifat do'a iftitah, adzan, sholawat ketika tasyahud dan lain-lain, maka ada tiga kemungkinan :
1. Kita menggabung seluruh sifat yang ada
2. Kita melakukan sebagian sifat dan kadang-kadang sifat lainnya
3. Kita hanya memilih satu sifat saja
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimyyah rahimahulloh dalam Majmu fatawa 22/355 dan Qowa'id Fiqhiyyah Nuroniyyah hal 19, dan Ibnul Qoyyim Jala'ul Afham hal 453
Dan cara alternatif ini yaitu melakukan satu sifat dan kadang lagi sifat lainnya, memiliki beberapa faedah yang cukup banyak :
1. Menjaga sunnah Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam dan menyebarkan di antara manusia.
2. Mempermudah seseorang, sebab sebagian sifat kadang lebih ringan daripada sifat lainnya.
3. Lebih menghadirkan hati
4. Tidak membosankan
5. Mengamalkan syari'at dengan semua sifatnya
6. Menjalin persatuan hati
7. Menunjukkan keadilan dan lain-lain
(Syarh Mumti' Ibnu Utsaimin 2/56, Ta'liqot Syaikhhina Sami Muhammad ala Bulughul marom no 305)
MACAM-MACAM LAFADZ
Lafadz-lafadz dalam ibadah dan muamalat itu terbagi menjadi tiga macam :
Pertama : Lafadz dan maknanya dianggap, yaitu al-Qur'an tidak boleh diganti dengan bahasa lainnya
Kedua : Maknanya dianggap tetapi lafadznya tidak seperti lafadz-lafadz dalam akad dan muamalat. Maka setiap lafadz yang menunjukkan arti jual beli, pernikahan dan lain sebagainya maka itu sudah sah, sekalipun tidak berbahasa Arab.
Ketiga : Lafadznya dianggap bila mampu, adapun kalau tidak mampu maka gugur, seperti khutbah Jum'at, do'a dan lain sebagainya. (Tahrirul Qowaid Ibnu Rojab 1/164
JIKA DIIZINKAN, MAKA TIDAK MENANGGUNG AKIBATNYA
Apa yang terjadi karena sesuatu yang diizinkan, maka tidak perlu menanggungnya.
Contoh penerapan kaidah :
1. Dalam hal berhubungan syari'at : dibolehkannya orang yang sedang sholat menghalangi orang yang akan lewat di depannya, jika orang yang akan lewat ternyata luka atau sampai meninggal dunia, maka orang yang menghalangi tidak ada tanggungan
2. Dalam hal yang berhubungan dengan urusan sesama manusia : pemilik rumah mengizinkan pekerjanya untuk meruntuhkan tembok tertentu, lalu tembok sampingnya ikut hancur, maka si pekerja tidak menanggung
Contoh lainnya, kalau ada seorang dokter berusaha semaksimal mungkin [1] mengobati pasien, ternyata sakit pasien bertambah parah maka dokter tersebut tidak menanggung akibatnya.
Contoh lainnya, seorang pegawai menggunakan peralatan kerja untuk urusan pekerjaannya, lalu terjadi kerusakan, maka dia tidak menanggung akibatnya. Wallohu'alam
KADANG BISA LEBIH UNGGUL
Kadang-kadang suatu amalan yang kurang afdhol bisa mengungguli amalan yang afdhol
Hal ini karena beberapa sebab, diantaranya :
1. Apabila amalan kurang afdhol itu diperintahkan dalam waktu tertentu. Seperti membaca al-Qur'an dan menjawab adzan ketika dikumandangkan. Pada asalnya membaca al-Qur'an lebih utama namun menjawab adzan saat itu lebih utama karena akan terlewatkan.
2. Apabila amalan yang kurang afdhol tadi mengandung kemaslahatan yang tidak ada dalam amalan yang afdhol, seperti untuk kemaslahatan persatuan hati
3. Apabila dalam amalan yang kurang afdhol tadi lebih khusyu' bagi hati, sebagaimana ucapan Imam ahmad bin Hanbal rahimahulloh tatkala ditanya tentang sebagian amalan : "Lihatlah apa yang lebih khusyu'/ tenang bagi hatimu maka lakukanlah."
(Lihat al-Qowa'id al-Fiqhiyyah, Abdurrohman as-Sa'di hal 22)
KAPAN BOLEH DIUNDI
Undian memang cara yang diperbolehkan dalam syari'at islam berdasarkan al-Qur'an [2] hadits dan perbuatan sahabat. (ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Ibnul Qoyyim 2/743)
Namun kapankah undian ini dilakukan? Jawabannya : Ketika masing-masing kedua belah pihak memiliki hak yang sama dan tidak ada penguat yang dimiliki oleh salah satunya. Contoh, apabila ada dua orang yang ingin maju untuk menjadi imam sholat atau adzan dan keduanya memiliki sifat yang sama tanpa ada keunggulan salah satu dari keduanya, maka di sini disyari'atkan untuk diundi.
{Diambil dari Majalah Al Furqon, Edisi 9 Th ke &, 1429/ 2008}
-----------------------------------------------
foot note :
[1] Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa orang yang diizinkan tersebut disyariatkan bukan orang yang menyepelekan atau melakukan perkara yang tidak boleh baginya.
[2] Lihat QS Ali Imron : 44 dan ash-Shohihah : 139-141
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=251201724903673&set=at.251201591570353.70976.100000415433443.100000807720689&type=1&theater
BILA KAIDAH MELAWAN DALIL
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahulloh pernah mengatakan sebuah ucapan yang patut dicata dengan tinta emas :
Apabila kita membuat suatu kaidah lalu kita katakan : "Inilah patokannya" kemudian kita menolak sunnah Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam apabila bertentangan dengan kaidah yang kita buat tersebut. Sungguh jika kita menolak seribu kaidah yang tidak diajarkan Alloh azza wa jalla dan Rosul-Nya adalah lebih baik daripada menolak satu hadits!!." (I'lam Muwaqqi'in 4/172)
FIQIH KEMUDAHAN
Sesungguhnya syari'at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syafi'i rahimahulloh mengatakan :
"Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti." (al-Muwafaqot, 1/231)
Namun, perlu diperhatikan bahwa maksud kaidah ini bukan berarti kita menyepelekan sebagian syari'at Islam dan mencari-cari ketergelinciran atau pendapat lemah sebagian ulama agar sesuai dengan hawa nafsu kita! Zaman dahulu sebagian ulama mengatakan : "Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan." (Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi Ibnu Abdil Barr 2/91-92). Wallohul musta'an.
KEMBALIKAN KEPADA 'URF (KEBIASAAN MANUSIA)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata : " Setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syari'at maka dikembalikan kepada 'urf."
Oleh karenya, jarak yang dianggap manusia bahwa hal itu adalah safar, maka itulah safar yang dimaksud syari'at. (Majmu' Fatawa 24/40-41)
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, seperti jarak safar, batas lamanya haid, ukuran gerakan terlarang dalam sholat dan lain sebagainya.
KAPAN RAGU-RAGU DIABAIKAN
Ragu-ragu diabaikan dalam tiga keadaan :
1. Apabila ragu hadir setelah melakukan ibadah
2. Apabila sering sekali ragu-ragu /was-was)
3. Apabila sekedar wahm (ragu-ragu kecil/sedikit)
Tiga keadaan ini telah dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahulloh dalam Mandhumah Ushul Fiqih-nya hal 153
Dan ragu-ragu usai ibadah tidak berpengaruh
Demikian juga apabila banyak ragu
Atau hanya sedikit ragu seperti was-was
Maka tinggalkan segala was-was setan
ANTARA MASLAHAT DAN MADHOROT
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata : " Apabila seseorang merasa kesulitan tentang hukum suatu hal, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada kerusakan dan hasil yang ditimbulkannya. Apabila sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari'at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh dan RasulNya, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya." (Madarijus Salikin 1/496)
BILA IBADAH MEMILIKI BEBERAPA SIFAT
Suatu ibadah apabila memiliki beberapa sifat (macam) seperti sifat do'a iftitah, adzan, sholawat ketika tasyahud dan lain-lain, maka ada tiga kemungkinan :
1. Kita menggabung seluruh sifat yang ada
2. Kita melakukan sebagian sifat dan kadang-kadang sifat lainnya
3. Kita hanya memilih satu sifat saja
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimyyah rahimahulloh dalam Majmu fatawa 22/355 dan Qowa'id Fiqhiyyah Nuroniyyah hal 19, dan Ibnul Qoyyim Jala'ul Afham hal 453
Dan cara alternatif ini yaitu melakukan satu sifat dan kadang lagi sifat lainnya, memiliki beberapa faedah yang cukup banyak :
1. Menjaga sunnah Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam dan menyebarkan di antara manusia.
2. Mempermudah seseorang, sebab sebagian sifat kadang lebih ringan daripada sifat lainnya.
3. Lebih menghadirkan hati
4. Tidak membosankan
5. Mengamalkan syari'at dengan semua sifatnya
6. Menjalin persatuan hati
7. Menunjukkan keadilan dan lain-lain
(Syarh Mumti' Ibnu Utsaimin 2/56, Ta'liqot Syaikhhina Sami Muhammad ala Bulughul marom no 305)
MACAM-MACAM LAFADZ
Lafadz-lafadz dalam ibadah dan muamalat itu terbagi menjadi tiga macam :
Pertama : Lafadz dan maknanya dianggap, yaitu al-Qur'an tidak boleh diganti dengan bahasa lainnya
Kedua : Maknanya dianggap tetapi lafadznya tidak seperti lafadz-lafadz dalam akad dan muamalat. Maka setiap lafadz yang menunjukkan arti jual beli, pernikahan dan lain sebagainya maka itu sudah sah, sekalipun tidak berbahasa Arab.
Ketiga : Lafadznya dianggap bila mampu, adapun kalau tidak mampu maka gugur, seperti khutbah Jum'at, do'a dan lain sebagainya. (Tahrirul Qowaid Ibnu Rojab 1/164
JIKA DIIZINKAN, MAKA TIDAK MENANGGUNG AKIBATNYA
Apa yang terjadi karena sesuatu yang diizinkan, maka tidak perlu menanggungnya.
Contoh penerapan kaidah :
1. Dalam hal berhubungan syari'at : dibolehkannya orang yang sedang sholat menghalangi orang yang akan lewat di depannya, jika orang yang akan lewat ternyata luka atau sampai meninggal dunia, maka orang yang menghalangi tidak ada tanggungan
2. Dalam hal yang berhubungan dengan urusan sesama manusia : pemilik rumah mengizinkan pekerjanya untuk meruntuhkan tembok tertentu, lalu tembok sampingnya ikut hancur, maka si pekerja tidak menanggung
Contoh lainnya, kalau ada seorang dokter berusaha semaksimal mungkin [1] mengobati pasien, ternyata sakit pasien bertambah parah maka dokter tersebut tidak menanggung akibatnya.
Contoh lainnya, seorang pegawai menggunakan peralatan kerja untuk urusan pekerjaannya, lalu terjadi kerusakan, maka dia tidak menanggung akibatnya. Wallohu'alam
KADANG BISA LEBIH UNGGUL
Kadang-kadang suatu amalan yang kurang afdhol bisa mengungguli amalan yang afdhol
Hal ini karena beberapa sebab, diantaranya :
1. Apabila amalan kurang afdhol itu diperintahkan dalam waktu tertentu. Seperti membaca al-Qur'an dan menjawab adzan ketika dikumandangkan. Pada asalnya membaca al-Qur'an lebih utama namun menjawab adzan saat itu lebih utama karena akan terlewatkan.
2. Apabila amalan yang kurang afdhol tadi mengandung kemaslahatan yang tidak ada dalam amalan yang afdhol, seperti untuk kemaslahatan persatuan hati
3. Apabila dalam amalan yang kurang afdhol tadi lebih khusyu' bagi hati, sebagaimana ucapan Imam ahmad bin Hanbal rahimahulloh tatkala ditanya tentang sebagian amalan : "Lihatlah apa yang lebih khusyu'/ tenang bagi hatimu maka lakukanlah."
(Lihat al-Qowa'id al-Fiqhiyyah, Abdurrohman as-Sa'di hal 22)
KAPAN BOLEH DIUNDI
Undian memang cara yang diperbolehkan dalam syari'at islam berdasarkan al-Qur'an [2] hadits dan perbuatan sahabat. (ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Ibnul Qoyyim 2/743)
Namun kapankah undian ini dilakukan? Jawabannya : Ketika masing-masing kedua belah pihak memiliki hak yang sama dan tidak ada penguat yang dimiliki oleh salah satunya. Contoh, apabila ada dua orang yang ingin maju untuk menjadi imam sholat atau adzan dan keduanya memiliki sifat yang sama tanpa ada keunggulan salah satu dari keduanya, maka di sini disyari'atkan untuk diundi.
{Diambil dari Majalah Al Furqon, Edisi 9 Th ke &, 1429/ 2008}
--------------------------
foot note :
[1] Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa orang yang diizinkan tersebut disyariatkan bukan orang yang menyepelekan atau melakukan perkara yang tidak boleh baginya.
[2] Lihat QS Ali Imron : 44 dan ash-Shohihah : 139-141
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=251201724903673&set=at.251201591570353.70976.100000415433443.100000807720689&type=1&theater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar