Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama : Prinsip Keempat [3/3]
April 20, 2011
PRINSIP KEEMPAT [3/3]
Mengagungkan Sunnah dan Memerangi Bid’ah
-
Adakah Bid’ah Hasanah Menurut Imam Syafi’i?
Adapun dalil-dalil yang dijadikan oleh orang-orang yang melegalkan bid’ah hasanah, semunya adalah rapuh[1], di antara syubhat yang mereka bawakan adalah ucapan Imam Syafi’i:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ ضَلاَلَةٌ، وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ، قَدْ قَالَ عُمَرُ فِِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ، يَعْنِي أَنَّهَا مُحْدَثَةٌ لَمْ تَكُنْ، وَإِذَا كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهَا رَدٌّ لِمَا مَضَى.
“Perkara yang baru itu ada dua macam: Perkara baru yang menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, atsar dan ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baru dari kebaikan yang tidak menyelisihi salah satu dari ini maka tidaklah tercela. Umar mengatakan tentang terawih pada bulan Romadhon: Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni dia termasuk perkara baru tetapi tidak menyelisihi hal-hal tadi”.[2]
Dalam redaksi lainnya, diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ, وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan yang tercela: Apabila sesuai dengan sunnah maka terpuji dan apabila menyelisihi sunnah maka tercela. Dan beliau berdalil dengan ucapan Umar tentang tarawih Romadhan: Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[3]
Jawaban:
Ucapan Imam Syafi’i di atas tidak bisa untuk mendukung adanya bid’ah hasanah seperti maksud orang-orang belakangan. Keterangannya sebagai berikut:
- Ucapan Imam Syafi’i di atas masih dipertanyakan tentang keshohihannya. Dan anggaplah shohih tetap tidak bisa untuk melawan atau mengkhususkan keumuman hadits Nabi di atas. Imam Syafi’i sendiri berkata:
وَكَذَلِكَ يَنْبَغِيْ لِمَنْ سَمِعَ الْحَدِيْثَ أَنْ يَقُوْلَ بِهِ عَلَى عُمُوْمِهِ وَجُمْلَتِهِ حَتَّى يَجِدَ دَلاَلَةً يُفَرِّقُ بِهَا فِيْهِ بَيْنَهُ
“Hendaknya bagi seorang yang mendengarkan hadits untuk mengamalkannya secara umum sampai mendapati dalil yang mengkhususkannya.[4]
- Bagaimana Imam Syafi’i mengatakan bid’ah hasanah, padahal beliau adalah seorang Imam yang dikenal mengagungkan Sunnah dan memerangi bid’ah dan ahlinya sebagaimana telah kami paparkan sebagiannya. Oleh karenanya, barangsiapa yang hendak menafsirkan ucapan Imam Syafi’i, maka dia harus memahami kaidah-kaidah Imam Syafi’i. Hal ini merupakan suatu hal yang popular dalam suatu bidang. Imam Syafi’i sendiri berkata:
لاَ يَجْمُلُ الْعِلْمُ وَلاَ يَحْسُنُ إِلاَّ بِثَلاَثِ خِلاَلٍ : تَقْوَى اللهِ وَإِصَابَةِ السُّنَّةِ وَالْخَشْيَةُ
“Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah dan rasa takut”.[5]
Jadi beliau mensyaratkan dalam setiap ucapan beliau agar “sesuai dengan sunnah” Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa bid’ah adalah lawan kata sunnah. Lantas, bagaimana suatu bid’ah dikatakan baik jika pada dasarnya saja sudah menyelisihi sunnah Nabi?!![6]
- Kalau kita perhatikan ucapan Imam Syafi’i di atas secara teliti, maka maksud ucapan beliau dengan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara istilah. Dengan bukti, bahwa setiap bid’ah secara istilah adalah menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan bid’ah yang terpuji adalah bid’ah yang tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, padahal setiap bid’ah dalam istilah itu pasti menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Hafizh Ibnu Rojab menjelaskan bahwa maksud Imam Syafi’i dengan ucapannya di atas adalah bid’ah secara bahasa.[7]
Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sesat maksudnya adalah dari segi bahasa, sedangkan ulama yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat maksudnya adalah bid’ah secara istilah”.[8]
- Hal yang memperkuat bahwa maksud ucapan Imam Syafi’i di atas adalah bid’ah secara bahasa adalah pendalilan beliau dengan ucapan Umar bin Khothob tentang sholat tarawih secara berjama’ah “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” padahal shalat tarawih berjama’ah bukanlah bid’ah karena pernah dilakukan oleh Nabi, hanya saja beliau meninggalkannya karena khawatir diwajibkan. Nah, tatkala kekhawatiran ini hilang dengan meninggalnya Nabi Muhammad maka Umar menghidupkannya lagi dan menamainya sebagai bid’ah secara bahasa.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: kadang berupa bid’ah secara syar’i ; seperti sabda Rosululloh r:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap bentuk bid’ah adalah sesat, dan kadang berupa bid’ah secara bahasa; seperti perkataan Amiril Mukminin Umar bin Khoththob ketika menjadikan para sahabat satu jama’ah dalam sholat Tarawih secara terus-menerus: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[9]
- Mungkin maksud Imam Syafi’i dengan ucapan beliau bid’ah hasanah tersebut adalah masalah-masalah dunia yang bermanfaat seperti seperti listrik, telepon, pesawat, mobil, buku dan sejenisnya dari hal-hal yang bermanfaat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Buthomi[10] dan Syaikh Ahmad Surkati[11].
- Imam Syafi’i dikenal dengan seorang ulama yang sangat menghormati hadits Nabi dan marah besar terhadap orang-orang yang menolak hadits. Pernah seorang penanya mengatakan kepada beliau: “Lantas apakah engkau berpendapat dengan hadits tersebut? Imam Syafi’i marah mendengarnya seraya mengatakan:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِيْ إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثًا فَلَمْ أَقُلْ بِهِ؟ نَعَمْ عَلَى السَّمْعِ وَالْبَصَرِ
“Aduhai orang ini, bagian bumi manakah yang aku injak dan bagian langit mana yang menaungiku, apabila aku meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah r kemudian aku tidak mengambilnya. Benar, aku mendengar dan tunduk pada hadits tersebut”.[12]
Lantas, bagaimana kiranya beliau akan melawan hadits “Setiap bid’ah adalah sesat”?!. Maka, ucapan beliau sebaiknya dibawa kepada bid’ah secara bahasa agar tidak bertentangan dengan hadits Nabi.[13]
- Banyak orang berdalil dengan ucapan Imam Syafi’i di atas untuk melegalkan adanya bid’ah hasanah dalam ibadah, padahal Imam Syafi’i sendiri mengingkari hal-hal yang mereka anggap sebagai bid’ah hasanah, contoh mudah adalah masalah acara Tahlilan dan selametan kematian[14] yang biasa diadakan oleh sebagian saudara kita yang nota bene bermadzhab Syafi’i, padahal Imam Syafi’i dan ulama-ulama madzhab Syafi’i telah menegaskan akan tercelanya perbuatan tersebut[15]. Imam Syafi’i berkata:
وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ
“Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu”.[16]
Imam Nawawi menukil perkataan pengarang kitab As-Syamil sebagai berikut:
وَ أَمَّا إِصْلاَحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ
“Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikitpun bahkan termasuk bid’ah, bukan sunnah”.[17]
Al-Hafidz As-Suyuthi berkata: “Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpul kepada keluarga mayit.” Kemudian beliau menukil perkataan Imam Syafi’i diatas tadi.[18]
Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah Makkah, pernah ditanya masalah ini lalu dia menjawab:
نَعَمْ, مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَالِي الأَمْرِ ثَبَّتَ اللهُ بِهِ قَوَاعِدَ الدِّيْنِ وَأَيَّدَ بِهِ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
“Benar, apa yang dilakukan kebanyakan manusia berupa kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan termasuk perkara bid’ah mungkaroh, Apabila pemerintah -yang Alloh menguatkan sendi-sendi Islam dengannya- melarang hal ini, dia akan diberi pahala”.[19]
Apakah setelah itu, masihkah disebut sebagai bid’ah hasanah?!! Jawablah wahai orang yang dikaruniai akal.
- Sikap Imam Syafi’i Terhadap Ahli bid’ah
Imam al-Baihaqi berkata: “Adalah Syafi’i sangat keras terhadap orang yang menyeleweng dan ahli bid’ah, dan beliau terang-terangan menghajr (mendiamkan) mereka”.[20] Bahkan dikisahkan bahwa sebab hijrah beliau dari Baghdad menuju Mesir adalah karena munculnya Mu’tazilah dan kuatnya mereka dengan kebid’ahan dan kepemimpinan mereka sehingga Negara tunduk pada mereka.[21]
Di antara contoh sikap beliau adalah:
قَالَ الْبُوَيْطِيُّ: سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ: أُصَلِّيْ خَلْفَ الرَّافِضِيْ ؟ قَالَ: لاَ تُصَلِّ خَلْفَ الرَّافِضِيِّ، وَلاَ الْقَدَرِيِّ، وَلاَ الْمُرْجِئِ. قُلْتُ: صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: مَنْ قَالَ: الِإِيْمَانُ قَوْلٌ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ قَالَ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لَيْسَا بِإِمَامَيْنِ فَهُوَ رَافِضِيٌّ، وَمَنْ جَعَلَ الْمَشِيْئَةَ إِلَى نَفْسِهِ فَهُوَ قَدَرِيٌّ
Berkata al-Buwaithi: Saya pernah bertanya kepada Syafi’i: Apakah saya sholat di belakang Rofidhah? Beliau menjawab: Jangan sholat di belakang seorang Rofidhah, Qodariyyah, Murji’ah. Saya berkata: Sifatkanlah mereka kepada kita. Beliau menjawab: Barangsiapa mengatakan bahwa iman itu sekadar ucapan maka dia adalah murji’ah. Barangsiapa mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam maka dia adalah Rofidhoh. Barangsiapa yang menjadikan kehendak pada dirinya maka dia adalah Qodariyyah.[22]
Apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ini merupakan salah satu cara untuk hajr Ahli bid’ah agar mereka bertaubat dari kesalahan dan penyimpangannya.
Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011
[1] Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut faham “bid’ah hasanah” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam risalahnya “Al-Bid’ah wa Atsaruha Sayyi’ fil Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-. Dan juga Syaikh Abdul Qoyyum as-Sahyibani dalam kitabnya Al-Luma’ fir Roddi Ala Muhassinil Bida’.
[2] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Manaqib Syafi’i 1/469 dari Rabi’ bin Sulaiman. Tetapi dalam sanadnya terdapat Musa bin Fadhl, kami belum mendapati biografinya. (Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242 oleh Salim al-Hilali).
[3] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Auliya’ 9/113 dari Harmalah bin Yahya. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Athosyi, disebutkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab, tetapi keduanya tidak menyebutkan pujian atau celaan. (Al-Bid’ah hlm. 242).
[4] Ar-Risalah hlm. 295 dan Al-Umm 7/269. Lihat pula Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 1/361 oleh Ibnu Hazm, Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 340 oleh asy-Syinqithi, Taudhih Ushul Fiqih ala Manhaj Ahlil Hadits hlm. 193-194 oleh Zakariya bin Ghulam al-Bakistani.
[5] Manaqib Syafi’i 1/470 oleh al-Baihaqi.
[6] Manhaj Imam Syafi’i fii Itsbatil Aqidah hlm. 134 oleh Syaikh Dr. Muhammad al-Aqil.
[7] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/131.
[8] Al-Fatawa Al-Haditsiyyah hlm. 370. Lihat pula Juz fi Ittiba’ Sunan hlm. 30 oleh adz-Dzahabi.
[9] Tafsir Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir 1/283.
[10] Tahdzir Muslimin hlm. 66.
[11] Al-Masail Tsalats hlm. 49-50.
[12] Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/150 oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[13] Lihat Al-Bid’ah wa Atsaruha hlm. 242-244 oleh Syaikh Salim al-Hilali, dan Juhud Syafi’iyyah fi Muharobatil Bida’ hlm. 289-296 oleh DR. Ust. Muhammad Nur Ihsan.
[14] Sudah banyak para ustadz dan peneliti yang menulis buku tentang hal ini, seperti Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab, Ustadz Abu Ihsan al-Medani dalam Bincang-Bincang Seputar Tahlilan Yasinan dan Maulidan, ustadzuna Abu Ibrahim dalam Penjelasan Gamblang Tentang Yasinan Tahlilan dan Selametan, ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam Tarekat Tasawwuf Tahlilan dan Maulidan , ustadz Abdul Aziz dalam Muallaf Menggugat Tahlilan, saudara Harry Yuniardi dalam Santri NU Menggugat Tahlilan. Dan ustadz Abu Ubaidah juga memiliki tulisan ringkas mengenai hal ini berjudul “Tahlilan Dalam Pandangan Ulama Madzhab”, tercetak bersama buku beliau “Bangga Dengan Jenggot”.
[15] Kalau kita perhatikan keterangan para ulama dalam masalah ini, akan sangat jelas bagi kita bahwa ulama madzhab Syafi’i adalah di antara ulama madzhab yang paling keras mengingkari acara ini dibandingkan madzhab-madzhab lainnya. Saya jadi teringat dengan kisah salah seorang ustadz yang berdialog dengan simpatisan acara ini. Setelah ustadz tersebut membawakan komentar ulama-ulama Syafi’iyyah di atas, ternyata sang simpatisan berkomentar aneh: “Kita ini sudah banyak mengikuti madzhab Syafi’i, jadi sekali-kali boleh lah kita menyelisihinya”.!!!
[16] Al-Umm (1/318)
[17] Al-Majmu (5/290).
[18] Al-Amru bil Ittiba’ (hal. 288)
[19] I’anah Tholibin juz. 2 hal.145-146 oleh Syeikh Abu Bakar Muhammad Syatho.
[20] Manaqib Syafi’i 1/469.
[21] Lihat Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah 1/138 oleh Dr. Muhammad Al-Aqil.
[22] Siyar A’lam Nubala’ 3/3283 oleh adz-Dzahabi.
http://abangdani.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar