Tauhid : Aqidah 22 : Syarah Al-'Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
( Studi Tentang Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah ), [ 22 ]
oleh Abu Hashifah Rickywahyudi pada 25 Mei 2011 jam 6:40
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MASALAH IMAN DAN DIN
Oleh
Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qathani
Ad-Dien dan Al-Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah : Perkataan, perbuatan, dan keyakinan.
Perkataan
dengan hati dan lidah, sedangkan perbuatan dengan hati, lidah, dan anggota badan. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Perkataan hati adalah kepercayaan dan keyakinannya. Perkataan lidah adalah pengucapan dua kalimah syahadah dan ikrar terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Amalan hati adalah niat, ikhlas, cinta, tunduk, dan keterikatan hati kepada Allah, serta tawakkal kepadan-Nya, juga segala hal yang merupakan konsekuensi dari semua itu dan semua yang termasuk amalan hati. Amalan lisan adalah apa saja yang hanya dilaksanakan dengan lidah, seperti membaca Al-Qur'an, seluruh bentuk dzikir, seperti: tasbih, tahmid, dan takbir, doa, istighfar, dan sebagainya. Sedangkan amalan anggota badan adalah apa yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengannya, seperti : berdiri, ruku', sujud, berjalan dalam melaksanakan amalan yang diridhai Allah, amar ma'ruf, dan nahyi munkar. Adapun bertambah dan berkurangnya iman, adalah berdasarkan firman Allah Ta'ala :
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, maka bertambahlah iman mereka." (Al-Anfal : 2).
Juga sabda Nabi :
"Akan keluar dari naar barangsiapa yang telah mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallah', sedangkan di hatinya
terdapat kebaikan seberat biji gandum."(HR. Muslim 1/182)
Di antara dalil yang menunjukkan berkurang dan bertambahnya iman adalah bahwa Allah telah
membagi orang - orang beriman menjadi tiga bagian :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orangorang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami,
lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan, dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar."(Fathir : 32)
Orang yang menganiaya dirinya sendiri (ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ ) adalah orang yang lalai, yang melaksanakan sebagian kewajiban dan melakukan sebagian perbuatan dosa. Orang yang pertengahan ( مُقْتَصِدٌ )adalah orang yang melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh perbuatan dosa,tetapi kadang-kadang meninggalkan hal -hal yang mustahab dan melakukan hal-hal yang makruh. Sedangkan orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan ( سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ )adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan hal yang mustahab serta meninggalkan perbuatan haram dan yang makruh.1 '
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblah karena kemaksiatan dan dosa besar semata, selama pelakunya tidak menghalalkan perbuatan dosa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
"Barangsiapa yang melaksanakan shalat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia seorang muslim."
(HR. Al-Bukhari, '"Fathul Bari" 1/496. Lihat pula "Ar-Raudhah An-Nadiyah", hal. 382.)
Setiap pelaku dosa besar atau orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus, maka ia disebut sebagai orang yang maksiat dan fasik. Ia sebagaimana seluruh orang mukmin yang lain, tidak keluar dari keimanan disebabkan kemaksiatannya, selama ia tidak menghalalkannya dosa-dosa tadi. Ia disebut: Orang yang beriman dengan keimanannya dan orang yang fasik dengan dosa besarnya. Atau orang beriman yang kurang keimanannya. Ia tidak diberi sebutan iman secara mutlak, tetapi sebutan tersebut tidak dicabut darinya secara mutlak pula. Adapun hukumnya di akhirat, ia berada di bawah kehendak Allah Ta'ala, bila ia meninggal dunia sebelum bertaubat. Bila Allah menghendaki, niscaya akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosanya, dan tempat terakhirnya adalah jannah. Sebaliknya, jika Allah menghendaki pula, niscaya akan mengampuninya sejak pertama kali dan memasukkannya ke jannah dengan rahmat dan karunianya.
Adapun menurut Kaum Khawarij dan Mu'tazilah, pelaku dosa besar itu kekal di naar diakhirat nanti, sedangkan di dunia ia adalah orang kafir yang halal darah dan hartanya menurut Kaum Khawarij, adapun menurut Kaum Mu'tazilah, ia berada di suatu tempat di antara dua tempat, ia keluar dari keimanan, akan tetapi belum masuk ke dalam kekafiran. Lain lagi menurut Kaum Jahmiyah dan Murji'ah, ia tetap sempurna keimanannya dan tidak berhak untuk disiksa. Mengenai hal ini, telah dibahas dalam bab sikap pertengahan Ahlus Sunnah.
________________________________
1. Mukhtashar Ibnu Katsir III/554, Ar-Rafi'i dan Ibnu Katsir III/554. Mengenai firman Allah, "Di antara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri," Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'diy berkata, "Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan
sebagian kewajiban iman dan melakukan sebagian hal yang diharamkan." (Lihat "At-Taudhih wal Bayan H Syajarah Al-lman" hal. 17)
[Disalin dari kitab Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Li Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Penulis Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qathaniy, Edisi Indonesia Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Penerjemah Hawin Murtadho, Penerbit At-Tibyan] dalam bentuk e-book
Tidak ada komentar:
Posting Komentar