Apakah Wanita Hamil Dan Menyusui Cukup Fidyah Tanpa Qadha ?
APAKAH WANITA HAMIL DAN MENYUSUI CUKUP FIDYAH TANPA QADHA ?
.
Rabu, 18 Agustus 2010 00:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum
Islam
Ketika membahas tentang puasa wanita hamil dan menyusui,
kami terakhir menguatkan pendapat bahwa jika wanita hamil dan menyusui tidak
puasa, mereka punya kewajiban untuk mengqodho’ puasanya di hari yang lain
sampai mereka mampu.
Kemudian kami tutup tulisan tersebut dengan mengatakan
bahwa jika memang wanita hamil dan menyusui tadi tidak mampu lagi menunaikan
qodho’ puasa karena begitu banyak hari yang ditinggalkan serta usianya yang
tidak kuat, maka mereka bisa mengganti puasanya dengan fidyah.
Tulisan kali ini akan kembali menguatkan pendapat
dalam tulisan
tersebut. Kami akan sertakan fatwa seorang faqih dari negeri Unaizah
Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Dari fatwa
ini akan nampak bahwa inilah pendapat pertengahan dalam perselisihan yang ada.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya,
“Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan
Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Apakah
wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah (memberi makan bagi setiap
hari yang ditinggalkan)?
Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa
mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Kami mohon
jawaban dalam masalah ini dengan disertai dalil.”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya
puasa Ramadhan dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam.Allah telah
mewajibkan bagi orang yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya
ketika udzurnya tersebut hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang
menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya
mengqodho’ puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja
yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti)
puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita
haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur.
Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’
puasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir. Sedangkan
untuk haidh telah ada dalil tegas tentang hal tersebut. Disebutkan dalam
Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya beliau ditanya oleh
seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’ puasa dan tidak
diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami mendapati
haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk
mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”
Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang
memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah
(memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini
adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang
tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang
sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya
menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika
menafsirkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang
miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa
di awal-awal diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk
menunaikan fidyah (memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka
diperintahkan untuk berpuasa saja.
[Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122, Asy
Syamilah]
***
Fatwa ini menjelaskan bahwa asalnya kewajiban wanita hamil
dan menyusui ketika mereka tidak berpuasa adalah mengqodho’ puasa di hari
lainnya (di saat mereka kuat untuk berpuasa). Namun jika keadaan mereka tidak
mampu lagi menunaikan qodho’ puasa, maka diganti fidyah sebagaimana halnya
orang yang sudah di usia senja dan tidak mampu lagi berpuasa. Dari sini
penjelasan beliau rahimahullah di atas, menunjukkan bahwa kurang tepatnya
sebagian orang yang mengeluarkan fidyah langsung padahal ia masih mampu
mengqodho’ di hari lainnya.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Silakan baca artikel “Perselisihan Ulama Mengenai Puasa
Wanita Hamil dan Menyusui” di
sini.
Diselesaikan di malam 8 Ramadhan 1431 H (17 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar