Membayar Qadha Puasa Ramadhan
MEMBAYAR QADHA ( HUTANG ) PUASA RAMADHAN
Jumat, 23 Oktober 2009 03:00 Muhammad Abduh Tuasikal
Berbagai permasalahan qodho' puasa (membayar utang
atau nyaur puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum
muslimin. Oleh karena itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan.
Semoga bermanfaat.
Yang dimaksud dengan qodho’ adalah
mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1] Untuk
kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami sakit berat
sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia mengganti puasanya
tadi. Inilah yang disebut qodho’.
Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan
untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah
lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk
puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk
puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk
berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah,
beliau mengatakan,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk
mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[2]
Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?
Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa
diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa
baik karena ada udzuratau pun tidak, maka wajib baginya untuk
mengqodho’ puasa.[3]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu
Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada
udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.
Ada kaedah ushul
fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal
dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka
tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang
mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula
kaedah di atas: “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal
dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya
tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan
contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan
shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib
mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti
(mengqodho’) shalatmu.
Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan
amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari
di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya
pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan
menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau
tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada
dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[4]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan
waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia
telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada
manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu
Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang
memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak
memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’,
artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon
perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai
udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah
sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika
dia ingat”.
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar
waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan
ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya
tidak diterima.”[5]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa
ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban
dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah
dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan
memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti
puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada
udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti
akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah
dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup
daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[6]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat
yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah,
dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[7]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan
puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash
(bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan
puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan
yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian
atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi
taufik.
Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti
dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan
di bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan
berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qodho’
puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ
أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu
mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits)
mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di
dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik
mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[9]
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan
dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang
memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan
dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al
Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan
Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita.
Ketika Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban
qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia sebenarnya
mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun belum kunjung
dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang menjadi permasalahan
kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa saja ataukah memiliki tambahan
kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja
mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup
mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika
dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa,
dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang
belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh
beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat
sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa
hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan
berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut.
Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki
kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran
makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok
negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah
sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan)
selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu
‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti
sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit
untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’
puasanya.”[10]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda
qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban:
(1) bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan
(fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan
untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit atau menyusui sehingga
sulit menunaikan qodho’), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya, maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa
hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal
kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan
qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari
lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak
berurutan”.[11]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Bersambung insya Allah pada "Meninggal Dunia, Masih
Memiliki Qodho' Puasa"
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan
[1] Lihat
Rowdhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1/58.
[2] HR.
Muslim no. 335
[3] Pendapat
ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’
(komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya.
[4] HR.
Muslim no. 1718
[5] Kutub
wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.
[6] Idem
[7] Fatawa
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah
[8] HR.
Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146
[9] Fathul
Bari, 4/191.
[10] Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347.
[11] Dikeluarkan
oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur
Rozaq dalam Mushonnafnya (4/241, 243) dengan sanad yang shahih.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar