Permasalahan Qadha Fidyah Wanita Hamil Dan Menyusui
Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajibanqadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.
.
PERMASALAHAN QADHA-FIDYAH WANITA HAMIL DAN MENYUSUI
Agustus 5, 2010 · by Kang Aswad
Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi1 menjelaskan:
Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?
Mayoritas ulama salaf dan khalaf
rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib
meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir
terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari
pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal),
bahwa kewajiban puasa itu di-qadha.
Kemudian, dalil menetapkan bahwa
bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari
lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki
udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah
hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.
Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha,
sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah.
Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja.
Pendapat ini
bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk
orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2 :
Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajibanqadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.
Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil
dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari
musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui”
Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya.
Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi,
seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara
sanad maupun matan, karena pada sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin
Ka’bi:
لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما
“Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang
pertama atau yang kedua”
Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir
berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru
hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi
menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya
‘digugurkan sebagian shalat, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir
boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Hal ini menunjukkan bahwa yang digugurkan dalam hadits
bukanlah qadha-nya, dan juga bukan kewajiban melaksanakan puasanya.
Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar
fidyah saja tanpaqadha, ini adalah pendalilan yang lemah.
Yang benar adalah pendapat jumhur salaf
dan khalaf serta para imamrahimahumullah, dan juga
pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang
empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha.
Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka
menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas
dan juga pendapat Ibnu Umar2,
pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari
Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini
dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada
hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih
lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak
mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma.
Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah
wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur
kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara
keseluruhan.
Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan
lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat, puasa dan lainnya yang termasuk
ibadahbadaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk
meng-qadha.
Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka
membayar fidyah atau tidak?
Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat
-rahimahumullah- :
Pertama, wajib meng-qadha dan membayar
fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab
Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.
Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa
membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An
Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats
Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim
bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja.
Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum
asal.
Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum
asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat
wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan
pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan
lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat
demikian kaeran beliau itu sangatwara’(hati-hati). Maka pendapat adanya
tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’.
Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur
berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka
juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.
Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang
merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah,
sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan
membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha.
Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan),
sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak
berhubungan). Yangmuttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib
fidyah.
Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami
jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.
[Sampai di sini nukilan dari Syaikh Muhammad bin Muhammad Al
Mukhtar3]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika
ditanya tentang hal ini beliau menjawab:
“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit.
Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak
berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai
kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah.
Yang benar,
mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi,
bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم
‘Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi
musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”
[Maj'mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi'ah, juz 15,
dinukil darihttp://binbaz.org.sa/mat/476 ]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga
berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil
dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali
yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya.
Beliau berkata:
“Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena
Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan
Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena
adanya udzur, namunqadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian,
orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al
aula (lebih layak) untuk tidak gugurqadha-nya.
Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:
Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib
meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.
Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di
susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha,
sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah,
dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga
wajib membayar fidyah. Ibnu Abbas -radhiallahu’anhu- menafsirkan ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata:
كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران
ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا
وأطعمتا” ، رواه أبو داود
‘Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang
mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita
menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan
membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)
Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung
-penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab
hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahahsang ibu- , wajib
baginya untuk meng-qadha”
[Dinukil dari Syarhul Mumti' Syarh Zaadil Mustaqni,
6/223]
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa
Ibnu ‘Abbasradhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau
mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل
والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu
Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan
Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih, semua
perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai
Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukantadlis, karena
dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha,
maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana
diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan
dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya
oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang
terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2
pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al
Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada
pendapat mewajibkanqadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر
: فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa
di bulan Ramadhan, kemudian ia melahirkan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu
‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan
membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia
memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha”
(HR. Al Baihaqi
dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi4 menyatakan
bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat
Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering
memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas
dalam Al Muhalla(4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ
عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي
رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari
Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui
boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan
sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al
Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats
Tsauri
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa
fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu
‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah
pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.
Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui baik khawatir
kepada dirinya, atau kepada anaknya, atau kepada keduanya, boleh tidak berpusa
dan wajib meng-qadha di hari lain, tanpa fidyah. Namun bagi yang
khawatir kepada anaknya, lebih afdhal jika selain qadha juga
membayar fidyah. Wallahu’alam.
[Di susun oleh Yulian Purnama, semoga Allah mengampuni
dosa-dosanya dan kedua orang tuanya]
—
1Beliau
adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di
Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau:http://www.shankeety.net
2Syaikh
Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian
hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu
Umar”
3Diambil
dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563 terakhir
diakses tanggal 4 Agustus 2010
4Beliau
salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca
biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/
5Penjelasan
ini saya nukil dari forum sahab:http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233,terakhir
diakses tanggal 4 Agustus 2010
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar