Fikih Ringkas I'tikaf 3
Kategori: Fiqh dan Muamalah, Ramadhan // 20 Agustus 2011
Kategori: Fiqh dan Muamalah, Ramadhan // 20 Agustus 2011
Syarat I’tikaf
Syarat-syarat i’tikaf adalah sebagai berikut :
1. Islam
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا
أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ
كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلاوَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)
“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya
nafkah-nafkah mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak
(pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.”
(At
Taubah: 54).
Al ‘Allamah Abdurrahman as Sa’di rahimahullah mengatakan,
والأعمال كلها شرط قبولها الإيمان، فهؤلاء لا إيمان لهم
“Persyaratan agar seluruh amal ibadah diterima adalah
iman, sedangkan mereka yang tersebut dalam ayat ini tidak memiliki keimanan.”[1]
2. Niat, Berakal, dan Tamyiz
I’tikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah
karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada
niatnya “[2]
Maksud dari hadits tersebut adalah keabsahan dan diterimanya
suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini
berkaitan dengan keabsahan suatu amalan.[3]
Seorang yang masuk ke dalam masjid memiliki beraneka ragam
tujuan, diantara mereka ada yang hendak shalat, mendengarkan ta’lim, beri’tikaf,
dan sebagainya. Dengan demikian, seorang yang hendak beri’tikaf membutuhkan
niat untuk membedakan tujuan dari ibadah selainnya yang juga turut dikerjakan
di masjid seperti shalat. Dan niat tersebut hanya mampu dilakukan oleh seorang
yang berakal. Wallahu a’lam.
3. Suci dari Haidh dan Nifas
Para ulama mengemukakan bahwa dalil yang menyatakan bahwa
suci dari haidh, nifas, dan junub merupakan syarat i’tikaf adalah dalil-dalil
yang menyatakan terlarangnya orang yang haidh, nifas, dan junub untuk berdiam
di masjid. Berikut beberapa diantaranya,
Pertama, firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
(An Nisa: 43).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
ينهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين عن فعل الصلاة في حال السكر الذي لا
يدري معه المصلي ما يقول وعن قربان محالها التي هي المساجد للجنب إلا أن يكون
مجتازا من باب إلى باب من غير مكث
“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman
mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui makna
surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub mendekati
tempat shalat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari satu pintu ke
pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya.”[4]
Sisi pendalilan dari ayat ini adalah ketika Allah ta’ala melarang
seorang yang junub mendekati masjid, maka hukum ini juga berlaku pada wanita
yang sedang mengalami haidh, karena haidh yang dialaminya merupakan hadats yang
jauh lebih berat daripada sekedar junub. Oleh karena itu, seorang yang haidh
dilarang bercampur dengan suami, berpuasa, dan kewajiban shalat digugurkan
darinya.[5]
Kedua, sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram
kemudian tertimpa haidh,
افْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى
بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji,
namun janganlah engkau berthawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci.”[6]
Ketiga, perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu,
كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ
“Kami wanita yang beri’tikaf, apabila mengalami haidh,
maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk
mengeluarkannya dari masjid.”[7]
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum seorang wanita yang
mengalami istihadhah, bolehkah dia beri’tikaf?
Jawab:
Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan
beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ
مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى
الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى
“Salah seorang istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan beristihadhah. Istri beliau tersebut
mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan shalat dan di
bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah tersebut).”[8]
Al ‘Aini rahimahullah mengatakan,
“Diantara kesimpulan hukum yang dapat dipetik adalah wanita
yang mengalami istihadhah boleh beri’tikaf dan shalat, karena kondisinya adalah
kondisi suci. Wanita tersebut meletakkan bejana (di bawahnya) agar darah
tersebut tidak mengenai baju atau masjid. Selain itu, darah istihadhah juga
encer, tidak seperti darah haidh. Hukum bolehnya I’tikaf bagi wanita yang
mengalami istihadhah ini juga diberlakukan bagi kondisi yang semisal seperti
seorang yang sering mengeluarkan urin (beser), madzi, wadi, dan mengalami luka
yang senantiasa mengalirkan darah.”[9]
4. Bagi wanita, memperoleh Izin dari suami dan aman
dari fitnah
‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dia mengatakan,
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى
كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ
فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ فَأَذِنَ لَهَا
فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh,
beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf. (Salah seorang perawi hadits ini
mengatakan), “Maka ‘Aisyah pun meminta izin kepada nabi untuk
beri’tikaf. Beliau pun mengizinkannya dan ‘Aisyah pun membuat kemah di dalam
masjid.”[10]
Hadits ini juga menjadi dasar bahwa seorang wanita harus
terlebih dahulu meminta izin kepada suami jika hendak beri’tikaf.
Dalam riwayat yang lain tercantum lafadz
وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا
“Hafshah meminta bantuan ‘Aisyah agar memintakan izin
baginya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk beri’tikaf).”[11]
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
وليس للزوجة أن تعتكف إلا بإذن زوجها ولا للمملوك أن يعتكف إلا بإذن
سيده لأن منافعها مملوكة لغيرهما والاعتكاف يفوتها ويمنع استيفاءها وليس بواجب
عليهما بالشرع فكان لها المنع منه
“Istri tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh
suami. Begitupula dengan budak, dia tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan
oleh majikannya. Hal ini dikarenakan manfaat yang ada pada diri mereka juga
dimiliki oleh selain mereka (yaitu suami dan majikan). I’tikaf akan
menghilangkan dan menghambat manfaat tersebut. Selain itu, I’tikaf tidaklah
wajib bagi mereka. Dengan demikian, I’tikaf menjadi terlarang bagi mereka
(kecuali setelah diizinkan).”[12]
5. Dilaksanakan di Masjid
Dalil akan hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian
beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).
Ayat ini menyatakan bahwa i’tikaf disyari’atkan di masjid.[13]
Ibnu Hajr Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
وَوَجَدَ الدَّلَالَة مِنْ الْآيَة أَنَّهُ لَوْ صَحَّ فِي غَيْر
الْمَسْجِد لَمْ يَخْتَصَّ تَحْرِيم الْمُبَاشَرَةِ بِهِ ، لِأَنَّ الْجِمَاع مُنَافٍ
لِلِاعْتِكَافِ بِالْإِجْمَاعِ ، فَعُلِمَ مِنْ ذِكْرِ الْمَسَاجِدِ أَنَّ
الْمُرَادَ أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَكُون إِلَّا فِيهَا
“Indikasi hukum yang terdapat pada ayat ini adalah jika
i’tikaf sah dilakukan di selain masjid, maka tentulah pengharaman mubasyarah
(jima’) tidak dikhususkan di dalam masjid. Hal ini dikarenakan jima’
membatalkan i’tikaf secara ijma’. Dengan demikian, dapat diketahui maksud
penyebutan masjid di dalam ayat tersebut adalah i’tikaf tidaklah sah kecuali
dikerjakan di dalam masjid.”[14]
b. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan
bahwa ketika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf,
beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh ‘Aisyah dan
beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak.[15]
c. Ijma’ yang diklaim oleh sejumlah ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون في إلا في المسجد
“Ulama bersepakat bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di
dalam masjid.”[16]
Pertanyaan:
Bagaimana kriteria masjid yang dapat dipakai
untuk beri’tikaf?
Jawab:
Kriteria masjid yang dipakai oleh pria untuk beri’tikaf
adalah masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah, mengingat pria
diwajibkan untuk menunaikan shalat wajib secara berjama’ah di masjid.[17]
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,
لا اعتكاف إلا في مسجد تجمع فيه الصلوات
“Tidak ada I’tikaf melainkan di masjid yang di dalamnya
ditegakkan shalat berjama’ah.”[18]
Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid Jami’
(masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum’at).[19]
Jika seorang diperkenankan untuk beri’tikaf di masjid yang
di dalamnya tidak ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah, maka hal ini akan
menimbulkan dua dampak negatif bagi seorang, yaitu,
- Meninggalkan
shalat wajib secara berjama’ah yang diwajibkan kepada setiap pria.
- Atau
menggiring seorang untuk keluar dari masjid yang digunakannya beri’tikaf
untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya ditegakkan
shalat wajib secara berjama’ah. Tindakan itu akan senantiasa
terulang, padahal sangat memungkinkan dia tidak melakukannya, yaitu dengan
memilih masjid yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Tindakannya
tersebut justru akan menafikan tujuan i’tikaf, karena esensi I’tikaf
adalah berdiam diri dan menegakkan ketaatan di dalam masjid.[20]
Pertanyaan:
“Terdapat hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu
‘anhu yang menyatakan “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini dan menyatakan bahwa I’tikaf hanya
sah dilakukan di ketiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabawi, dan
masjid al-Aqsha?”
Jawab:
Teks lengkap hadits Hudzaifah tersebut adalah sebagai
berikut, Ath Thahawi rahimahullah berkata Muhammad bin Sinan
Asy Syairazi[21] memberitakan
kepada kami, Hisyam bin ‘Ammar[22] memberitakan
kepada kami, Sufyan ibn ‘Uyainah memberitakan kepada kami, riwayat dari Jami’
bin Abi Rasyid dari Abu Wail, dia mengatakan, Hudzaifah berkata kepada
Abdullah,
الناس عكوف بين دارك ودار أبي موسى لا تغير؟! ، وقد علمت أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال : « لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة : المسجد الحرام
ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد بيت المقدس » قال : عبد الله لعلك نسيت
وحفظوا ، وأخطأت وأصابوا
“Terdapat sekelompok orang yang beri’tikaf di antara
rumahmu dan rumah Abu Musa, dan anda tidak menegurnya, padahal anda tahu
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada I’tikad kecuali di tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabi, dan masjid Bait al-Maqdis? Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin anda yang lupa dan mereka yang mengingatnya, dan mungkin anda yang keliru dan merekalah yang benar.”[23]
Tidak ada I’tikad kecuali di tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabi, dan masjid Bait al-Maqdis? Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin anda yang lupa dan mereka yang mengingatnya, dan mungkin anda yang keliru dan merekalah yang benar.”[23]
Jawaban akan hal tersebut adalah sebagai berikut:[24]
Pertama, hadits tersebut masih diperselisihkan apakah
berstatus marfu’ (bersambung kepada nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) atau mauquf (hanya sampai kepada
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu saja), yang tepat hadits tersebut
berstatus mauquf.[25]
Kedua, dalam riwayat tersebut, sahabat Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak menerima riwayat
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Hal ini tidak mungkin terjadi
seandainya Ibnu Mas’ud mengetahui bahwa hadits tersebut memang sanadnya
bersambung sampai kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini menunjukkan bahwa hal tersebut berasal dari ijtihad Hudzaifah radhiallahu
‘anhu semata.[26]
Ketiga, jika memang benar riwayat Hudzaifah tersebut
shahih dan marfu’, maka hadits tersebut menjelaskan keutamaan yang
lebih jika I’tikaf dilakukan di ketiga masjid tersebut. Al Kasani rahimahullah[27] mengatakan,
“I’tikaf yang paling utama dikerjakan di masjid al-Haram, kemudian di masjid
Madinah, masjid al-Aqsha, dan masjid besar yang banyak jama’ahnya.”
Keempat, Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“I’tikaf di selain masjid yang tiga, yaitu masjid al-Haram,
masjid an-Nabawi, dan masjid al-Aqsha, disyari’atkan pada waktunya dan tidak
hanya khusus di tiga masjid tersebut. Bahkan, I’tikaf itu dapat dilakukan di
masjid selain ketiga masjid tersebut.
Inilah pendapat para imam kaum muslimin, para imam madzhab yang
diikuti oleh kaum muslimin, yaitu imam Ahmad, Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah,
dan selain mereka rahimahumullah berdasarkan firman
Allah ta’ala,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Kata “المساجد” dalam ayat tersebut umum dan mencakup
seluruh masjid di penjuru bumi. Redaksi ayat ini berada dalam urutan akhir dari
rentetan ayat-ayat puasa yang hukumnya mencakup seluruh umat Islam di penjuru
bumi.
Dengan demikian, redaksi ayat ini, -yang menyebutkan perihal
i’tikaf-, (juga) merupakan seruan kepada setiap orang yang diseru untuk
menunaikan puasa. Oleh karena itu, berbagai hukum yang saling terkait ini
ditutup dalam redaksi dan seruan yang berbunyi,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Sangat mustahil, Allah memerintahkan umat ini dengan sebuah
seruan yang hanya mencakup sebagian kecil dari umat ini (padahal di awal
rentetan ayat, Allah menyeru semua umat ini).
Adapun hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu dengan
redaksi “لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة”, jika memang selamat
dari berbagai cacat, maksudnya adalah menafikan kesempurnaan (i’tikaf yang
dilaksanakan di selain ketiga masjid tersebut). Dengan demikian, maknanya
adalah I’tikaf yang paling sempurna adalah yang dilakukan di tiga masjid
tersebut, dikarenakan kemuliaan dan keutamaan ketiga masjid tersebut daripada
masjid-masjid yang lain.
Redaksi seperti ini banyak contohnya dalam hadits nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maksud saya bahwa penafian (yang terdapat dalam redaksi
sebuah hadits) terkadang maksudnya penafian kesempurnaan, bukan (semata-mata)
penafian hakikat (eksistensi) dan keabsahan sesuatu.
Hal ini seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
لا صلاة بحضرة طعام
“Tidak sempurna shalat seorang ketika makanan telah
dihidangkan baginya”
dan hadits yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa hukum asal
penafian yang terdapat dalam suatu nash adalah penafian keabsahan dan
eksistensi sesuatu. Akan tetapi, apabila terdapat dalil yang tidak mendukung
hal tersebut, maka wajib berpegang dengannya. Hal ini sebagaimana hadits
Hudzaifah, jika memang hadits tersebut selamat dari berbagai cacat. Wallahu
a’alam.[28]
Pertanyaan:
Bagaimana dengan puasa, bukankah puasa
termasuk syarat i’tikaf berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang senantiasa mengerjakan I’tikaf dengan berpuasa?
Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal
ini. Namun, pendapat yang terkuat adalah puasa bukanlah syarat untuk
mengerjakan I’tikaf. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut:[29]
Pertama, firman Allah ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)
“Sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah:
187).
Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi
puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.
Kedua, firman Allah ta’ala,
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى
قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ
لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu,
maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang bertapa (beri’tikaf)
menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk
Kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan
(berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak
mengetahui (sifat-sifat Tuhan).”
(Al A’raaf: 138).
Pada ayat ini Allah menyebut tindakan kaum musyrikin yang
berdiam di samping berhala mereka dengan sebutan i’tikaf, meskipun mereka tidak
berpuasa. Maka seorang yang mengekang diri untuk Allah di rumah-Nya (yakni
masjid), bisa juga disebut seorang yang beri’tikaf, meskipun dia tidak
berpuasa.
Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa
‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk
beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[30]
Hadits di atas menunjukkan bahwa I’tikaf dapat dilakukan
tanpa dibarengi dengan puasa, karena malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Jika
puasa merupakan syarat I’tikaf, tentulah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengijinkan ‘Umar radhiallahu ‘anh untuk beri’tikaf.
Keempat, pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan
bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan I’tikaf
di bulan Ramadhan dan
baru melaksanakannya pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.[31]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat I’tikaf,
karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh hari pertama di bulan Syawwal dan hari ‘Ied termasuk di dalam rentang
waktu tersebut. Telah dimaklumi bersama bahwa berpuasa ketika hari ‘Ied tidak
diperbolehkan, karena nabi melarang hal tersebut.[32]
Kelima, Thawus rahimahullah meriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anh dengan sanad yang shahih,
bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa
kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya.[33]
Keenam, seorang yang beri’tikaf lebih dari sehari, maka
tentu dia akan beri’tikaf di siang dan malam hari. Konsekuensi pendapat yang
menyatakan puasa merupakan
syarat I’tikaf adalah status I’tikaf yang dilakukan orang tersebut pada malam
hari tidaklah sah.
Adapun tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
senantiasa berpuasa ketika beri’tikaf, maka bisa kita menjawabnya bahwa
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah lebih memilih
kondisi yang paling afdhal dalam I’tikaf yang dilakukannya. Oleh karena itu,
beliau beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, padahal beri’tikaf di selain
waktu tersebut diperbolehkan. Demikian pula, beliau beri’tikaf selama sepuluh
hari, padahal beri’tikaf dalam rentang waktu yang lebih pendek dari itu juga
diperbolehkan.
-bersambung insya Allah-
Artikel Terkait :
Fiqih Ringkas I’tikaf 1
Fiqih Ringkas Itikaf 2
[1] Taisir
Karim ar Rahman hlm. 340.
[2] HR.
Bukhari: 1, Muslim: 1907.
[3] Syarh
Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alu Asy Syaikh.
[4] Tafsir
Quran al-’Azhim 2/308; Asy Syamilah.
[5] Al
Hawi 1/384. Dikutip dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 73.
[6] HR.
Bukhari: , Muslim: .
[7] Ibnu
Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari
dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”
[8] HR.
Bukhari: 304.
[9] ‘Umdah
al-Qari 3/280; Asy Syamilah.
[10] HR.
Bukhari: 1936.
[11] HR.
Bukhari: 1940.
[12] Al
Mughni 3/151.
[13] Tafsir Surat Al Baqarah 2/358.
[14] Fath
al Baari 4/345.
[15] HR.
Bukhari: 1925, Muslim: 297.
[16] Al
Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324; Asy Syamilah.
[17] Salah
satu dalil akan hal ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ
إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
“Saya sangat berkeinginan memerintahkan agar shalat
ditegakkan, kemudian saya bertolak ke rumah para pria yang tidak menghadiri
shalat berjama’ah, lalu saya bakar mereka.” (HR. Bukhari: 2288).
[18] HR.
Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad).
[19] Al
Majmu’ 6/480; Asy Syamilah.
Catatan: Seorang yang tidak beri’tikaf di masjid
Jami’, maka wajib keluar untuk shalat Jum’at. Keluarnya tersebut terhitung sebagai
udzur syar’i sehingga tidak membatalkan i’tikafnya, lagipula hal itu hanya
dilakukan sekali dalam seminggu, tidak berulangkali. Al Kasani rahimahullah mengatakan,
“Demikian pula keluar untuk menunaikan shalat Jum’at termasuk darurat, karena
hukum menunaikan shalat Jum’at
adalah faradhiallahu ‘anhuu ‘ain dan tidak mungkin dilaksanakan di
setiap masjid. Sehingga, seorang harus keluar (ke masjid Jami’) untuk
menunaikannya seperti (seorang yang keluar dari masjid tempatnya beri’tikaf)
untuk menunaikan hajat. Keluarnya tersebut tidaklah membatalkan i’tikafnya.”
(Badai’ Ash-Shanai’ 2/114).
[20] Al
Mughni 3/187. Dikutip dari ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 64.
[21] Adz
Dzahabi rahimahullah dalam al Mizan 3/575
menyifati beliau dengan “صاحب مناكر”, perawi yang sering membawakan riwayat
mungkar.
[22] Memiliki
kelemahan dalam hafalan dan tatkala memasuki usia senja hafalan beliau mulai
berubah. Lihat at-Tahdzib 11/51-54.
[23] HR.
Ath Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/265; Asy Syamilah.
[24] Bagi
para pembaca yang ingin memperluas pembahasan hal ini, dapat melihat Fiqh
al-I’tikaf hlm. 120-123, ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm.
66-69, al-Inshaf fi Ahkam al-I’tikaf hlm. 26-41.
[25] HR.
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 4/348.
[26] Asy
Syaukani rahimahullah ketika mengomentari perkataan Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengingkari Hudzaifah radhiallahu
‘anhu, berkata,
“Perkataan beliau (Ibnu Mas’ud) ini menunjukkan bahwa dalam
permasalahan ini, Hudzaifah tidak berdalil dengan satu hadits pun yang berasal dari
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hal itu diperkuat karena)
Abdullah (Ibnu Mas’ud) menyelisihinya dan (malah) membolehkan I’tikaf dilakukan
di setiap masjid. Jika terdapat hadits nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang menerangkan hal itu) tentulah Abdullah bin
Mas’ud tidak menyelisihinya.” (Nailul Authar 4/360).
[27] Badai’
ash Shanai’ 2/113.
[28] Majmu’
Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin 20/112; Asy Syamilah.
[29] Diadaptasi
dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 98-106.
[30] HR.
Bukhari: 1927.
[31] HR.
Muslim: 1172.
[32] HR.
Muslim: 1140.
[33] HR.
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 8370.
–
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar