Zakat Fitri 1
ZAKAT FITRI
Sumber :
oleh Abu
Arsy Anargya As-Sundawy pada 11 Agustus 2012 pukul 6:20 ·
PENGERTIAN
Kata “zakat”, secara bahasa, memiliki beberapa arti,
di antaranya: tumbuh, bertambah, berkembang, atau sesuatu yang terbaik
(pilihan). (Ibrahim Musthafa, dkk., Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: zakaa)
Adapun kata “fitri” artinya ‘berbuka puasa’.
Gabungan dua kata di atas (zakat fitri) merupakan gabungan
yang mengandung makna sebab-akibat. Artinya, zakat fitri ini diwajibkan karena
kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadan (berhari
raya). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 23, hlm.
335, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait)
Ada juga sebagian umat Islam yang menyebut zakat ini dengan
“zakat fitrah”. “Fitrah” artinya ‘asal penciptaan’. Abul Haitsam
mengatakan, “’Al-fitrah‘ adalah ‘asal penciptaan’, yang menjadi sifat
seorang bayi ketika dilahirkan oleh ibunya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah,
jilid 23, hlm. 335, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait)
Ibnu Qutaibah menjelaskan, “Dinamakan ‘zakat fitrah’ karena
zakat ini adalah zakat untuk badan dan jiwa.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
jilid 2, hlm. 646, Dar Al-Fikr, Beirut, 1405)
HUKUM ZAKAT FITRI
Zakat fitri –hukumnya– wajib bagi setiap muslim,
menurut pendapat yang paling kuat, berdasarkan dalil-dalil berikut:
- 1.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma;
beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan
kami agar menunaikan zakat fitri sebelum berangkatnya kaum muslimin menuju
lapangan untuk melaksanakan shalat hari raya.” (Hr. Muslim, no. 986)
- 2.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma;
beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammewajibkan
zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering.
(Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka,
laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Beliau memerintahkan
agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.” (Hr. Al-Bukhari, no.
1433; Muslim, no. 984)
- 3.
Hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ
زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَاتِ
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma;
beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan
pahala puasa serta dari perbuatan atau ucapan jorok, juga sebagai makanan bagi
orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya
diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya
hanya sedekah biasa.” (Hr. Abu Daud, no.1611; dinilai hasan oleh Syekh
Al-Albani)
An-Nawawi mengatakan, “Zakat fitri –hukumnya– wajib
menurut mazhab kami dan menurut jumhur ulama.” (An-Nawawi, Al-Majmu’,
jilid 6, hlm. 104, Mauqi` Ya`sub)
Ibnul Mundzir mengatakan, “Semua ulama –yang saya
ketahui– telah sepakat bahwa zakat fitri itu wajib.” (Ibnul Mundzir, Al-Ijma’,
ijma’ ke-106]
Akan tetapi, ada pernyataan ijma’ yg
terdapat nukilan lain, yaitu dari Asyhab (ulama Mazhab Malikiyah), Ibnul Labban
(ulama Mazhab Syafi’iyah), dan sebagian ulama Mazhab Zhahiriyah bahwa zakat
fitri –hukumnya– sunnah muakkad, tidak sampai wajib. (Ibnu
Hajar, Fathul Bari, jilid 3, hlm. 368, Dar Al-Ma`rifah, Beirut,
1379)
Pendapat yang menyatakan bahwa hukum zakat fitri itu sunnah
muakkadadalah pendapat yang lemah. Pendapat yang lebih kuat adalah yang
menyatakan wajib, dengan mempertimbangkan dalil-dalil di atas.
SIAPAKAH YANG WAJIB MENUNAIKAN ZAKAT FITRI?
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; beliau
mengatakan, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum
kering. (Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka,
laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (Hr.Al-Bukhari, no.
1433; Muslim, no. 984)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallammewajibkan zakat fitri, sebagai penyuci orang yang
berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau
ucapan jorok, juga sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud, no.
1611; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum zakat
fitri adalah wajib bagi orang yang memenuhi dua persyaratan berikut:
- 1.
Beragama Islam
Zakat fitri adalah bentuk peribadahan kepada Allah dan
berfungsi membersihkan orang yang telah berpuasa dari noda-noda dosa yang
dilakukannya ketika puasa. Sementara, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh
orang kafir karena semua ibadah mereka tidak akan diterima dan mereka juga
tidak berpuasa. Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat fitri tidak wajib bagi orang
kafir, baik merdeka maupun budak. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya zakat untuk orang kafir merdeka
dan balig.” (Al-Mughni, 5:469)
- 2.
Mampu untuk menunaikannya
Ulama berselisih pendapat tentang standar ukuran disebut
“mampu” menunaikan zakat.
- Pertama, Hanafiyah
dan para ulama Kufah berpendapat bahwa ukuran kemampuan orang yang wajib
zakat fitri adalah orang yang memiliki sisa dari kebutuhan hidupnya,
sebanyak satunishab zakat harta (85 gram emas) atau sesuatu
yang senilai dengan 85 gram emas. Sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa
orang yang memiliki harta senilai kurang dari 85 gram emas boleh
memberikan zakat fitri sebagai sedekah. Namun, pendapat ini kurang tepat
karena ukuran “mampu” dalam zakat fitri berbeda dengan ukuran “mampu” pada
zakat harta.
- Kedua, mayoritas
ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) memberikan ukuran: selama
memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam hari raya
dan besok paginya, karena dalam Islam, orang yang ada dalam keadaan
semacam ini telah dianggap orang kaya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang meminta, sementara
dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka dia telah memperbanyak api
neraka (yang akan membakar dirinya).”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa ukuran
‘sesuatu yang mencukupinya’ (sehingga tidak boleh meminta)?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia memiliki sesuatu yang mengenyangkan
(dirinya dan keluarganya, pen.) selama sehari-semalam.” (Hr. Abu
Daud; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)
Imam Ahmad ditanya, “Kapankah seseorang itu wajib
mengeluarkan zakat fitri?” Beliaurahimahullah menjawab, “Jika dia
memiliki sisa makanan satu hari maka dia wajib berzakat.” (Al-MasailIshaq An-Naisaburi)
Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat fitri itu tidak wajib
ditunaikan kecuali dengan dua syarat. Salah satunya, dia memiliki sisa makanan untuk
dirinya dan keluarganya pada malam dan siang hari raya, sebanyak satu sha’.
Nafkah untuk pribadi itu lebih penting sehingga wajib untuk didahulukan.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mulai
dari dirimu dan orang yang kamu tanggung nafkahnya.’ (Hr. At-Turmudzi).”
(lihat Al-Kafi fi Fiqh Hanbali, 1:412)
Kemudian, Ibnu Qudamah memberikan rincian:
- Jika
tersisa satu sha’ (dari kebutuhan makan sehari-semalam
ketika hari raya, pen.) maka dia membayarkan satu sha’ tersebut
sebagai zakat untuk dirinya.
- Jika
tersisa lebih dari 1 sha’ (misalnya: 2 sha’)
maka satu sha’ untuk zakat dirinya dan satu sha’berikutnya
dibayarkan sebagai zakat untuk orang yang paling berhak untuk didahulukan
dalam mendapatkan nafkah (misalnya: istri).
- Jika
sisanya kurang dari satu sha’, apakah sisa ini bisa dibayarkan
sebagai zakat? Dalam hal ini, ada dua pendapat:
- Wajib
ditunaikan sebagai zakat, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Jika aku perintahkan sesuatu maka amalkanlah
semampu kalian.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
- Tidak
wajib ditunaikan karena belum memenuhi ukuran zakat yang harus ditunaikan
(yaitu satu sha’).
- jika
terdapat sisa satu sha’ namun dia memiliki utang maka
manakah yang harus didahulukan? Dalam hal ini, ada dua keadaan:
- Jika
orang yang memberi utang meminta agar utang tersebut segera dilunasi maka
pelunasan utang didahulukan daripada zakat, karena ini adalah hak anak
Adam yang sifatnya mendesak.
- Jika
orang yang memberi utang tidak menagih utangnya maka uangnya wajib dibayar
untuk zakat, karena kewajiban zakat ini mendesak, sementara kewajiban
membayar utang tidak mendesak. Dengan demikian, penunaian zakat lebih
didahulukan.
Bersambung Insya Allaah......
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar