Fiqih Ringkas I’tikaf 1
Kategori : Fiqh dan Muamalah, Ramadhan // 19 Agustus 2011
Artikel Terkait :
Fiqih Ringkas Itikaf 2
http://www.abdullahissgafa.blogspot.com/2012/08/fiqih-ringkas-itikaf-2.html
.
Kategori : Fiqh dan Muamalah, Ramadhan // 19 Agustus 2011
Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف”
berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1].
Ada juga yang mendefinisikannya dengan:
حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].
Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama
berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan
dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3].
Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:
الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ
مَخْصُوصَة
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah
yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].
Dalil Pensyari’atan
I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran,
sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.
Dalil dari Al Quran
a. Firman Allah ta’ala,
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’
dan yang sujud.”
(Al Baqarah: 125).
b. Firman Allah ta’ala,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam masjid.”
(Al Baqarah: 187).
Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan
untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan
sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan
ibadah.[5]
Dalil dari sunnah
a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu
‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau
beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]
b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu
‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]
Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah
berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka
adalah:
a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab
beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,
وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء
على نفسه فيجب عليه
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib
kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib
untuk menunaikannya.”[8]
b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,
فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama
sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk
beri’tikaf.”[9]
c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf
tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk
melakukan I’tikaf.”[10]
Hukum I’tikaf
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab)
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ
اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى
إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ
فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan
untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di
sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan
memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia
beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun
beri’tikaf bersama beliau.”[11]
Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para
sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf
pada asalnya tidak wajib.
Status sunnah ini
dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan
hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada
Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]
‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya
kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu
malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]
Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf
tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk
melakukan I’tikaf.” [14] [15]
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?
Jawab:
Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang
menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria.
Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:
- Keumuman
berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan
wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga
ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
- Firman
Allah ta’ala,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di
mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
- dan
firman-Nya,
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari
mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah
dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di
dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau
beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu,
namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang
menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.
- Hadits
Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang
keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam
keadaan belia saat itu.[16]
Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf
dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
- Hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama
beliau[17]
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ
النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ
“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk
keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani
Israil.”[18]
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang
menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa
alasan berikut:
- Berbagai
dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak
terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk
beri’tikaf.
- Hadits
‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah
menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut
beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah
kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk
melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu,
dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki
oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru
beri’tikaf di bulan Syawwal.
- Hadits
‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena
‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf
dan pada saat itu keduanya berusia belia.
- Adapun
perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila
mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial,
bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi.
Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke
masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.
Hikmah I’tikaf
Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti
memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali
ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya
berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam
kitab beliau Zaadul Ma’ad[19].
Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju
Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan
menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati
yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala
secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering
bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu
memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju
kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.
(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan
Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan
hilangnya makan dan minum yang berlebih.
(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan
kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang
memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering
bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu)
memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan
menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada
hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan
dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang
menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar
kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun,
tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.
Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka
yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya,
berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya
sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap
kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula,
kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan
berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan
yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti
dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian
adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam
kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada
lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf
yang agung itu.“
Waktu I’tikaf
Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan
setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut
beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu
al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu
riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]
b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu
‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk
beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]
c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
beliau mengatakan,
إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ
الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau
bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]
Begitupula hadits Ubay
bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى
الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama
setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun
berikutnya selama dua puluh hari.”[24]
Sisi argumen dari hadits di
atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha,
karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang
menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang
menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf
disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan
kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka
adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak
tidak akan mencuat.
Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala,
menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat
terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan
Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih
ditekankan untuk dilakukan.
-bersambung insya Allah-
[1] Mukhtar
ash-Shihhah 1/467.
[2] Al
Mishbah al Munir 2/424.
[3] Fiqh
al-I’tikaf hal.24.
[4] Syarh
Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm.
5.
[5] Fiqh
al-I’tikaf hal. 31
[6] HR.
Bukhari dan Muslim
[7] HR.
Bukhari dan Muslim
[8] Al
Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.
[9] Al
Majmu’ 6/475; Asy Syamilah
[10] Fath
al-Baari 4/271
[11] HR.
Muslim: 1167.
[12] HR.
Bukhari: 6318.
[13] HR.
Bukhari: 1927.
[14] Fath
al-Baari 4/271
[15] Ibnu
Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam
Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat
yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau
tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan
melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan
yang lebih luas.
[16] HR.
Bukhari: 1940.
[17] HR.
Ibnu Khuzaimah: 2224.
[18] HR.
Bukhari: 831 dan Muslim: 445
[19] Zaad
al-Ma’ad 2/82.
[20] Badai’
ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al
Mughni 3/122.
[21] HR.
Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah
meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan
menggantinya di bulan Syawwal.
[22] HR.
Bukhari: 1927.
[23] HR.
Ahmad: 12036.
[24] HR.
Ahmad: 21314.
–
Artikel Terkait :
Fiqih Ringkas Itikaf 2
http://www.abdullahissgafa.blogspot.com/2012/08/fiqih-ringkas-itikaf-2.html
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar