Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil Dan Menyusui
PERSELISIHAN ULAMA MENGENAI PUASA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI
.
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
.
Kamis, 17 Juni 2010 23:00 Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi
keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita
hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui
takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab
keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak
ada perselisihan di antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ
الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah
shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.”[1]
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak
berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang
diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para
ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat.
‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya
tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi
pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya
membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid
berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa
dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu
membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja
karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah
pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan
Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang
miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan
Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil
sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam
Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula
memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Menurut ulama yang berpendapat seperti ini,
mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah
tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية
: ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه
) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta
dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika
mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan,
pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan
ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan
wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil
dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak
berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.” [4]
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ
الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ
كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا - قَالَ أَبُو
دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا - أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”[5] beliau
mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang
sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak
berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang
miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil
dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada
keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap
memberi makan (kepada orang miskin).”[6]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu 'Abbas menyamakan wanita hamil
dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu
‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan
Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka
berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk
setiap hari yang ditinggalkan.”[7]
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari
Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان
فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang
hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian
Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[8] [9]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama :
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ
وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari
musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[10]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir.
Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa
mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita
hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan
telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah
mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita
hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara
wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau
anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap
pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil
sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua :
Selain alasan di atas, ulama yang
berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil
dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia
pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan
menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12].
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
"الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض ،
إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر ، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك ،
كالمريض ، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ،
وهو قول ضعيف مرجوح ، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض ؛ لقول الله عز
وجل : ( فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ ) البقرة/184" اهـ
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat
untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya
kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup
baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk
setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang
lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa)
karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan
untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah
dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika
menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau
mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك
والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita
hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan
menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti
ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya
dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”[14]
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau
mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك،
وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة
والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka
ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya
dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya.
Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah.
Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan
tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى - والله أعلم - ممن جمع كما أن من
أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل
هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu
lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun
memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah
saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi
wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir.
Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’
dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah.
Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari
kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu
Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك
إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’
dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali
kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena
tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’
(kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[17]
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita
katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu
dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang
lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu
dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran
hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam
perkataannya,
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك
.
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’
dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla.
Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi
dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu,
pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat
yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil
dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman
hadits-hadits syar’i yang membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit
dan musafir (ketika ia tidak berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah
semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits
Anas bin Malik Al Ka’bi.”[18]
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu
‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184
belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan
menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui
yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang
dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh
(dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
(QS. Al Baqarah: 185)[19].
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang
mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan
fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang
menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari
Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’[20].
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi
wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu
‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ
بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ
يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) .
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ
وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ
مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut
dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani
menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas
mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada
laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak
mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu
memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan
riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا
الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini
diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari
setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah
dimansukh.”[23]
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat
yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja
ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah
pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’
sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan
oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat,
maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah
karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat
ini.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui
yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti
orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak
berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena
setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka
kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada
kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan
cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[25]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa
wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan,
kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan,
“Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak
atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak
berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak
membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa,
dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[26]
Semoga Allah memberi ilmu yang bermanfaat dari sajian kami
ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tentang permasalahan qodho' puasa, kami sarankan
untuk membaca artikel berikut di sini.
Baca pula tentang:
1. Sanggahan mengenai riwayat Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar
di Kangaswad.
2. Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin di sini.
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 5 Rajab 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] HR.
An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul
Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al
‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi,
hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh
Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At
Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan
oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS.
Al Baqarah: 184.
[6] HR.
Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih
atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan
oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat
Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat
ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas
yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi
shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan
sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya
surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah.
(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR.
An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul
Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah
menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’
Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’
Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan
pertama, 1413 H.
[15] Al
Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al
Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat
Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al
‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat
Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu
fidyah”.
[21] Demikianlah
maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani
sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan
fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al
Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR.
Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat ...”
[23] Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan
dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal
15/9/1423
[25] Lihat
Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46,
Qiblatuna.
[26] Ahkamul
Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
.
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar