Puasa
Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui Di Bulan Ramadlaan
.
.
PUASA BAGI WANITA HAMIL DAN MENYUSUI DI BULAN RAMADHAN
Abu Al-Jauzaa' :, 16 Agustus 2010
Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang
khawatir terhadap dirinya atau anaknya, maka mereka boleh berbuka.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
وأنه يجوز للحبلى والمرضع الإفطار وقد ذهب إلى ذلك العترة والفقهاء
إذا خافت المرضعة على الرضيع والحامل على الجنين وقالوا إنها تفطر حتماً قال أبو
طالب: ولا خلاف في الجواز.
“Dan bahwasannya diperbolehkan bagi wanita hamil dan
menyusui untuk berbuka puasa. Telah berpendapat tentang hal tersebut ‘itrah (ahlul-bait)
dan fuqahaa’, yaitu apabila wanita yang menyusui khawatir dengan anak
yang disusuinya dan wanita yang hamil khawatir dengan anak yang
dikandungnya/janin. Mereka berkata : ‘Sesungguhnya ia wajib untuk berbuka’. Abu
Thaalib berkata : ‘Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya” [Nailul-Authaar,
4/230].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ
الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ وَعَنْ الْمُرْضِعِ أَوْ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah
shalat dan puasa bagi seorang musafir; serta wanita yang menyusui dan wanita
yang hamil"
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2408, At-Tirmidziy
no. 715, An-Nasaa’iy 4/190, Ahmad 4/347 & 5/29, ‘Abd bin Humaid no. 430,
Ibnu Maajah no. 1667 & 2042 & 2043 & 3299, ‘Abdullah bin Ahmad
dalam tambahannya atas Musnad Ahmad 4/347, dan Ibnu Khuzaimah
no. 2044; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud2/71].
عن بن جريج عن عطاء قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان إذا خافتا على
أولادهما في الصيف، قال : وفي الشتاء إذا خافتا على أولادهما.
Dari Ibnu Juraij[1], dari ‘Athaa’[2], ia berkata :
“Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan apabila khawatir
terhadap anaknya, baik di musim panas ataupun di musim dingin”
Akan tetapi kemudian mereka berselisih pendapat tentang
konsekuensi bagi wanita hamil dan menyusui tersebut setelah berbuka, apakah ia
harus mengqadla’, membayar fidyah, mengqadla’ dan membayar fidyah, atau bahkan
tidak ada kewajiban mengqadla’ maupun membayar fidyah.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
[QS. Al-Baqarah
: 183-184].
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ
بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقْرَأُ { وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ } قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ
الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا
فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan
kepada kami Rauh : Telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq : Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar, dari ‘Athaa’ (bahwa) ia mendengar
Ibnu ‘Abbaas membaca :‘wa ‘alalladziina yuthawwaquunahu fidyatun
tha’aamu miskiina (Dan bagi orang-orang yang dibebani puasa, membayar fidyah
yaitu : memberi makan seorang miskin)’. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Ayat ini
tidak mansuukh (hukumnya), yaitu laki-laki tua renta atau
wanita tua renta dimana keduanya sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya
wajib memberi makan seorang miskin sebagai ganti untuk setiap harinya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4505].
Jumhur ulama telah mengkritik perkataan Ibnu ‘Abbaas, bahwa
yang benar dalam masalah ini ayat tersebut mansuukh. Mereka
berargumen dengan riwayat :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ عَنْ عَمْرِو
بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى سَلَمَةَ
بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ {وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ
وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan
kepada kami Bakr bin Mudlar, dari ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin
‘Abdillah, dari Yaziid maulaa Salamah bin Al-Akwa’, dari Salamah, ia berkata :
“Ketika turun ayat : ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi
makan seorang miskin’ , barangsiapa yang ingin berbuka maka hendaklah
membayarkan fidyah hingga kemudian turunlah ayat setelahnya
yangmenghapus (hukum)-nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
4507].
حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَرَأَ
{فِدْيَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ} قَالَ هِيَ مَنْسُوخَةٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ayyaasy : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia membaca
ayat : fidyatun tha’aamu masaakiin (‘membayar fidyah, yaitu
: memberi makan seorang miskin’), lalu berkata : ‘Ayat ini mansuukh (hukumnya)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506].
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو أحمد يعني الحافظ أنبأ الحسين
بن محمد بن عفير ثنا علي يعني بن الربيع الأنصاري ثنا عبد الله بن نمير عن الأعمش
ثنا عمرو بن مرة ثنا عبد الرحمن بن أبي ليلى ثنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم
قالوا أحيل الصوم على ثلاثة أحوال قدم الناس المدينة ولا عهد لهم بالصيام فكانوا
يصومون ثلاثة أيام من كل شهر حتى نزل شهر رمضان فاستكثروا ذلك وشق عليهم فكان من
أطعم مسكينا كل يوم ترك الصيام ممن يطيقه رخص لهم في ذلك ونسخه وإن تصوموا خير لكم
إن كنت تعلمون قال فأمروا بالصيام
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[4] : Telah
mengkhabarkan kepadaku Abu Ahmad – yaitu Al-Haafidh[5] - : Telah
memberitakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin ‘Ufair[6] : Telah
menceritakan kepadaku ‘Aliy – yaitu Ibnur-Rabii’ Al-Anshaariy[7] : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair[8], dari
Al-A’masy[9] : Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah[10] :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa[11] :
Telah menceritakan kepada kami para shahabat Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam, mereka berkata :
Syari’at puasa telah mengalami tiga
kali perubahan.
Orang-orang saat tiba pertama kali di Madiinah tidak diwajibkan
kepada mereka berpuasa.
Lalu, mereka berpuasa tiga hari dalam setiap bulannya,
hingga turunlah (kewajiban puasa di) bulan Ramadlaan.
Mereka menganggap
kewajiban itu terlalu banyak dan menyusahkan mereka. Maka, orang-orang yang
memberi makan orang miskin diperbolehkan meninggalkan puasa, bagi yang merasa
berat menjalankannya sebagai satu keringanan bagi mereka atas hal itu.
Dan
kemudian (rukhshah) itu dihapus dengan ayat : ‘Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui’. Maka mereka pun
diperintahkan (diwajibkan) untuk berpuasa”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy,
4/220].
Oleh karena itu, Ibnu Hajar rahimahulah sampai
berkata :
هذا مذهب ابن عباس وخالفه الأكثر
“Ini adalah madzhab Ibnu ‘Abbaas, sedangkan kebanyakan ulama
telah menyelisihinya”
[Fathul-Baariy, 8/180].
Akan tetapi ada riwayat shahih dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa bahwa ia juga membaca ayat sebagaimana qira’at jumhur.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ
حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَنْبَأَنَا وَرْقَاءُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ
عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ { وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } يُطِيقُونَهُ يُكَلَّفُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ وَاحِدٍ { فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا } طَعَامُ مِسْكِينٍ آخَرَ
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ { فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ }
لَا يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلَّا لِلَّذِي لَا يُطِيقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٍ لَا
يُشْفَى
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil bin
Ibraahiim[12],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid[13],
ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Warqaa’[14],
dari ‘Amru bin Diinaar[15],
dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin’. Ia (Ibnu ‘Abbaas)
berkata : “Makna yuthiiquunahuadalah yukallafunahu (dibebani
puasa); untuk membayar fidyah, memberi makan satu orang miskin. ‘Barangsiapa
yang dengan kerelaan mengerjakan kebajikan’; yaitu memberi makan orang
miskin yang lain, tidaklah dihapus. ‘Maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu’ ; yaitu, tidak diberikan keringanan dalam
hal ini kecuali bagi orang yang tidak mampu berpuasa atau sakit yang tidak
diharapkan sembuhnya"
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2317; shahih –
lihat :Shahih Sunan An-Nasaa’iy 2/144].
Riwayat di atas juga memberikan keterangan pada kita bahwa
antara qira’at yuthawwaquunahu (yang dianggap sebagai qira’at
syaadzah) dan yuthiiquunahumenurut Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidak berbeda maknanya.
Kemudian perhatikan riwayat berikut :
أخبرنا إبراهيم بن مرزوق قال ثنا روح قال ثنا سعيد بن أبي عروبة عن
قتادة عن عزرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال رخص للشيخ
الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل
يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان
الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq[16],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh[17],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah[18],
dari Qataadah[19],
dari ‘Azrah[20],
dari Sa’iid bin Jubair[21],
dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata :
“Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah
tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila
menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu
mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185).
Akan tetapi
hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan
wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta
bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas dirinya atau
anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”
[Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ أَنَّ عِكْرِمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ
لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil[22] :
Telah menceritakan kepada kami Abaan[23] :
Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya ‘Ikrimah[24] telah
menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi
wanita hamil dan menyusui”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud2/48].
Terdapat faedah yang sangat berharga dalam riwayat di atas.
Pada riwayat di atas, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa menjelaskan
makna mansuukh yang ia katakan pada riwayat lainnya
(HR. Al-Bukhaariy
no. 4505),
yaitu mansuukh sebagian hukumnya. Oleh karena itu,
ini tidak bertentangan dengan pendapat jumhur. Sebab, salaf ketika memutlakkan
kata mansuukh, adalah mansuukh hukum secara
keseluruhan. Adapun yang dimaksud Ibnu ‘Abbaas dalam riwayat-riwayat di atas
adalah mansuukh sebagian hukumnya yang bermakna takhshiish.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata saat
menjelaskan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa :
فحاصل الأمر أن النسخ ثابت في حق الصحيح المقيم بإيجاب الصيام عليه،
بقوله: { فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ } وأما الشيخ الفاني
[الهرم] الذي لا يستطيع الصيام فله أن يفطر ولا قضاء عليه، لأنه ليست له حال يصير
إليها يتمكن فيها من القضاء، ....... ومما يلتحق بهذا المعنى: الحامل والمرضع، إذا
خافتا على أنفسهما أو ولديهما......
“Maka kesimpulannya adalah, nasakh itu
tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan)
dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat : ‘Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa’. Sedangkan orang yang lanjut usia yang tidak sanggup lagi untuk
berpuasa, maka boleh baginya berbuka tanpa perlu mengqadlanya, karena ia tidak
akan lagi mengalami keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadla’ puasa yang
ditinggalkannya itu…… Termasuk dalam pengertian ini adalah wanita hamil dan
menyusui apabila mereka khawatir akan dirinya dan anaknya…..” [Tafsir Ibni
Katsiir, 1/500-501].
Bersamaan dengan pengetahuan Ibnu ‘Abbaas atas adanya nasakh ayat,
maka dapat diketahui bahwa takhshiish terhadap orang-orang
yang lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa serta wanita hamil dan
menyusui; bukan berasal dari ijtihadnya semata.
[Jika para ulama sepakat menerima takhshiish untuk
orang-orang lanjut usia, maka tidak ada halangan untuk menerima takhshiish tersebut
untuk wanita hamil dan menyusui].
Dan ternyata dalam hal ini, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa tidaklah sendiri. Ibnu ‘Umar menyepakatinya sebagaimana
terlihat dalam riwayat berikut :
حدثنا هناد قال، حدثنا عبدة، عن سعيد، عن نافع، عن علي بن ثابت، عن
نافع، عن ابن عمر، مثل قول ابن عباس في الحامل والمرضع
Telah menceritakan kepada kami Hanaad[25],
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah[26],
dari Sa’iid[27],
dari Naafi’[28],
dari ‘Aliy bin Tsaabit[29],
dari Naafi’[30],
dari Ibnu ‘Umar – sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam permasalahan wanita
hamil dan menyusui
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalamTafsir-nya 3/428;
dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
حدثنا أبو صالح الأصبهاني ثنا أبو مسعود ثنا الحجاج ثنا حماد عن أيوب
عن نافع عن ابن عمر أن امرأته سألته وهي حبلى ، فقال أفطري وأطعمي عن كل يوم
مسكينا ولا تقضي
Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy[31] :
Telah menceritakan kepada kami Abu Mas’uud[32] :
Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj[33] :
Telah menceritakan kepada kami Hammaad[34],
dari Ayyuub[35],
dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya anak perempuannya pernah bertanya
kepadanya (tentang kewajiban puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan hamil.
Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin
sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla”
[Diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni 3/198 no. 2388; sanadnya jayyid sebagaimana
dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
Perlu kita ingat bersama, Ibnu ‘Umar juga merupakan salah
satu shahabat yang mengatakan mansukh-nya hukum atas ayat : ‘Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah…..dst.’
(HR. Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506).
Oleh karena
itu, posisinya di sini persis sebagaimana Ibnu ‘Abbaas dalam hal pemahaman dan
praktek.
Maka, riwayat Ibnu ‘Abbas – yang didukung Ibnu ‘Umar - radliyallaahu
‘anhumdihukumi marfu’ yang merupakan penafsiran mengenai
turunnya sebuah ayat Al-Qur’an, sehingga dapat diamalkan konsekuensi hukumnya.
Telah diketahui juga bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa dikenal sebagai salah seorang shahabat yang sangat besar semangat itttiba’-nya
terhadap Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebailknya, tidak
diketahui satu pun shahabat yang menyelisihi mereka berdua dalam
permasalahan ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudaamah :
ولا مخالف لهما في الصحابة
“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu
‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)”
[Al-Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui
perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].
Inilah pendapat yang raajih yang diambil
Sa’iid bin Jubair, Ishaaq bin Rahawaih, Al-Qaasim bin Muhammad, dan sekelompok
ulama lainnya. Al-Albaaniy, ‘Aliy Al-Halabiy, Saliim Al-Hilaaliy, Muhammad
Al-Bazmuul, dan Abu Maalik Kamaal adalah di antara ulama kontemporer yang
diketahui (Penulis) sebaris dengan mereka.
Walaupun begitu, tidak selayaknya bagi wanita yang mengandung
dan menyusui untuk bermudah-mudah dalam masalah ini. Khususnya, mereka yang
tidak merasa berat untuk berpuasa; hendaknya ia tetap (mencoba) berpuasa. Orang
yang mampu mengerjakan puasa adalah lebih baik daripada yang tidak
melakukannya, sebab ia telah mengerjakan asal kewajiban yang diperintahkan
syari’at. Hal ini sesuai dengan keumuman firman Allah ta’ala :
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
[QS.
Al-Baqarah : 184].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Inilah sedikit yang bisa disampaikan…. Segala kekurangan
hanyalah milik makhluk-Nya, karena segala kesempurnaan kembali pada Allah
semata.
Bahan bacaan : Shahiih Fiqhis-Sunnah oleh
Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid, 2/125-127, Maktabah At-Taufiqiyyah; Irwaaul-Ghaliil oleh
Al-Albaaniy 4/17-25 no. 912, Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1399; Jaami’
Ahkaamin-Nisaa’ oleh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy, 2/394-402,
Daarus-Sunnah, Cet. 1/1415; At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah oleh
Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hal. 55-64, Daarul-Hijrah, Cet. 1/1415; Hukum-Hukum
Wanita Hamil (terjemahan) oleh Yahyaa bin ‘Abdirrahmaan Al-Khathiib,
hal. 40-58, Al-Izzah, Cet. 1/1424; dan yang lainnya].
Sebagai bahan perbandingan dan pengayaan pengetahuan tentang
khilaf ulama pada bahasan ini, baca pula :
[abu al-jauzaa’ – 6 Ramadlaan 1431]. - silakan baca artikel
lanjutannya di sini untuk
membaca bahasan apakah Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar mencabut fatwanya dalam
pembayaran fidyah.
---------
[1]
Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy,
Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi
mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [At-Taqriib,
hal. 624 no. 4221].
[2]
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih,
lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
[3] ‘An’anah Ibnu
Juraij dari ‘Athaa’ – dan ia seorang mudallis – tidak
memudlaratkannya. Ibnu Abi Khaitsamah membawakan satu riwayat shahih dari Ibnu
Juraij, bahwa ia (Ibnu Juraij berkata) :
إذا قلت قال عطاء فأنا سمعته منه وإن لم أقل
سمعت
“Apabila aku berkata : Telah berkata ‘Atha’ ,
maka artinya aku telah mendengarnya walau aku tidak mengatakan : Aku telah
mendengar” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/617 – biografi ‘Abdul-Malik bin
‘Abdil-‘Aziz bin Juraij Al-Umawiy].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pun
kemudian memberikan penegasan :
وهذه فائدة هامة جدا ، تدلنا على أن عنعنة
ابن جريج عن عطاء في حكم السماع
“Ini satu faedah yang sangat besar, yang menunjukkan pada
kita bahwa ‘an’anahIbnu Juraij dari ‘Atha’ dihukumi penyimakan (sama’)”
[Irwaaul-Ghaliil, 4/244].
[4] Ia
adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin
Al-Hakam Adl-Dlabbiy An-Naisaabuuriy Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim,
penulis kitab Al-Mustadrak; seorang imam, tsiqah, lagi haafidh di
jamannya [lihat selengkapnya di : Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy no.
141].
[5]
Ia adalah Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adiy bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Mubaarak
bin Al-Qaththaan Al-Jurjaaniy Al-Haafidh, lebih terkenal dengan nama Ibnu
‘Adiy, penulis kitab Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’; seorang imam, haafidh, naaqid,
lagi tsiqah (w. 365 H) [lihat : Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 16/154-156 no. 111].
[6]
Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bn ‘Ufair bin Muhammad bin Sahl bin Abi
Khatsmah Al-Anshaariy Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah,
sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (219-315 H) [Taariikh Baghdaad 8/662-664
dan Mushbaahul-Ariid 1/378 no. 7901].
[8]
‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah (w. 199 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 553 no. 3692]
[9]
Ia adalah Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah,haafidh,
lagi ‘aalim terhadap qira’aat (w. 147/148 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal.
414 no. 2630].
[10]
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits Al-Jumaliy Al-Muraadi
Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w.
118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 745 no. 5147].
[11]
‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa Al-Anshaariy Al-Ausiy; seorang yang tsiqah (w.
83 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 597 no. 4019].
[12]
Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Al-Mughiirah Abu ‘Abdillah
Al-Bukhaariy, pemilik kitab Ash-Shahiih; seorang imam di bidang
hadits di jamannya.
[13]
Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan As-Sulamiy; seorang perawi tsiqah, mutqin,
lagi‘aabid (w. 206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
[14]
Warqaa’ bin ‘Umar bin Kulaib Al-Yasykuriy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib,
4/58-59 no. 7403].
[15]
‘Amru bin Diinaar Al-Makkiy Abu Muhammad Al-Atsram; seorang yang tsiqah lagitsabat (w.
126 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 734 no. 5059].
[16]
Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah,
namun kadang melakukan kekeliruan (w. 270 H) [lihat biografi selengkapnya
dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163
no. 290].
[17]
Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah
faadlil, mempunyai banyak tulisan (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalamShahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
[18]
Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi
mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath)
(w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 384 no. 2378].
[19]
Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagitsabat,
namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalamShahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu
Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin
lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin
fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[20]
‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 676 no. 4608].
[21]
Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah,
tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[22]
Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah lagi tsabat (w. 223 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no.
6992].
[23]
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal.
977 no. 6992].
[24]
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah,tsabat,
lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[25]
Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang
yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 1025 no. 7370].
[26]
‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqahlagi tsabat (w.
187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 635 no. 4297].
[28]
Ia adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 140-an). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 996 no.
7131].
[29]
‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yangtsiqah [Al-Jarh
wat-Ta’diil, 6/177 no. 968].
[30]
Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat,faqiih,
lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[31]
Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy;
seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy
(w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
[32]
Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy
Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 88].
[33]
Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yangtsiqah lagi faadlil (w.
216 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 224 no. 1146].
[34]
Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid,
berubah hapalannya di akhir hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
[35]
Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,tsabat,
lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar