Zakat Fitri 2
.
ZAKAT FITRI 2
oleh Abu
Arsy Anargya As-Sundawy pada 13 Agustus 2012 pukul 5:24 ·
Siapa saja anggota keluarga yang wajib dibayarkan
zakatnya?
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammewajibkan zakat fitri,
sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala
puasa dan dari perbuatan atau ucapan jorok ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan
oleh Syekh Al-Albani)
Berdasarkan hadis ini, ulama bersilang pendapat: apakah ada
zakat fitri untuk anak, sementara salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai
penyuci orang yang berpuasa? Padahal, anak kecil atau orang gila tidak
memerlukan hal ini. Perbuatan buruk mereka tidak dinilai dosa, sehingga tidak
butuh pembersih dosa.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang tua atau wali wajib
menunaikan zakat fitri untuk anak kecil atau orang gila. Inilah pendapat yang
lebih kuat, mengingat perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana yang terdapat dalam hadis riwayat Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma. Adapun hadis yang menyebutkan fungsi zakat fitri “sebagai penyuci
bagi orang yang puasa” adalah dalam rangka menceritakan keadaan umumnya, yaitu
ketika mayoritas orang yang membayar zakat fitri adalah orang yang berpuasa.
Apakah istri diwajibkan membayar zakat dengan hartanya
sendiri?
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma;
beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering.
(Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka,
laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (Al-Bukhari dan
Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa budak, anak, dan istri
berkewajiban menunaikan zakatnya masing-masing. Namun, terdapat hadis sahih
yang diriwayatkan oleh Ad-Daruqutni dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan penunaian zakat fitri untuk anak kecil
atau orang dewasa, budak atau merdeka, laki-laki maupun wanita, yaitu di antara
orang-orang yang ditanggung nafkahnya. Hadis tersebut menunjukkan bahwa zakat
fitri merupakan tanggung jawab kepala rumah tangga. Allahu a’lam.
Akan tetapi, ada beberapa anggota keluarga yang zakat
fitrinya tidak menjadi tanggung jawab kepala keluarga. Di antara mereka adalah:
- Anak
yang memiliki harta. Zakat fitrinya diambilkan dari hartanya. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
- Istri
yang belum digauli, karena seorang suami belum diwajibkan memberi nafkah
istri yang belum digauli.
- Istri
yang membangkang (nusyuz) kepada suami.
Apakah anggota keluarga yang hilang wajib dizakati?
Terdapat keterangan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa
budak yang kabur kemudian tidak terdengar lagi beritanya atau diragukan apakah
masih hidup tidak wajib dizakati. Namun, jika diketahui bahwa dia masih hidup
atau dia kembali pulang maka zakatnya wajib ditunaikan. (Masail Imam Ahmad)
Siapakah yang menanggung zakatnya anak yatim?
Muhammad bin Hasan (salah satu murid senior Abu Hanifah)
berpendapat bahwa anak yatim tidak wajib menunaikan zakat. Adapun mayoritas
ulama, di antaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Al-Auza’i, dan Imam Syafi’i,
berpendapat bahwa anak yatim yang memiliki harta itu wajib membayar zakat yang
diambil dari hartanya. Insya Allah, pendapat ini lebih tepat karena kewajiban
zakat mencakup anak-anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, selama orang
tersebut memiliki bahan makanan sisa sampai hari raya besok paginya, dia wajib
menunaikan zakat.
Adakah zakat fitri juga berlaku untuk janin?
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama.
- Pertama, wajib
membayar zakat fitri untuk janin jika telah jelas keberadaannya.
Pendapat ini yang dipilih oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Abdullah bin Ahmad mengabarkan bahwa bapaknya (Imam Ahmad bin Hanbal)
mengatakan, “Ditunaikan zakat fitri untuk janin yang masih di kandungan, jika
telah jelas status kehamilannya.” (Masail Imam Ahmad)
Penulis kitab Ahkam Zakat Fitri menyatakan,
“Mungkin, sikap Imam Ahmad dalam masalah ini (mewajibkan zakat fitri untuk
janin) adalah dalam rangka kehati-hatian, mengingat adanya riwayat dari
Khalifah Ustman radhiallahu ‘anhu.” (Ahkam Zakat Fitri, hlm.
6)
- Kedua, tidak
wajib ditunaikan zakatnya namun orang lain diperbolehkan membayarkan bahan
makanan seukuran zakat fitri untuk janin tersebut, sebagai sedekah biasa.
Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekh Ibnu Al-Utsaimin
(lihat Majalis Syahri Ramadhan, majelis ke-28)
Dua pendapat di atas berdalil dengan atsar berikut:
- 1.
Adanya riwayat dari Al-Khalifah Ar-Rasyid Utsman bin
Affan radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau terbiasa
membayarkan zakat fitri untuk janin. (Hr. Ibnu Abi Syaibah, no. 10737)
- 2.
Abu Qilabah mengatakan, “Mereka menunaikan zakat fitri, sampai-sampai
mereka membayarkan untuk janin yang berada di kandungan.” (Hr. Ibnu Abi
Syaibah, no. 10738)
- Ketiga, janin
yang masih dalam kandungan dan belum dilahirkan sampai hari raya
berlangsung, tidak wajib dan tidak disyariatkan untuk ditunaikan zakatnya.
Ini adalah pendapat umumnya Hanabilah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat
Malikiyah.
Insya Allah, pendapat ketiga inilah yang lebih kuat,
dengan beberapa alasan:
- Riwayat
yang menyatakan bahwa Khalifah Utsman membayarkan zakat fitri untuk janin
adalah riwayat yang dhaif karena sanadnya munqathi’.
Riwayat ini dari jalur Humaid bin Bakr dan Qatadah dari Utsman bin Affan.
Terjadi keterputusan sanad antara Humaid dan Qatadah dengan Khalifah
Utsman bin Affan. Demikian penjelasan Syekh Al-Albani dalam Al-Irwa’,
3:331.
- Zakat
fitri hukumnya wajib disebabkan adanya waktu fitri, yaitu
terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadan, sedangkan orang yang
masih dalam kandungan tidaklah tercakup dalam kewajiban ini. Allahu a’lam.
Semoga bermanfaat, Bersambung Insya Allaah....
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar