Masjid Mana Yang Paling Utama Untuk I'tikaf
Masjidil Haram Makah Al-Mukaramah
Masjid Nabawi Madinah Al-Munawarah
Masjidil Al-Aqsha
.
8 Agustus 2012
MASJID MANA YANG PALING UTAMA UNTUK I'TIKAF
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu.
Sedangkan secara istilah syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata
cara yang khusus disertai dengan niat [1].
Inilah
kebiasaan yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
akhir-akhir Ramadhan. Sebagaimana disebutkan oleh Abu Hurairah, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama
sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh
hari”.
(HR. Bukhari no. 2044)
Namun manakah masjid yang paling utama untuk beri’tikaf ?
Pertama: Masjid yang paling utama adalah Masjidil
Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha
Ketiga masjid tersebut adalah seutama-utamanya masjid
sehingga seseorang boleh bersengaja melakukan perjalanan ke sana demi beribadah
di sana. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah sengaja melakukan perjalanan (dalam rangka
ibadah) selain pada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Masjidil Aqsho.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Secara terurut, yang paling utama adalah Masjidil Haram,
kemudian Masjid Nabawi, lalu Masjidil Aqsha. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا
سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama darii 1000 shalat di
masjid lainnya selain Masjidil Haram.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ
مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Shalat di masjidku lebih utama dari 1000 shalat di
masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama dari
100.000 shalat di masjid lainnya.”
(HR. Ibnu Majah dan Ahmad, shahih).
Kedua: Setelah tiga masjid tadi adalah masjid Jaami’,
lalu masjid besar yang banyak jama’ahnya. Demikian pendapat ulama Hanafiyah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali menyatakan bahwasanya yang afdhal adalah
i’tikaf di masjid Jaami’ yang dilaksanakan shalat Jum’at[2].
Alasan I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua
masjid karena keumuman firman Allah,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” [3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahih-nya,
“I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.”
Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan
disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[4][5].
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah
yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima
waktu [6] ataukah
masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di
masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena
keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”
(QS. Al
Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy
Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut
diadakan juga shalat Jum’at [7]. Tujuannya
di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf
tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah?
Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang
laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak
ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif:
- meninggalkan
shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan
- terus
menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja
dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak
i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka
melaksanakan ibadah pada Allah”[8].
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Shalihin, Panggang-GK, 17 Ramadhan 1433 H
—
[1] Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 5: 206.
[2] Lihat
bahasan Ahkamul I’tikaf, Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih,
terbitan Maktabah Ar Rusyd.
[3] Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 2: 151.
[4] Fathul
Bari, 4: 271.
[5] Adapun
hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali
pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsha”;
perlu diketahui, hadits ini
masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi)
atau mauquf (perkataan sahabat) (lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 2:
151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah beliau
lebih memilih bahwa hadits tersebut
hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman (lihat Fathul
Bari, 4: 272).
[6] Walaupun
namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, mushalla,
langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan
shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu
mushalla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum
muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan
dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat
penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah.
[7] Lihat Al
Mughni, 4: 462.
[8] Al
Mugni, 4: 461.
Masjidil Haram Makah Al-Mukaramah
Masjid Nabawi Madinah Al-Munawarah
Masjidil Al-Aqsha
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar